XXIX

6.8K 677 138
                                    

HEI, KETEMU LAGI!

Makasih atas 100k pembaca😭 senang banget🥰💞

Boleh tau dari mana saja kalian?

Tau cerita ini dari mana?

Oh iya, sebelum baca jangan lupa vote dan nanti ramaikan komentar, ya🦋

Oh iya, sebelum baca jangan lupa vote dan nanti ramaikan komentar, ya🦋

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


HAPPY READING!!
🦋🦋🦋

"Nimo, drama apa ini? Lo jadi pemeran utamanya?" Ana berjalan menghampiri Nimo, berdiri disebelah laki-laki itu yang sekarang sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Tubuh Nimo membeku sempurna, keterkejutannya tidak bisa ia sembunyikan kala melihat Ana ada diantara mereka sekarang.

Bahkan, bukan hanya Nimo saja. Kantin yang awalnya terlihat begitu hangat, tidak terlalu panas akan perkelahian tadi, seketika menjadi begitu menegangkan. Aura yang dibawa oleh Ana seolah mendominasi tempat tersebut.

Senyumnya yang seperti iblis serta ekspresi wajahnya yang sangat sulit ditebak itu membuat semua orang merasa jika mereka adalah tersangka utama.

Pasokan udara menipis. Nimo mencoba dengan susah payah, memarik napas kemudian menghembuskannya pelan. "Na, ke sekolah bareng siapa?" tanya Nimo.

Pertanyaan itu keluar begitu saja, karena sedari tadi dia tidak mendengar kabar gadis itu. Ia pikir Ana tidak datang ke sekolah, ternyata...

Ana menaikan sebelah alisnya. "Of course Leon. Pertanyaan macam apa itu?"

"Pertanyaan yang dikeluarkan ketika tengah gugup, Kanjeng Ratu." Dibelakang Ana, sembari berpangku tangan menikmati pertunjukan itu, Tasia menyahut santai. Tindakan yang membuatnya ditatap tajam oleh Rara.

"Cicak memang suka menambah ekor untuk menarik perhatian!" sinis Rara malah dibalas kekehan sinis dari Tasia. "Anjing yang hanya tau bersembunyi dibalik cangkang siput, diam! Gak ada yang suka dengar gonggongan lo," balasnya.

Amarah kembali menguasai diri Rara karena balasan itu. Ia terdiam dengan kepalan tangan yang begitu kuat sampai urat tangannya tercetak jelas di sisi tubuhnya. Rara pikir dia bisa menyembunyikan amarah itu, namun, ia lupa jika mata selalu bisa menjawab semuanya.

Ana yang melihat itu hanya tersenyum tipis. Sedari tadi matanya tidak lepas dari wajah sahabatnya—Rara. Eh? Apakah sekarang Rara masih bisa disebut sahabatnya? Atau?

Ana berdehem pelan, mengambil seluruh perhatian untuk kembali padanya.

"Lo kalo sampai seperti ini, berarti mereka yang duluan. Tell me," kata Ana.

Orang-orang yang awalnya berada didekat lingkaran itu, langsung segera mundur, menjauh, meninggalkan para inti dari masalah itu berada didalamnya. Para murid disitu masih sayang dengan nyawa mereka. Mereka tidak mungkin mencari masalah dengan orang yang dekat dengan Ana ataupun Ana-nya sendiri. Lebih baik mundur, dari pada mereka dituduh terlibat.

VINATTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang