"Saya nyuruh kamu pakai seragam longgar itu bukan cuma karena aturan sekolah. Saya juga mau kamu menghargai diri kamu sendiri. Kamu nggak bisa kan, baca pikiran satu persatu orang yang liat kamu pakai seragam ketat? Apa yang mereka bayangin tentang kamu dalam imajinasi kotor mereka."

"Kenapa saya yang salah? Ya, salah mereka lah. Lagian, cowok-cowok kok lemah banget, masa liat cewek seragam ketat langsung sange?"

"Saya nggak nyalahin kamu atau pakaian kamu, karena di luar sana juga banyak kasus pelecehan yang melibatkan wanita berhijab. Dan, oke...nggak akan ada habisnya kalo kita berdebat tentang itu. Tapi sekarang saya mau tanya, apa ruginya kalo kamu memakai pakaian yang lebih longgar?"

Rifa diam. "Terlihat sexy bukan berarti kamu harus pakai pakaian ketat dan terbuka sana-sini. Saya paham tentang kebebasan berpakaian yang kamu maksud. Tapi ketika kamu masuk dalam suatu lingkungan, kamu tentu harus patuh sama aturan yang ada di sana. Contohnya di sekolah."

"Pak Raka tuh kayak nggak pernah SMA tau nggak sih. Kayak nggak pernah muda. Hal-hal yang kayak saya lakuin sekarang itu hal yang lumrah. Pemikiran-pemikiran kuno aja yang beranggapan kalau siswa berseragam ketat itu dicap ga baik."

"Jadi kamu beranggapan kalau kamu sudah menjadi siswa yang baik dengan membuat orang tua kamu sering dipanggil ke sekolah karena membolos dan orang tua kamu dianggap tidak bisa mendidik anak karena berpakaian tidak sepatutnya di sekolah?

Padahal saya yakin, kamu bukan tipe anak yang haus perhatian orang tua, karena saya tahu betul gimana perhatiannya om Tomi dan tante Sarah sama kamu."

Rifa teringat lagi perdebatannya tadi pagi di UKS dengan Raka. Kalau dipikir-pikir, Raka ada benarnya juga. Selama ini, Rifa tidak memikirkan bagaimana perasaan orang tuanya yang sering dipanggil ke sekolah karena kelakuannya yang aneh-aneh.

Bukannya membanggakan seperti Raya. Rifa justru berbuat sebaliknya. Dan lagi-lagi Raka benar dalam ucapannya, kalau tidak bisa membanggakan setidaknya jangan mengecewakan.

Suara motor berhenti di pekarangan. Rifa langsung beranjak dari kursi dan pergi ke depan untuk membukakan pintu. Derit pintu yang terbuka senada dengan tarikan senyum Rifa yang melengkung ke atas, membuat seseorang yang berdiri di belakang pintu itu pun menatapnya heran.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" tanya Raka.

"Nggak pa-pa. Emangnya salah kalo saya senyum?" balas Rifa.

"Nggak salah sih, tapi aneh aja." Raka melenggang masuk melewati Rifa yang tiba-tiba jadi aneh. Biasanya kalau seperti ini ada hal yang sedang gadis itu rencanakan untuk mengerjainya. Raka jadi was-was.

Ia membuka kulkas, mengambil minuman dingin lalu meminumnya. Di luar cuaca memang sedang terik-teriknya sehingga mudah sekali haus. .

"Kak Raka pastii belum makan, kan?" tebak Rifa.

"Emangnya kenapa?"

"Ya nggak pa-pa sih. Cuma tadi itu ayangnya saya, beliin makanan. Tapi karena saya udah makan, jadinya makanannya buat Kak Raka aja." Rifa mengeluarkan makanan yang ada di plastik, menaruhnya ke dalam piring.

Raka tentu saja tidak semudah itu percaya. Bukan sekali dua kali, tapi sudah sering sekali Rifa mengerjainya. Jadi wajar kalau saat ini ia was-was ada sesuatu di makanan tersebut. "Kamu aja yang makan. Saya udah makan kok tadi."

"Sumpah, Kak. Kali ini saya nggak ngerjain Kak Raka. Makanannya aman kok nggak diapa-apain. Itu juga yang beli Abian, bukan saya. Tadi tadi belum saya buka."

Melihat Raka tak ada respons, Rifa tidak mau memaksa. Ia meraih tas yang tersampir di bahu kursi. "Saya mau mandi dulu. Kalo Kak Raka nggak percaya sama saya, buang aja makanannya," capnya kemudian berlalu.

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Where stories live. Discover now