[28] Kertas Dewa

61 18 1
                                    

[28] Kertas Dewa

Oleh: Kalcatra


"Gamar?" panggil Rambu untuk yang ketiga kalinya. Memastikan Gamar mendengar suaranya.

Mata Gamar masih tertuju pada wajah Rambu, menerka-nerka ekspresi sosok di hadapannya setelah melihat kepala Prama Musa. Penglihatannya mulai mengabur. Ditatapnya lekat-lekat wajah Rambu, yang dia lihat sebagai wajah ibunya. Gamar mengangkat kedua tangannya yang sejak tadi gemetaran, menyentuh leher Rambu dengan ragu-ragu, khawatir tangannya mengenai luka di leher ibunya. Dia ingat di mana luka itu berada.

"Ibu," lirih Gamar, berusaha menahan tangis. Pita suaranya melemah, membuatnya kesulitan bicara. Gamar menghela napas panjang, lalu terkekeh, tatapannya masih kosong. Kini mata dan tangannya mencari-cari mata Rambu yang dia lihat sebagai ibunya, memastikan orang yang ditatapnya memercayai apa yang akan dia katakan. "Aku sudah membalas luka ibu. Lihat!"

Gamar mengedarkan pandangannya ke arah lantai, mencari sosok yang sejak tadi dia hantam lalu berjongkok dekat pilar, tak jauh dari tempat Rambu berdiri. Salah seorang petugas, yang tadi mengikuti Rambu menyoroti senternya ke arah tangan dan wajah Gamar, tepat setelah Gamar pikir telah mengangkat kepala Musa. Sorotan cahaya senter itu menyilaukan pandangan Gamar. Salah satu tangan Gamar menghalangi cahaya itu dari matanya. Perlahan, sosok kepala yang Gamar pegang menghilang.

"Loh?" Gamar panik. Dia yakin, dia sudah menggenggam kepala itu.

Rambu yang kebingungan melihat apa yang dilakukan gadis itu, menarik bahu Gamar ke hadapannya.

"Mar. Hei, hei, duduk dulu," perintahnya. "Lo cari apa?"

Gamar duduk, mengikuti arahan Rambu, tapi matanya masih fokus mencari-cari kepala Musa.

"Kepala. Musa," ucapnya riang pada Rambu seraya mengisyaratkan bentuk kepala di udara dengan kedua tangannya. Matanya mencari-cari kepala itu di sekitar. Sesekali kedua tangannya saling meraba, memastikan kepala yang tadi dia pegang nyata. Gamar terlihat kesal, dia menatap rekan Rambu yang tadi menyorotinya dengan senter, yang dalam penglihatannya memakai pakaian warna-warni.

"Heh, Pelangi!" teriaknya kesal. Gamar yakin, si Pelangi telah mencuri kepala Musa darinya.

"Hei, hei," ucap Rambu.

Tangan kanan Rambu menahan bahu Gamar agar tetap duduk. Tangan kirinya mencubit pipi Gamar, menariknya ke samping kiri agar Gamar melihatnya.

Firasat Rambu buruk. Dia menyorotkan senternya ke sekeliling wajah Gamar, memastikan dugaannya yang dia harap salah. Rambu mendapati sesuatu yang membuatnya khawatir. Tangan kirinya menahan rahang Gamar, tangan kanannya berusaha membuka mulut Gamar yang kering dengan hati-hati. Sejenak, denyut jantung Rambu meningkat. Rambu menghela napas, menenangkan hatinya, berusaha fokus, diambilnya senter lalu menyoroti lidah Gamar.

"Sial!" gumam Rambu. Dia pernah melihat kondisi seperti ini, dulu. "Dia butuh obat ketanserin."

Dua orang rekan Rambu yang baru selesai mengamankan lokasi berjalan mundur, memberi isyarat pada Rambu bahwa tidak ada orang selain mereka di sana. Seorang lainnya menatap parang yang tadi digunakan Gamar dengan tatapan kasihan, seolah dia adalah kolektor barang antik yang melihat barang antik kesayangannya tergores. Setelah puas berkabung, dia mengamankan parang itu, memasukkannya ke sebuah kantong khusus, lalu menjinjingnya.

"Mar, kita pergi dulu dari sini." Rambu memberi isyarat pada rekannya perihal kondisi Gamar lalu mengangkat bahu Gamar, memapahnya berjalan menuju pintu yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri.

Langkah Gamar terhenti ketika melihat si Pelangi berjalan di sampingnya. Dia sangat kesal hingga berusaha meninju si Pelangi beberapa kali, tapi tidak kena sasaran karena sosok itu selalu melesat dengan cepat dari pandangannya. Membuatnya semakin kesal. Gamar menarik lengan kiri Rambu yang masih dia lihat sebagai ibunya, menatap wajahnya lalu merajuk seolah mengadu betapa kesalnya dia pada si Pelangi.

"Imutnya," gumam Rambu memalingkan wajahnya. Tangan kanannya yang mengepal diangkat, menutup mulutnya, menahan tawa.

Jelas Gamar tak ingin pergi dari sana, apalagi jika si Pelangi ikut. Rambu meyakinkan Gamar bahwa dia akan memukul si Pelangi. Rekan-rekan Rambu lainnya berinsiatif berpura-pura memukul dan menendang si Pelangi seraya menahan tawa. Si Pelangi pun kabur setelah berguling dan mengerang di lantai. Gamar yang merasa puas merentangkan ibu jarinya ke arah mereka sembari tersenyum.

Mereka menuju lantai dasar gedung bersama. Rambu memberi isyarat kepada rekan-rekannya agar bersiaga di sekitar, memastikan Gamar tidak tiba-tiba kabur karena melihat sesuatu yang memicu halusinasinya.

Dua orang dari mereka berjalan lebih dulu, memastikan situasi aman. Tak lama, semuanya tiba di tempat mereka memakirkan mobil SUV. Gamar melihat beberapa mobil dengan warna yang berbeda-beda, di sekitar mobil itu ada banyak orang berpakaian nyentrik. Gamar melihat mereka dengan antusias dan senang. Dia pikir sedang ada pawai. Saat ingin menghampiri mereka lebih dekat, seseorang menarik lengan Gamar, membawanya ke dalam mobil, menempatkannya di kursi tengah. Rambu duduk di sisi kanan Gamar, dekat jendela pintu. Gamar kecewa karena tidak bisa bersandar di jendela pintu mobil. Dia ingin melihat orang-orang itu lebih dekat.

Sepanjang perjalanan, Gamar hanya duduk sembari menatap ke arah depan hingga bosan. Dia merasa seperti sedang bermain permainan simulasi setir mobil. Mobil itu melaju melewati jalan raya dengan lambat, padahal tidak ada kendaraan yang menghalanginya melaju cepat. Tak lama, mobil yang ditumpanginya menyusuri jalan yang lebih kecil lalu memasuki gerbang. Gamar sangat senang ketika mobil itu berhenti dan orang di sebelahnya membuka pintu, akhirnya dia bisa terbebas dari situasi membosankan itu. Gamar melesat keluar dari mobil, ingin mengendarai motor kesayangannya. Saat seseorang ingin menarik lengannya, Gamar segera mengelak, khawatir seseorang menempatkannya di situasi membosankan lagi. Namun, Rambu segera menangkap lengannya dan menariknya memasuki bangunan besar.

***

T-Rex terbangun dengan napas terengah. Pandangannya masih mengabur, tubuhnya bersiap lari, tapi kesadaran menghentikan tubuhnya. Dadanya terasa sesak seakan mimpi tadi nyata. Dia memeriksa perutnya, memastikan belati yang dia lihat menembus perutnya benar-benar hanya mimpi. Dia menatap sekitarnya, lalu berusaha mengingat-ingat detail mimpinya. Samar. Hanya sosok pria dengan postur tubuh tegap dan cincin emas dengan bentuk khusus di salah satu jarinya. T-Rex merasa tak asing dengan cincin itu. Dia tak yakin, entah pernah melihatnya langsung atau sekadar tahu dari para informan. Satu yang dia yakini, mulai sejak itu, dia harus lebih berhati-hati. Ponselnya berdering dengan nada khusus. Isi pesannya membuat T-Rex gelisah.

***

Gamar duduk di kursi, menatap meja dan dinding berwarna broken white di hadapannya hingga bosan, pikirannya mengembara ke mana-mana. Bosan duduk, dia berbaring lama di kasur yang mirip dengan kasur rumah sakit. Menunggu Rambu, yang masih dia lihat sebagai ibunya kembali. Tirai yang menghalanginya melihat pintu membuatnya merasa tak asing. Gamar kecewa, dia sudah menunggu lama tapi ibunya tak kunjung kembali. Dia memutuskan untuk terlelap sebentar. Baru saja beberapa menit dia memejamkan mata, suara ketukan pintu membangunkannya.

"Ram," ucap pria di balik pintu. Gamar tahu suara itu, terlebih, nama itu, hanya orang itu yang memanggilnya dengan nama itu. Gamar segera menghampiri pintu lalu membukanya. Dua orang pria yang sangat dikenalnya berada di hadapannya. "Halo, Ram."

Gamar terpaku, tersenyum lega lalu memeluk pria itu sembari menangis.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang