Wika pad akhirnya menumpahkan semuanya kepada Galih. "Sedari dulu aku menyadari kalau bisnis keluarga kami tidak akan menjadi sebesar sekarang jika mereka nggak mengotori tangannya. Aku nggak naif, cuma memilih untuk denial. Memilih untuk percaya kalau Papa nggak mungkin melakukan hal sejauh itu."

Galih tidak membantah.

"Mungkin memang sekarang saatnya Tuhan mengambil peran. Hidup keluargaku terlalu mulus, membuat kami semua terlena. Padahal Tuhan sebenarnya sedang menyiapkan skenario terbaik untuk menunjukkan eksistensinya. Kalau nggak begini, Papa mungkin juga nggak akan sadar." Galih menggeggam jemari Winka. Pria itu masih mendengarkan dengan khusuk. "Kita semua tahu kasus ini akan mengarah ke mana. Entah Papa memberikan intruksi secara langsung atau tidak, dia tetap harus bertanggung jawab."

Hanya tinggal menunggu waktu untuk Bram dipanggil penyidik sebagai saksi. Dan semua sudah tertebak karena Bram berpeluang besar untuk diubah statusnya menjadi tersangka.

"Tapi, kalau Papa nggak menyadari kesalahannya, dia akan kembali melakukan pola yang sama. Kudengar, backingan keluarga kami cukup kuat. Bahkan mungkin Papa sebenarnya sudah berhasil mengendalikan beberapa tokoh politik penting di pemerintahan." Winka menatap Galih dengan lesu. "Selalu ada jalan jika itu berkaitan dengan uang dan kekuasaan."

Galih secara implusif menarik tangan gadis itu hingga tubuh Winka terhuyung dan masuk ke dalam pelukannya. Winka menerima bentuk pengiburan itu dengan suka rela. Gadis itu melingkarkan lengannya dengan erat di pinggang Galih, lantas bernafas dengan teratur di atas dada pria itu. Gadis itu secara perlahan memejamkan mata, menanjamkan pendengaran. Suara detak jantung pria itu yang semakin lama semakin cepat bercampur dengan suara ombak dan sahutan burun-burung yang berterbangan dengan rendah.

Bau amis bercampur asin, serta pekak pasir menyatu dengan wangi tubuh Galih yang menenangkan. Winka menggeliatkan tubuhnya untuk menyamankan posisi. Semakin terlena saat kepalanya dielus secara perlahan dan punggungnya ditepuk-tepuk pelan.

"Memilih bersamamu adalah keputusan paling tepat yang pernah kulakukan dalam hidup."

Galih tersenyum samar. "Di saat kayak gini, kamu masih bisa-bisanya godain aku?"

"Karena kamu ganteng." Winka melirik ke atas dan tersenyum lucu hingga matanya membentuk bulan sabit yang indah. Bola matanya yang cokelat keemasan itu berkilau ditempa semburat jingga yang sedang terang-terangnya.

"Kalau gitu aku harus banyak bersyukur dengan penampilan fisikku."

"Kamu nggak pernah bercermin dan menyadari betapa indahnya wajahmu?" Sorot mata gadis itu sungguh penasaran. "Nggak cuma wajah." Winka tiba-tiba melepaskan diri dari pelukan Galih. "Bahkan jakun, leher, dada, pundak." Mata gadis itu berhenti di pundak Galih yang lebar dan kokoh, lalu turun pada lengannya yang memiliki otot menonojol. "Bisep." Telunjuknya tanpa sadar menyentuh bisep Galih dan menekannya. "Benar-benar luar biasa." Gadis itu terkagum. Kemudian matanya bergeser turun pada perut Galih yang dibalut kemeja berwarna putih. Winka memang belum pernah melihatnya secara langsung, tetapi dia pernah merasakan kerasnya perut itu setiap kali mereka berpelukan dan betapa kokohnya pinggang Galih saat ia melingkarkan lengannya di sana.

Galih menatap langit dan menghela nafas berat. "Memang paling benar jangan ngajak pacaran ke pantai."

"Kenapa? Setan semua isinya?" balas Winka jahil. Galih melihat sekitarnya dengan salah tingkah. Pria itu berusaha menghindari kontak mata dengan Winka agar tetap waras. Sedangkan gadis itu sama sekali tidak peka karena dengan entenganya melingkarkan lengannya kembali ke sekeliling pinggang Galih. "Kok gemes banget Ayang aku?" Gadis itu tertawa terbahak-bahak ketika melihat pipi Galih bersemu merah. "ALLAHUAKBAR!!!"

"Win!" tegur Galih.

"Nggak bisa, Pak Gal! Kamu terlalu gemas." Winka masih tertawa.

Pada akhirnya Galih hanya dapat menghela nafas dengan pasrah dan membalas pelukan gadis itu. Pria itu berusaha mengendalikan diri agar kepalanya dapat berpikir jernih dan tidak tergoda untuk melakukan hal yang akan ia sesali nantinya.

"Gimana bisa pria usia tiga puluh enam tahun menggemaskan seperti ini?" Winka dengan sengaja menggoyang-goyangkan tubuh Galih.

"Kamu terlalu implusif tanpa memikirkan bahaya dan resikonya." Galih mencoba bertahan sekuat mungkin.

Winka terkekeh. Gadis itu akhirnya berhenti menggoda Galih. "Pengendalian dirimu keren banget."

"Makanya jangan mancing-mancing lagi. Gimanapun, aku tetap laki-laki."

"Selangkangan kadang lebih cepat dari pada otak, ya?"

Galih tidak menyangkal. "Nanti kita punya waktu seumur hidup setelah menikah untuk menjelajah dan memelajari fisik masing-masing."

"Aku juga nggak ingin macam-macam sebelum kamu bisa mengambil tanggung jawab dari Papa." Winka nyengir. "Kamu benar-benar luar biasa." Gadis itu menepuk-nepuk pundak Galih penuh penghormatan. "Kamu bahkan nggak kabur setelah lihat gimana kelakuan Papaku."

"Kamu bukan papamu." Galih memegang kedua bahu Winka. "Kalau papamu membuat kesalahan, bukan berarti kamu juga ikut salah. Semua keputusan yang dia ambil merupakan tanggung jawabnya sebagai orang dewasa. Kamu nggak perlu merasa bersalah dan rendah diri. Kamu gadis berkualitas yang dibesarkan dengan cara yang berkualitas. Aku nggak perlu mengkhawatirkan apa pun karena aku tahu bagaimana Tante Lita dan Om Trias membesarkan kamu. Kamu memiliki semua kebaikan dan ketulusan mereka. Kamu bahkan bisa menerima Adrian dengan tangan terbuka. Nggak pernah berubah. Kamu tetap Winka Winata yang berhasil mengambil seluruh atensiku."

"Ternyata gini rasanya digombalin sama akademisi." Gadis itu sedikit melongo. "Nggak hanya approve di hati, tetapi nempel juga di kepala."

"Astaga!!!"

"Wah, Pak Gal! Aku sekarang bisa punya gambaran akan secerdas dan sekeren apa anak kita nanti."

"Win, please! Aku nggak sekuat itu untuk menahan diri."

"Aku nggak sedang goda kamu." Gadis itu membela diri.

"Tapi, kamu mancing aku."

"Dari mananya?"

Allahuakbar!!! Galih bahkan harus memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri. Gadis itu sungguh tidak peka. Pembicaraan mereka hanya membuat Galih semakin frustasi. Pria itu tiba-tiba saja membayangkan seorang anak perempuan yang memiliki wajah mirip dengan Winka, lengkap dengan sepasang bola mata berwarna cokelat keemasan. Anak perempuan itu akan tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit dan berlari sambil merentangkan tangannya ke arah Galih.

Bayangan itu hanya membuat frustrasi Galih semakin menjadi-jadi. Dan ketika dia melihat Winka, keinginan pria itu hanya satu, segera merealisasikan gambaran yang ada di benaknya tadi. Dan itu sungguh berefek buruk terhadap reaksi tubuhnya. Seakan-akan hormon testosteronnya naik tanpa terkendali, kepalanya panas, dan tubuhnya menjadi berkali-kali lipat lebih sensitif. Beruntungnya, mereka sekarang berada di tempat terbuka dan Galih masih waras menggunakan otaknya untuk mengendalikan tubuhnya.

"Sunsetnya kelihatan luar biasa banget, Pak Gal." Perhatian gadis itu teralihkan pada matahari tenggelam di depan sana. Mata gadis itu berbinar dan mulutnya sedikit terbuka. Bencana bagi Galih kalau dia tidak buru-buru mengalihkan pandangannya. Karena, wajah gadis itu yang sudah mengagumkan terlihat berkalikali lipat lebih mengagumakan dengan pandangan takjubnya. Sialnya, berkas-berkas keemasan yang menimpa wajah gadis tersebut justru membuat pesonanya semakin tidak masuk akal.

Agaknya Galih memang harus banyak-banyak berdoa kepada Tuhan agar dia tidak sampai lepas kendali sebelum mengikat gadis itu dalam hubungan yang lebih bermartabat. Sebab, gadis itu sepertinya tidak berniat membantu Galih untuk menjadi pria 'terhormat' sampai pernikahan mereka dilangsungkan. 
#
Untuk yg mau baca duluan bab 24 dan  25 bisa ke Karyakarsa diaparamita. Thankyou.

Win-Ka-WinWhere stories live. Discover now