[6] Aku, Rambu Bentara!

132 30 3
                                    

[6] Aku, Rambu Bentara!

Oleh: Wini Afiati


"Perlukah aku melihat kepala kematian dalam lingkaran, padahal sudah melekat di wajahku?"

(John Donne, "Devotions")


Refleks tangan Rambu terkepal. Kalau saja ia tidak ingat posisi pria itu di Polda Metro, dengan senang hati satu pukulan saja cukup membuat senyum tipis di wajah sok pintar itu sirna. Diembuskannya napas pelan, dan berpura-pura tidak mendengar ejekan Pak Darius yang sudah bergegas menuju TKP.

Mata Rambu kini teralih pada gadis pengemudi Ko-Jek di dekatnya. Dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan penampilan gadis itu. Wajahnya khas wanita Indonesia Timur, dengan kulit kecokelatan yang eksotis. Rambut ikal dengan panjang sedikit di bawah kuping. Tampilannya cukup tomboi, dengan celana jins dan kaus yang dibalut jaket Ko-Jek. Namun, ada sesuatu dari gadis itu. Sorot mata yang penuh ingin tahu. Mengapa dia tidak takut melihat mayat? Terlebih ini bukan mayat biasa, tetapi ... mayat tanpa kepala.

Rambu tiba-tiba merasa sangsi, apa benar hanya karena penasaran, gadis itu meminta kode dan video sebelumnya? Siapa dia sesungguhnya?

Gadis itu merasa jika diamati, ia menatap balik dengan bibir yang tertarik ke atas. Rambu bisa melihat ada lesung tercetak di pipinya. Manis.

"Jadi bagaimana, Ndan. Setuju usulan saya?" tanyanya mendesak.

Rambu tidak tersenyum. Ia menyugar rambutnya yang jarang disisir. Lalu menggaruk cepat, hingga membuat rambut belah tengahnya menjadi makin terlihat acak-acakan. Akan tetapi, begitulah kebiasaan pria itu saat berpikir keras.

***

Bianca sedikit berlari untuk menyejajarkan tubuh mengikuti langkah kaki Rambu yang bergerak cepat. Mereka berjalan menuju mobil sedan di parkiran.

"Jadi, kita langsung balik ke markas? Batal ke tempat Alina?"

"Kita harus gerak cepat. Sebelum makin banyak korban, ulah si pembunuh berantai ini."

"Pembunuh berantai?" Bianca mengerutkan alis, lalu menggeleng. "Belum disebut serial killer kalau pembunuhannya baru dua kali, kan, Bang?'

Tanpa disangka, pertanyaan Bianca membuat Rambu menoleh, dan menatapnya, kesal.

"Come on, Bi! Dari mana lo tahu kalau korbannya baru dua! Dua itu korban yang SENGAJA dia mau kita temuin! Artinya, data kita ini masih mentah. Dia sengaja mempermainkan kita. Masalahnya, nyawa orang yang jadi taruhan." Terdengar umpatan terlontar dari bibir pria muda itu.

Polisi berpangkat inspektur dua itu membuka pintu mobil sedan, dan membantingnya kasar. Suasana hatinya terlihat tidak baik. Bianca duduk di sebelahnya, tanpa bicara. Dengan cepat, sedan yang dikemudikan Rambu melaju membelah jalan.

"Pembunuh itu kesal karena kita dianggap nggak serius merespons ulahnya. Lihat saja, dia pikir dia yang ngendaliin permainan ini. Dia salah orang. Gue, Rambu Bentara yang akan menangkap dia, hidup-hidup!" Polisi muda itu memukul setir mobilnya karena geram.

Bianca hanya terdiam. Percuma menyahut orang yang sedang emosional. Ia memilih membuka ponselnya, sekadar mencari berita mana yang memuat tentang kasus mayat tanpa kepala ini. Sedan yang dikemudikan Rambu terus melaju menuju Polres Metro Jakarta Utara.

"Maaf!"

Suara Rambu akhirnya keluar, memecahkan keheningan yang sempat tercipta.

"Ho. Biasa aja, Bang. Woles. Gue tahu Abang lagi tertekan." Bianca menyandarkan kepalanya ke jok mobil. "Polda kayaknya tertarik ambil kasus ini."

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang