22. Hari Ketika Aku Mengecewakanmu Kembali

Start from the beginning
                                    

"Om Ferdy, sehat?"

"Alhamdhulillah, sehat." Pria itu melirik Galih. "Ini siapa?"

"Calon suami," jawab gadis itu sambil tertawa.

Galih menyodorkan tangannya lebih dahulu untuk menjawab tangan Ferdy. "Galih Mahendra, Pak."

"Panggil 'Om' saja seperti Winka panggil saya." Ferdy membalas jabatan tangan tersebut.

"Papa masih rapat?"

"Sudah selesai, baru saja. Mau ketemu?"

Winka mengangguk. "Ngajak makan siang sebagai sogokan"

"Oh." Ferdy tertawa. "Kemarin papamu cerita kalau kamu menolak dijodohkan dengan Surya. Ternyata karena sudah punya pacar." Ferdy tersenyum kebapakan sambil menepuk puncak kepala Winka. "Sabar. Papamu mungkin memang keras kepala, tetapi dia nggak pernah sanggup membuatmu terluka."

"Hmm." Winka agak sangsi.

"Dia nggak bodoh untuk mengulangi kesalahan sebanyak dua kali."

"Semoga."

"Jangan terlalu keras sama papamu," pesan Ferdy. "Om pergi dulu."

#

Bram sedang memeriksa berkas sambil mendengarkan telekonferensi dari tabletnya ketika Winka masuk ke dalam ruangannya. Dia bahkan tidak sadar dan tidak menoleh ke arah putrinya tersebut. Winka menghela nafas. Ayahnya memang gila kerja, seperti kebanyakan pria yang berputar di sekeliling kehidupannya.

Gadis itu mengajak Galih untuk duduk di sofa sembari menunggu. Winka mengambil tas berisi lunch box dari tangan galih kemudian meletakkannya ke atas meja sebelum mengamati sang ayah. Semakin hari Bram Winata terlihat semakin tua. Uban nyaris menutupi rambutnya, padahal usia ayahnya belum genap enam puluh tahun. Jika boleh jujur, sebenarnya Winka merasa kasihan karena pria itu harus bekerja sendirian. Baik dia dan Adrian tidak ada yang tertarik untuk mengurus perusahaan. Ego Bram juga cukup tinggi untuk membiarkan Juna mengurus perusahaan keluarga mereka. Padahal, Winka sebenarnya tidak keberatan jika Juna mengambil alih tugasnya dan Adrian sebagai ahli waris. Toh, pria itu juga cukup berpengalaman.

"Pastikan pembebasan lahan itu bisa selesai akhir bulan ini. Kita sudah tidak bisa menunda lagi pembangunan apartemen itu. Lakukan cara apa pun supaya kita bisa mendapatan lahan itu dengan cepat."

Wajah Bram mengerut dingin. Pria itu tampak menakutkan, lebih-lebih dengan nada bicaranya yang berat dan tegas. Winka menghela nafas lagi. Dia sungguh tidak menyukai sisi Bram yang satu ini—menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Winka tahu bahwa bisnis ayahnya sebenarnya berputar pada dunia yang cukup kejam. Persaingan sengit, aliran dan yang tidak main-main besarnya, dan lobi-lobi penuh intrik politik. Jika ketinggalan momentum atau salah memperhitungkan langkah, maka semua ambisi bisa hancur seketika. Hal itu sejalan dengan pundi-pundi rupiah yang dihasilkan.

Perputaran uang pada bisnis properti dan perhubungan yang digeluti keluarga Winata sejak zaman Orde Baru itu memiliki nilai yang fantastis. Jika tidak begitu, mana mungkin keluarga ayahnya dapat hidup dengan 'nyaman' hingga kini.

Bram mematikan sambungan telekonferensi tersebut. Pria itu meletakkan pena elektronik yang ia pegang dengan kasar ke atas meja, lantas menghela nafas dengan berat. Sampai di detik itu dia masih belum sadar jika Winka dan Galih berada di ruangannya. Winka memutuskan untuk menyapa ayahnya terlebih dahulu ketimbang harus melihat pria itu memasang wajah kusut sekaligus menyeramkan.

"Pa!"

Bram terhenyak. Pria itu seketika terkejut ketika melihat putrinya sedang duduk bersama sang kekasih. "Kamu kapan sampai?"

Win-Ka-WinWhere stories live. Discover now