[15] The Man Who Sold the World

97 21 1
                                    

[15] The Man Who Sold the World

Oleh: Ayu Welirang

"Ih, apaan sih? Malu dong, Sa! Jangan rekam aku terus!" ujar seorang gadis dari video di layar televisi. Gadis itu tersenyum manis saat tengah menyiapkan peralatan memancing di tepi sebuah danau, sebelum akhirnya berjalan ke arah orang yang merekam dan menutup lensanya dengan telapak tangan. Sebuah cincin samar berada di jari manisnya.

Setelah video tersebut selesai, kini tampak gadis yang sama, memilih-milih kain di sebuah pasar tradisional. "Yang ini bagus, Sa. Buat bridesmaid di nikahan nanti. Gimana?"

Gadis itu kembali tersenyum, lesung pipinya menghiasi wajah hitam manis yang bulat. Sebuah bando merah terpasang, hingga menunjukkan dahi gadis lebar itu. Lalu, sang gadis menghampiri kameramen dan kini menghadapkan kamera ke wajah dia dan seorang lelaki.

"Halooo. Kami lagi cari kain di Mayestik. Keren-keren lho!" kata si gadis ke arah kamera.

"Aduh, Airin. Udah ah, malu!" ujar si lelaki sambil menutupi wajahnya. Sekilas tampak cincin melingkar di jari manis lelaki itu. Cincin pasangan.

Si gadis bernama Airin hanya tersenyum, lalu kamera kembali merekam kegiatan di sekitar pasar, dengan fokus pada Airin.

Airin pun bergumam menggoda, "Ah, Musa mah gitu. Masa nanti video buat di nikahan mukanya aku doang."

Video terus berputar, memancarkan gelombang cahaya kebiruan dari televisi yang berpendar dalam ruangan gelap, tanpa cahaya lampu, lilin, bahkan kunang-kunang. Sosok lelaki terduduk di lantai berkarpet, di hadapan sofa dan terus menatap televisi. Ia berkedip konstan dalam tempo lambat. Ia mencoba untuk menyerap semua sari-sari kehidupan sang gadis yang hanya ada dalam video. Napas kehidupan Airin yang tersisa. Airin yang berlesung pipi, bermata cokelat muda, dan selalu menyapanya dengan riang dalam kondisi apa pun. Airin yang sedang menari, Airin yang sedang latihan pertunjukan, Airin yang selalu ceria di sekitar teman kampusnya.

Namun, semua itu tak berlangsung lama.

***

Airin mengetuk rumah kontrakan Prama Musa yang kala itu masih berstatus mahasiswa seni instalasi digital di Institut Teater dan Seni Indonesia (ITSI), pada tengah malam, 8 Juli 2010. Musa yang baru saja hendak tidur setelah mengerjakan tugas akhir instalasi selama dua hari, tentu saja tak jadi singgah di kamar. Ia segera menuju pintu depan. Suara gemuruh dari langit mulai menggelegar. Hujan sepertinya akan turun.

Musa membuka pintu dengan cepat, suara isak terdengar dari baliknya. Ia ragu membuka pintu. Bagaimana jika ini hantu tengah malam? Namun, Musa segera membuka pintu.

Betapa kagetnya Musa saat melihat Airin di hadapan pintu. Rambutnya berantakan, pakaian telah sobek di bahu, bahkan rok selutut yang ia kenakan sudah tak berbentuk. Dengan perlahan dan cekatan, Musa mengajak Airin masuk.

Ada noda darah tipis di kaki Airin. Gadis itu terus terisak bahkan saat Musa menawarinya minum.

"Airin..." Musa memanggilnya lembut.

Isak gadis itu telah berhenti, tapi matanya kosong menatap ke arah instalasi seni yang Musa kerjakan di ruang tengah dekat dapur. Instalasi itu berbentuk pohon dari pancang-pancang besi, lalu ada dahan berwarna-warni dengan beberapa kabel untuk disambungkan ke lampu seven segment seperti di toko-toko reklame.

"Merah..." gumam Airin sembari menatap kosong ke instalasi seni.

"Ada apa? Kamu bisa cerita sama aku..."

"Darah itu, merah..." Mulai terdengar tangis lagi. Airin mencengkeram lengannya sendiri. Meski kukunya pendek, lengan kirinya mulai memerah pertanda emosi memuncak dan ia dengan kuat mencengkeramnya.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang