[20] Pemburu

78 17 1
                                    

[20] Pemburu

Oleh: Miguel A.J.


Prama Musa memperhatikan sosok pria yang berjalan keluar dari pintu rumahnya. Di belakang sosok itu asap mulai terlihat membubung, tak lama lagi kobaran api dari lantai bawah pun akan segera membakar seisi rumah. Pria itu menghampiri Musa secara perlahan, dengan begitu tenang, seakan tidak ada yang terjadi di sekitarnya. Ketika tiba tepat di hadapannya, pria itu segera menurunkan tudung jaketnya.

"Kamu yakin mau melakukannya?" katanya datar, pada Musa.

"Ya, harus. Harus seperti ini."

"Aku bisa membunuhmu terlebih dahulu supaya kamu tidak merasakan panas api yang membakar. Kupikir itu lebih baik."

"Tidak bisa. Kalau ada satu indikasi saja di tubuhku yang menunjukkan aku tidak mati terbakar, mereka akan curiga. Mereka akan terus mencari kepingan-kepingan yang terlewat, sehingga kamu pun akan ditemukan. Ingat, semua ini belum usai. Kamu tidak boleh mati sekarang, aku yang harus mati, Mas."

"Baiklah. Tapi biar kuberi tahu, mati terbakar itu bakal sakit, loh."

"Semua karena rekan si keparat itu berhasil melihatku." Balas Musa, mengabaikan peringatan pria itu. "Sudah menodongkan pistol, tapi tidak menembak. Kalau dia berharap aku akan berbaik hati padanya, dia salah. Biar rekannya yang bakalan gosong ini menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya."

Asap dari rumah semakin menebal. Waktu Musa tidak banyak lagi. Dia berjalan, pelan sekali, menuju rumah yang sebentar lagi akan roboh tak tersisa. Beberapa langkah sebelum memasuki rumah, langkah Musah mendadak terhenti. Dia melepaskan sesuatu dari jari manisnya, berbalik, dan memberikan benda itu kepada orang yang disebutnya sebagai "Mas" itu.

"Aku tahu, kamu tetap sayang sama Airin meski dia lebih memilihku. Ini, ambillah cincin pernikahanku dengannya. Tuntaskan pekerjaan kita, Mas. Balaskan kematian Airin. Anggaplah dia sebagai istrimu juga."

Pria itu mengambil cincin Musa lalu segera mengenakannya di jarinya. Dia merasakan kehadiran Airin di sana, dan entah kenapa kebencian dalam dirinya semakin mendarah daging. Seakan-akan, seluruh tujuan hidupnya hanyalah untuk membinasakan orang-orang yang terlibat dalam kematian Airin.

Musa kembali berjalan menuju rumahnya, tempatnya akan mati. Tetapi di hadapan pintu rumahnya itu dia sekali lagi berhenti, bukan karena takut, tetapi untuk menyampaikan pesan terakhir pada orang yang kini telah memakai cincin pernikahannya.

"Seorang pemikir pernah mengatakan, mereka yang memburu para monster harus berhati-hati agar mereka tidak menjadi monster juga. Menurutku orang itu salah. Justru kita harus menjadi monster untuk bisa membasmi monster-monster keparat itu! Jadilah monster, Mas. Jadilah monster."

Dan, dengan pesan terakhir itulah Prama Musa menyambut maut. Masuk ke dalam rumah yang terbakar. Ketika api mulai merambat ke seluruh ruangan dan akhirnya membakar kulit-kulitnya, Musa tetap bergeming tanpa mengerang sama sekali.

Besoknya, ketika berita mengenai rumah terbakar itu tersebar, media-media yang ada menuliskan bahwa kebakaran itu diakibatkan oleh korsleting listrik. Jumlah korban kebakaran: satu orang.

***

Ketika suara tembak menembak mulai terdengar, sebuah mobil SUV hitam yang berhenti tak jauh dari lokasi segera melaju menjauhi tempat tersebut. Sesungging senyum terukir di bibir pengemudinya, cukup puas dengan hasil kerjanya. "For she had eyes and chose me," ucapnya pelan, mengikuti kalimat drama Othello pada babak ketiga dalam adegan ketiga.

Mudah baginya untuk bisa memaksa Alina "bekerja" untuknya. Orang yang pasrah dan rela melakukan apa pun demi orang tercinta, dapat dengan mudah dipaksa melakukan sesuatu, selama orang yang dicintainya itu dijamin keselamatannya. Dalam kasus Alina, bon pembayaran pengobatan adiknya yang dilunasi menjadi jaminan baginya untuk menuruti permintaannya.

Akan tetapi, bon itu bukan satu-satunya modal yang digunakannya untuk menarik Alina. Melalui hasil visum pemerkosaan Airin yang dimilikinya serta cerita kebusukan beberapa polisi yang membuat kasus itu dihilangkan, dia berhasil meyakinkan Alina bahwa pembunuhan yang dilakukannya sesungguhnya patut dibenarkan.

Alina tentu saja terguncang usai mengetahui kisah itu. Baginya Airin hanyalah sesosok hantu yang tak pernah didengar, tidak memiliki hubungan apa pun dengan pembunuhan berantai yang telah terjadi. Tetapi, dengan hasil visum pemerkosaan, daftar para korban sepuluh tahun lalu, serta cerita mengenai keterlibatan polisi membuat Alina mau tidak mau percaya juga. Toh, si pembunuh yang mendadak menceritakan semua ini padanya sudah membayarkan seluruh pengobatan adiknya. Baginya, versi siapa yang benar, sudah tidak penting.

Maka dari itulah, Alina pada akhirnya setuju mengikuti segala perintah, dengan syarat kepala Bianca dikembalikan pada pihak kepolisian. Dirinya setuju, karena baginya kepala Bianca terlalu banyak berbicara padanya. Dengan disepakatinya perjanjian, dia segera meminta Alina membuntuti Darius, memancing Jendra ke kosannya lalu membuatnya tak sadarkan diri, dan terakhir, mengarahkan para polisi ke tempat yang diminta. Setelah itu, tugas Alina selesai dan dirinyalah yang beraksi.

Ia mendandani Jendra dengan pakaian aneh yang menutupi matanya, melakban tangannya agar tidak terlepas dengan senjata, dan terakhir melakban mulutnya agar ia tidak bisa berbicara. Ia yakin, di antara Jendra dan para polisi yang datang akan terjadi baku tembak. Baginya siapa pun yang mati tidak masalah. Itu sudah cukup membuat petinggi kepolisian yang dibencinya muncul, Sang Kapolda.

Sepuluh tahun setelah kematian Prama Musa, ia terus berusaha mencari pihak-pihak lain yang terlibat dalam pemerkosaan Airin. Para monster pemerkosa memang sudah berhasil dirinya dan Musa buru. James Alvaro dipenggal, Kevin dipenggal, istri Ardit dipenggal, Rio dipenggal. Tetapi, pihak yang bersalah di kepolisian belum tersentuh, dan itulah yang kini hendak dilaksanakan olehnya setelah sepuluh tahun berlalu.

Setelah berkendara selama beberapa waktu, Mobil SUV hitamnya akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang terletak di perumahan kelas menengah. Ia lekas turun, memasuki rumahnya, dan langsung menuju dapur.

Di dapur itu terdapat tiga buah mesin pendingin, dua ditulisi angka 2011, sementara yang satunya 2021. Ia berjalan menuju salah satu mesin pendingin yang bertuliskan angka 2011, membukanya, dan mengeluarkan sebuah stoples berukuran cukup besar. Diusap-usapnya embun yang memenuhi stoples itu, dan segera terlihatlah kepala yang ternyata berada di dalamnya. Dia tersenyum, memperhatikan kepala tersebut.

"Sebentar lagi pemburuan akan selesai, James."

"Aku harap begitu," balas kepala James Alvaro. Dan kemudian, keduanya saling menyunggingkan senyuman.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang