[3] Tiket Kulit

246 30 8
                                    

[3] Tiket Kulit

Oleh: FinnR


"Fantasi perjalanan kepala agak seperti piala, Anda tahu, kepala adalah tempat segalanya berada, ada otak, mata, dan mulut."

(-Ed Kemper, The Co-Ed Killer- Pembunuh Berantai Amerika Serikat)


Ram... Ram...

Suara itu terus menerus berdengung di telinganya. Tubuhnya tersentak saat terbangun dari mimpi buruk. Rasa nyeri menjalar ke sekujur tubuh, terutama di bagian tengkuk. Saat terduduk di pinggir kasur, dia melihat cipratan darah berbentuk bercak pada seprei.

Dia mendelik ke arah lantai, dan genangan darah terlihat di sekitaran tubuh wanita paruh baya yang tergeletak di sana. Sebilah pisau masih menancap di leher.

Gamar, wanita muda berambut ikal itu menelan ludah. Ia tahu sosok bersimbah darah itu. Matanya hanya menatap kosong. "Ah, ini hanya mimpi buruk!" gumamnya.

Sebuah vinyl player hitam tiba-tiba berbunyi dengan sendirinya, menghasilkan suara gesekan yang khas, lalu bait demi bait lirik Losing My Religion dari kelompok musik rok tahun 80-an R.E.M berputar.

Every Whisper

Of every waking hour

I'm choosing my confessions

Trying to keep an eye on you

Like a hurt, lost and blinded fool, fool...

Oh no, I've said too much

***

Pagi Hari, saat ini.

Kepolisian Resor Jakarta Utara. 25 Januari.

Ia menggaruk-garuk kepala, membuat rambut belah tengahnya menjadi semakin terlihat acak-acakan, suatu model yang tren di era milenium, tapi saat memasuki era milenial seperti sekarang ini, bentuk rambutnya tak ubahnya seperti halaman buku yang tengah terbuka.

Inspektur Dua Rambu Bentara berjalan cepat di lorong, hatinya terus berdentam karena kejadian dua jam sebelumnya yang kurang mengenakkan hati.

Sampai di depan pintu, ia langsung mendobrak dan masuk begitu saja. Berharap dapat tatapan ramah dari para anggotanya, tapi malah suasana kaku yang didapat. Kekakuan yang sebenarnya dia sendiri yang ciptakan.

Kalemnya Rambu, sering diartikan kaku oleh para anggotanya.

Brigadir satu Jendra Hermawan dan Brigadir dua Alina nampak bersedekap saat menyambut Rambu. Jendra selalu menengadahkan dagunya sedikit ke atas, ingin menunjukan bahwa dirinya juga patut dihargai dalam kesatuan tim, karena merasa lebih berpengalaman dan merupakan polisi tulen, berbeda dengan Rambu yang meraih pangkat tinggi melalui jalur SIPSS[1]. Dan secara pangkat dan organisasi, tetap saja bahwa Rambu atasannya kini.

Rambu mengalihkan tatapannya kepada sosok pria yang terduduk di depan komputer. "Pagi T-Rex, gimana, ada temuan apa?"

Pria berkacamata dari unit siber itu berkata.

"Pagi bos, tidak ada CCTV di tempat ditemukannya mayat tersebut. Taman Pintu merupakan tempat yang gelap, tak terurus, penuh remang-remang dan sering dijadikan tempat transaksi ilegal maupun mangkalnya para pekerja seks. Tempat itu sudah seperti surga bagi para psikopat manapun yang ingin sekedar nongkrong cari angin atau ngumpul-ngumpul sambil ngopi dengan batok kepala manusia sebagai cangkirnya."

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang