24. Perjodohan

412 27 2
                                    

"Perjodohan itu layaknya pisau bermata dua, di satu sisi memang baik karena orangtua tak mungkin salah memilih untuk anaknya, namun di sisi lain perjodohan bisa berakibat fatal tatkala kita terlalu memaksakan karena pada dasarnya cinta itu perlu ada dalam sebuah hubungan."

🎸🎸🎸

Pagi-pagi sekali, Bianca dan Atta kompak menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya. Mereka mungkin tak memasaknya semua karena mereka hanya membantu bibi yang bekerja. Meski begitu keduanya tulus menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya.

"Tinggal nunggu mami sama papi turun," ucap Bianca lega sembari menatap makanan yang sudah tersaji di meja makan.

"Tuh mereka," ujar Atta seiring dengan kedatangan Bianca dan Zemi.

"Lho, kalian ngapain?" tanya Bianca pada kedua anaknya itu.

"Kita bantu bibi masak untuk sarapan hari ini," jawab Bianca.

"Beneran?" tanya Zemi.

"Iya, Papi. Tanya aja Bang Atta."

"Iya, Pi. Kita bantu bibi tadi," ucap Atta membenarkan apa yang Zebira katakan.

Zemi mengernyit dahi. "Papi?"

Zebira tersenyum lebar. Dia belum menjelaskan soal panggilan barunya untuk Zemi dan Bianca. "Mulai sekarang aku sama Bang Atta akan manggil Ayah dengan sebutan Papi, dan untuk Mama tentunya Mami," jelasnya.

"Itu kan ....." ucap Bianca.

Zebira mengangguk. "Aku tahu dulu Mami manggil mendiang kakek nenek dengan sebutan itu. Sekarang biar kita yang manggil demikian. Apa boleh?"

Bianca mengangguk tanpa ragu. Dulu saat Atta lahir dia ingin sekali disebut mami namun impiannya itu adalah impiannya saat dulu bersama Zemi. Waktu itu ayah Atta adalah Heru bukan Zemi. Itu sebabnya Bianca mengurungkan niatnya itu.

"Kamu enggak keberatan?" tanya Bianca pada sang suami.

Zemi menggeleng. "Enggak. Apapun panggilannya aku enggak keberatan kok."

Zebira bersorak riang mendengar jawaban Zemi. Akhirnya dia bisa mengganti panggilan untuk ayahnya itu.

"Kalau gitu kita sarapan dulu," ujar Zemi diangguki semuanya. Mereka lantas duduk di kursi masing-masing—Zemi di kursi tengah, di samping kanannya ada Bianca, dan samping kirinya ada Zebira juga Atta yang duduk bersebelahan.

"Siang ini Papi jadi ke Bali?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut Zebira.

"Kenapa? Kamu mau ikut?" jawab Zemi.

Zebira menggeleng. "Enggak deh, Pi. Aku mau di sini aja sama Bang Atta."

Sebenarnya Zebira bisa saja ikut namun dia ingin menemani Atta yang harus menyiapkan UAS di kampusnya belum lagi Zebira juga sadar diri jika Zemi dan Bianca perlu ruang untuk berdua. Meskipun urusan bisnis namun keduanya bisa quality time bersama di Bali nantinya.

"Kalau kamu mau ikut, Mami sama Papi enggak keberatan kok, Sayang. Mau?" Kini Bianca yang menawarkan.

Zebira tetap menggeleng. "Enggak, Mami. Aku tetap di sini aja. Papi sama Mami have fun di sana. Aku doakan pekerjaannya cepat selesai biar kalian bisa quality time."

Zemi mengusap kepala putrinya itu. "Bisa aja ya kamu. Baik-baik ya di sini nanti. Yang akur sama Abang kamu."

"Siap, Papi!"

***

"Kita harus ngomong sama tante Diana, Nan. Semakin hari Zebira semakin jauh dari kita. Gue udah capek, Nan."

Monachopsis [ Completed ]Where stories live. Discover now