40. Kecelakaan

345 20 0
                                    

"Tak perlu mengatakan aku mencintaimu, rasa cemasnya saja sudah cukup untuk menjawab itu."

🎸🎸🎸

Sepanjang pembelajaran hari ini, Zebira tak sepenuhnya fokus. Lagi-lagi sosok Kenanlah yang menyebabkan semuanya. Pria itu memang seperti magnet, dan Zebira adalah logam. Sejauh apapun pada akhirnya mereka akan saling tarik menarik.

"Lo khawatir sama Kenan?" tanya Rigel yang selesai salat duhur. Pria itu sudah kembali ke kelas, dan mendapati sahabat kecilnya itu sedang terdiam dengan wajah cemasnya.

"Tanpa perlu lo jawab pasti lo tahu jawabannya," jawab Zebira seadanya.

"Lo sayang banget ya sama dia?" Rigel kembali bertanya dengan topik berbeda.

"Gue enggak pernah main-main tentang perasaan bahkan saat sama lo pun gue serius meski akhirnya kita pisah," jawab Zebira membuat Rigel terdiam beberapa saat. Rasa bersalah kembali menyerang dirinya.

Rigel berdehem pelan berusaha menetralisir apa yang tengah ia rasakan. "Kalau emang lo khawatir. Lo coba hubungi dia aja, Ra," sarannya.

"Udah, tapi sama enggak dibaca bahkan ceklis satu. Kayaknya HP-nya mati."

Jika kemarin Kenan masih bisa dihubungi meski tak kunjung ada balasan, maka hari ini Kenan sama sekali tak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif. Kuat dugaan jika ponsel pria itu mati.

"Kenapa lo enggak coba tanya orangtuanya."

Apa yang Rigel katakan benar, tapi Zebira enggan melakukannya. Zebira gengsi melakukan itu.

"Kayaknya gue harus nanya Cassy sama Reina aja. Gue duluan ya, Sanjay."

Akhirnya, Zebira memutuskan untuk bertanya pada kedua temannya itu. Zebira yakin pasti mereka tahu. Meski awalnya gengsi, tapi Zebira sudah tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya ini.

***

"Kak Zio!"

Zio yang mendengar panggilan itu tentu langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh ke belakang. Di sana, Zebira berlari menuju dirinya. Meski bingung alasan apa yang membuat Zebira melakukan itu namun Zio tetap menunggu gadis itu.

"Kenapa, Ra?" tanya Zio saat Zebira sudah berdiri di depannya.

"Kakak lihat Reina atau Cassy?" tanya Zebira.

"Kalau Reina sih baru aja mau ke perpus. Tadinya sama gue, tapi gue enggak bisa nemenin dia. Ada urusan lain," jawab Zio.

"Makasih ya, Kak. Aku duluan," pamit Zebira sebelum akhirnya gadis itu berlari ke arah perpustakaan meninggalkan Zio dengan rasa penasarannya.

Untung saja jarak perpustakaan tak begitu jauh membuat Zebira bisa sampai dengan cepat. Zebira langsung masuk ke dalam untuk mencari dimana gerangan Reina berada. Zebira harus tahu soal Kenan apapun caranya.

"Reina," ucap Zebira kala dirinya menemukan Reina di jajaran novel.

Reina langsung menoleh. "Kenapa, Ra? Keringetan gitu. Lo lari?"

"Itu enggak penting, Na. Gue harus tahu kenapa Kenan izin. Kenapa dia enggak masuk?" jawab Zebira.

Reina tersenyum. "Lo khawatir sama dia?"

"Na," rengek Zebira. "Bukan saatnya untuk nanya itu."

"Bukan saatnya lo gengsi juga, Ra. Kalau khawatir ngaku aja. Gengsi enggak akan bikin lo untung," balas Reina tak mau kalah.

Zebira menghela napasnya. "Iya gue khawatir," akunya.

Reina tersenyum manis. "Lo sesayang itu ya sama dia? Ra, lo enggak bisa bohong. Mata lo menjawab semuanya."

"Please, jangan bahas itu dulu. Jawab dia kemana, Na?"

"Dia di rumah sakit," ujar Reina memberi tahu keberadaan Kenan.

Zebira terkejut. "Rumah sakit? Dia sakit apa? Kenapa dia di sana? Na, kenapa lo enggak ngomong dari awal?"

"Kecelakaan, dia di sana karena itu."

Deg.

***

Zebira tak bisa tinggal diam. Pulang sekolah, dia nekat pergi ke rumah sakit dengan bermodalkan taksi. Jangan harap dia bisa mengendarai kendaraan, sepeda saja Zebira kadang masih jatuh. Zebira memang sepayah itu.

"Reina bilang VVIP nomor 3," gumam Zebira saat sampai di pintu masuk Prakarsa Hospital, rumah sakit milik keluarga Kenan.

Zebira lantas bertanya pada perawat yang ia temui. Dia tak tahu soal apapun di rumah sakit ini.

"Boleh antar saya ke sana enggak, Sus?" tanya Zebira.

Perawat itu menggelengkan kepalanya. "Maaf, Dek. Bukannya saya enggak mau, tapi ada pasien yang harus segera saya urus."

"Baik, Sus. Makasih, ya."

Zebira mungkin kecewa karena perawat itu tak bisa mengantarkannya namun Zebira akan lebih kecewa jika dirinya egois membiarkan pasien yang harus diurus perawat itu ditelantarkan. Bermodalkan petunjuk yang diberikan perawat tadi, Zebira mulai menyusuri lorong demi lorong. Sesekali Zebira pun kembali bertanya sampai akhirnya dia menemukan kamar yang dia tuju, VVIP no 3.

Zebira tak langsung masuk ke dalam, dia berpikir sejenak. Apa dirinya harus langsung masuk? Tapi apa yang akan dia lakukan nantinya? Menangis? Memeluk Kenan? Atau apa?

"Please, Zebi. Jangan gini. Lo harus bisa tenang. Lo harus tetap berwibawa. Lo jangan berlebihan nantinya," ucap Zebira pada dirinya sendiri.

Perlahan, tangannya memegang gagang pintu. Dia harus masuk meski dadanya berdebar hebat. Dia harus bisa mengontrol dirinya sendiri.

Perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya pintu terbuka sepenuhnya. Zebira terdiam kaku di tempat sembari menatap seisi ruangan itu.

Kenan mungkin ada di sana namun bukan Kenan yang tertidur di ranjang pasien. Bukan Kenan, tapi Adia. Sungguh? Reina membohonginya?

"Kak Rara!" panggil Adia.

Zebira tersenyum. "Ha-hai, Ya. Maaf kayaknya aku ganggu," gagapnya.

Adia menggeleng lemah. "Aku justru senang Kakak di sini. Ayo duduk samping Bang Kenan."

Samping Kenan? Yang ada dia pingsan di tempat.

"Ah enggak deh, Ya. Kayaknya Kak Rara ma—"

"Sini, Ra. Lo mau jenguk, 'kan? Kenapa udah pulang lagi? Ayo sini!" ucap Kenan memotong ucapan Zebira.

Shit!

Zebira pastikan Reina akan mendapat balasan nantinya. Awas saja. Bisa-bisanya Reina membuat dirinya mengkhawatirkan orang yang salah.

***

TBC.

Makasih udah mampir, semoga suka😙❤️

Jumat, 24 Juni 2022.

Monachopsis [ Completed ]Where stories live. Discover now