[31] Selamat Malam

66 21 0
                                    

[31] Selamat Malam

Oleh: M. Fadli


Langkahnya terasa berat ketika memasuki ruangan itu. Laki-laki itu memiliki nama tersendiri untuk tempat yang tiap hari menjadi tempatnya menerima hukuman. Sebuah ruangan pengap dengan penerangan minim yang dipenuhi dengan tumpukan kertas yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Ada tumpukan yang dijejerkan di lima rak besi di hadapannya. Ada juga yang disematkan seenaknya di kotak kontainer plastik dan ditumpuk sedemikian rupa. Semua berita acara, berkas kasus, ini membuat ruangan ini terlihat suram meskipun dindingnya dibalur warna krem dengan lampu neon berdaya besar.

Dengan langkah gontai, laki-laki itu menghempaskan tumpukan map ke meja kecilnya sebelum merebahkan dirinya ke kursi kayu tanpa busa. Ia tak sendirian di ruangan itu. Dua pegawai sipil kepolisian di depannya tengah sibuk bercengkrama dengan topik acak, mulai dari masalah politik sampai cerita sinetron yang tak penting mencuat dari percakapan itu. Meski suaranya meramaikan ruangan kecil ini, laki-laki itu merasa dia sendiri. Rasa kesepian dan bosan mengisi sepertiga hatinya. Sisanya adalah rasa amarah karena berakhir di tempat ini.

Sudah hampir tiga bulan dirinya dipindahkan di tempat ini. Tempat yang tidak pernah ia bayangkan selama dirinya berkarir mengabdi kepada negara ini. Ia pun terkenang dengan hari itu.

"Tunggu dulu, Pak. Kenapa saya dihukum? Saya tak membuat kesalahan."

"Tak membuat kesalahan? Kalau kau bisa tegas, polisi terbaik seperti Sam tidak akan tewas. Buat apa pistol itu kalau tidak digunakan."

"Tapi Pak..."

"Sudah..sudah. Keputusan kami sudah bulat. Beruntung, atasan hanya memutasi kamu ke Polda. Banyak yang lain dimutasi ke daerah terpencil. Bahkan banyak lagi yang diberhentikan tidak hormat. Jadi terima saja."

Nasi sudah menjadi tahi sapi. Tak bisa lagi dimakan. Kendati sudah berulang kali ia membantu menangkap penjahat terbusuk di kota ini, tak pernah ada apresiasi buat dirinya. Semua medali diberikan kepada rekannya yang selalu dielukan sebagai polisi terbaik.

"Ketika seorang polisi terbaik tewas karena ulah polisi culun, maka harga yang pantas untuknya adalah neraka."

Rutinitasnya sepulang kantor juga begitu membosankan. Yang ditemui hanya anak itu, anak yang harusnya dirawat Sam. Agak menyulitkan buat bujangan sepertinya merawat remaja ABG di rumah. APa kata tetangga nanti. Daripada ia yang diusir, anak itu harus disingkirkan. Entah ke sekolah asrama atau pesantren, nggak ada bedanya.

Kebosanan itu kini menjadi rutinitas. Hanya amarah yang tetap tetanam, tumbuh dan berbuah. Tinggal menunggu kapan untuk dipetik.

Tak terasa sudah memasuki tahun kedelapan. Rasa bosan itu seiring waktu ia bisa kuasai. Bahkan tak menyangka apa yang ia temukan setiap hari di ruangan berkas kasus itu memberinya inspirasi.

Khususnya pagi itu. Tak sengaja matanya melihat map berkas kasus yang tercecer di dekat kakinya sementara telinganya mendengarkan percakapan gosip dari kedua pegawai di hadapannya. Multitasking adalah salah satu kemampuannya selain persuasif yang ia miliki. Ia melihat ada sedikit cahaya dari dua hal yang ia tangkap.

Merasakan ada informasi berguna untuk membangkitkan amarahnya, sebuah suara muncul di kepalanya sendiri.

"Rencana lama atau rencana baru? Mengapa tidak?"

***

"Nggak usah berlagak dramatis deh," kata Rambu saat menatap laki-laki yang ia kenal bernama Indra. "Sok pengen kelihatan kayak penjahat-penjahat komik. Nggak malu sama umur apa?"

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang