[1] Dua Puluh Tiga

563 63 12
                                    

[1] Dua Puluh Tiga

Oleh: N. R. Hidayati (FB Umie)


Taman Pintu, 21 Januari 2021

Waktu menunjukkan pukul 22.45 WIB, saat sebuah mobil hitam berjenis SUV berhenti tepat di depan seorang perempuan bergaun merah. Suara klakson yang pengemudi mobil bunyikan memecah lamunan perempuan muda berusia awal dua puluh tahun itu.

Awalnya ia tampak kesal, tapi seketika senyumnya mengembang saat menyadari sopir mobil mewah itu telah membuka jendela pintu penumpang bagian depan dan melambai ke arahnya. Bergegas merapikan gaun kusut yang ia kenakan, lalu mendekat ke jendela mobil.

"Malam ... Om?" ucapnya terdengar ragu, sepertinya ia sedang berpikir harus bagaimana memanggil laki-laki yang tampak berusia awal tiga puluh itu.

"Berapa umurmu?"

"Eh, umur?"

Perempuan itu tampak terkejut, tidak biasanya calon pelanggan yang berhenti untuk melakukan transaksi dengannya menanyakan usia. Ia melirik badan mobil itu sekali lagi, sepertinya ingin memastikan bahwa laki-laki di hadapannya adalah calon pelanggan dan bukanlah seseorang dari dinas sosial atau sejenisnya.

"Dua puluh tiga, Om," ucapnya setelah ia benar-benar yakin bahwa orang itu merupakan calon pelanggan.

Sekilas terlihat seringai dari wajah laki-laki pengemudi mobil itu. Namun, ia buru-buru mengubah ekspresinya saat sadar perempuan itu menatapnya.

Terdengar ada penawaran yang cukup tidak masuk akal dari perempuan itu, tapi anehnya dengan mudah semua disetujui oleh si pengemudi mobil. Seolah ia benar-benar menginginkannya.

"Kalau begitu ke tempat langganan saya saja, ya, Om. Murah tapi aman."

"Tidak, aku yang akan memilih tempatnya."

Setelah terdiam sedikit lama mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada, perempuan itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil ia terlihat sibuk menghitung lembar demi lembar uang yang baru saja laki-laki itu berikan. Sesekali ia berswafoto dengan ponselnya sembari memamerkan deretan uang berwarna merah itu.

"Masukan ponselmu!"

Karena terkejut, perempuan itu segera memasukkan ponselnya ke dalam tas genggam miliknya. Ia menoleh ke arah laki-laki di sebelahnya dan beringsut mendekatinya.

"Takut ketahuan istri, ya, Om? Aman kok, kan nggak kelihatan," balasnya sembari bergelayut manja, salah satu jarinya coba menyentuh cincin emas yang melingkar di jari manis laki-laki itu.

"Duduklah dengan benar!"

Kali ini tidak hanya bentakan, tapi laki-laki itu mendorong tubuh perempuan yang sebelumnya duduk bersandar padanya. Terlihat dengan jelas ketidaksukaannya saat perempuan itu menyentuh cincin emas miliknya.

"Ma ... maaf, Om."

Setelahnya ia memilih diam menikmati perjalanannya, takut melakukan kesalahan. Ia tidak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang dihadapi oleh pelanggannya kali ini. Terlihat jelas emosinya mudah berganti. Akan tetapi ia langsung mengerti bahwa cincin yang melingkar di jari manisnya menjadi benda terlarang untuk disentuh. Ia berusaha mengingat hal itu dan tidak ingin melakukan hal bodoh lagi nanti.

Hujan mulai turun saat mereka tiba di sebuah kompleks hunian mewah yang terletak di salah satu kawasan elite Jakarta Utara. Laki-laki itu menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Ia meminta perempuan itu turun lebih dulu dan menunggu di depan pintu selagi ia menurunkan semua barang bawaannya.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang