[14] Benang Merah

78 21 0
                                    

[14] Benang Merah

Oleh: Subetty


Kedua tangannya terkepal erat, dihantamkan dengan keras ke atas meja. Urat-urat bertonjolan di punggung tangan kekar itu. Napasnya memburu. Matanya nyalang menatap deretan foto-foto yang ditempelkan dengan push pin ke papan cork board yang ada di dinding kamar. Foto-foto pria dan wanita dengan berbagai pose yang seolah acak, namun sebenarnya terhubung satu sama lain oleh sebuah benang merah.

Pria itu melangkah mendekati cork board, memandang satu per satu foto-foto yang tertempel di sana. Beberapa foto disilang dengan spidol merah, menyisakan beberapa foto yang masih belum bertanda. Semua foto itu terhubung dengan sebuah foto perempuan cantik yang terpajang persis di tengah.

"Sabar, Sayang. Sebentar lagi, semuanya akan selesai. Dendam ini, sakit hati ini, semua akan terbalaskan. Mereka semua akan tahu, bagaimana rasanya bila seseorang yang sangat berarti direnggut secara paksa dengan cara yang tidak manusiawi." Pria itu bergumam sambil jarinya mengusap foto wanita yang ada di tengah.

Matanya beralih pada foto orang-orang yang belum diberi tanda. Tatapannya kembali memancarkan kebengisan. Sebuah tekad bulat yang tak bisa diurungkan oleh siapa pun atau apa pun juga. Satu calon korban telah lolos dari sela-sela jarinya. Hal itu sempat membuatnya gusar. Segala rencana, perhitungan, dan perkiraan yang telah dibuatnya selama ini nyaris selalu berhasil dilaksanakan dengan tuntas dan rapi. Satu hal yang berjalan menyimpang dari apa yang sudah disusun dalam kepala, bisa membuatnya gusar dan hilang kendali. Namun, dia berusaha dengan cepat untuk memulihkan diri. Dia tak boleh membiarkan diri kehilangan kendali. Polisi-polisi itu pasti semakin dekat mengendus jejaknya, walaupun hal itu berkat petunjuk dan kode-kode yang memang dengan sengaja ditinggalkannya.

Tinggal beberapa orang lagi yang harus membuat perhitungan dengannya. Setelah itu, semuanya akan selesai. Dia tidak peduli lagi apa yang akan terjadi padanya. Karena itu, dia harus menyelesaikan semuanya segera. Sebelum moncong anjing-anjing pelacak itu berhasil mengendus identitas, motif, dan calon-calon korban berikutnya. Pria itu merapikan rambutnya yang kini berwarna cokelat terang. Dia memasang lensa kontak yang juga berwarna cokelat terang, mematut diri di depan cermin, sebelum akhirnya keluar dari apartemen itu menuju tempat parkir di basement. Dia membuka pintu sedan hatchback yang teparkir di sebelah SUV hitam kesayangannya. Mobil itu sudah terlalu sering tampil. Dia merasa bahwa polisi pasti sudah menandai kendaraan itu. Hal itu membuatnya memutuskan untuk menggantikannya dengan kendaraan jenis lain yang juga cukup banyak dijumpai di jalanan kota Jakarta. Mobil itu melaju tenang meninggalkan gedung menuju mangsa berikutnya.

*

"Selamat siang, Komandan. Lama ya, nggak pernah main ke sini lagi," sapa sebuah suara wanita yang renyah. Darius tersenyum kecut pada wanita yang mengenakan seragam cokelat dengan pangkat melati satu itu.

"Ah, Bu Dokter ngeledek saja. Apa kabar, Dok?" balas Darius sambil menyalami seniornya itu.

"Yah, begini-begini saja lah di sini. Kalau banyak kiriman, ya dikerjakan. Kalau nggak, ya kita nggak akan nyari." Mereka berdua tertawa ringan. Lorong kamar jenazah dan ruang autopsi yang biasanya suram dan sunyi itu sejenak menjadi ramai oleh obrolan ringan dua petugas kepolisian itu.

"Saya dengar, Mas Darius menangani kasus yang sedang heboh belakangan ini, ya?" tanya dokter Sanny, dokter forensik kepolisian yang berperawakan kecil dan manis tetapi pemberani. Dia menyapa Darius dengan sebutan Mas untuk menghormatinya walaupun secara usia maupun pangkat Darius masih berada di bawahnya. Bagaimanapun, di lingkungan TNI/POLRI, anggota yang berasal dari lulusan Akademi biasanya lebih cepat melesat secara kepangkatan maupun karir. Mereka adalah calon-calon pemimpin di dua organisasi tersebut. Dan dokter Sanny yang berasal dari SIPSS, secara sadar dan ikhlas mengakui hal itu. Walaupun saat ini Darius masih menjadi yuniornya, beberapa tahun ke depan bisa jadi keadaan akan berbalik.

"Betul, Dok. Itu alasan saya ke sini sebenarnya. Kami sudah dibuat pusing sama jagal Nirkapala sialan ini. Barangkali Dokter bisa memberi saya sedikit pencerahan, Dok," ujar Darius terus terang.

Sanny tersenyum maklum dan beranjak menuju salah satu ruangan, memberi tanda pada Darius untuk mengikutinya. Perempuan itu memasuki salah satu ruangan dengan beberapa laci baja yang menempel di dinding. Ruang pendingin jenazah. Dengan cekatan, dia menarik salah satu laci hingga isinya terpampang sebagian. Sosok pucat dan beku tanpa kepala.

"Anda mengenali jenazah ini, Mas?" tanya Sanny lirih. Darius mengangguk kelu. Itu jasad Bianca.

"Sejauh ini, sudah ada tiga jasad wanita tanpa kepala yang saya periksa. Ketiganya berbeda usia dan suku. Persamaan yang dapat saya temukan, tidak ada tanda kekerasan seksual perimortem pada ketiganya. Tidak ada tanda penyiksaan, kecuali pada korban pertama yang dibakar telapaknya. Pelaku mengakhiri hidup korban dengan cukup cepat dan dapat saya pastikan menggunakan alat yang sama. Semacam pisau besar dan panjang yang sangat tajam. Dia tidak memiliki keraguan dalam memenggal korban-korbannya. Menunjukkan juga bahwa dia orang yang memiliki kekuatan fisik yang kuat, tidak kidal, dan sudah pernah atau berpengalaman melakukan hal seperti ini sebelumnya." Penjelasan Sanny tidak memberikan informasi baru yang dibutuhkan Darius. Dia mematung menatap kosong jenazah beku mantan rekan polisinya itu.

"Dok, apa Dokter sudah bertugas di sini sepuluh tahun yang lalu?" tanya Darius tiba-tiba.

"Belum. Kenapa?" Sanny menggeleng sambil menatap heran.

"Saya minta tolong. Dokter buka lagi berkas autopsi korban-korban kasus Nirkapala sepuluh tahun yang lalu. Tolong Dokter teliti lagi dan dokter bandingkan dengan kasus sekarang. Kalau Dokter menemukan apa pun, tolong kabari saya. Nanti saya minta Triyas mengirimkan nomor-nomor berkasnya pada Dokter." Darius menatap Sanny penuh harap.

"Siap," jawab Sanny singkat.

"Secepatnya, ya, Dok. Saya rasa, kasus ini akan mengalami ekskalasi. Dan kita tidak akan suka kalau sampai jatuh korban lebih banyak lagi." Sanny mengangguk, menyetujui pernyataan Darius. Walaupun dia belum tahu sepenuhnya tentang kasus Nirkapala sepuluh tahun lalu, Sanny tahu bahwa pembunuh berantai yang memiliki motif tertentu dalam melaksanakan tindakannya akan cenderung untuk makin meningkatkan kejahatannya. Entah secara frekuensi, maupun tingkat kesadisannya. Hal itu didorong oleh berbagai hal. Bisa karena merasa terdesak, kemarahan yang semakin menumpuk, kesembronoan karena merasa tidak akan tertangkap, dan sebab-sebab lain.

Darius berpamitan pada Sanny dan menghubungi Triyas untuk mencari nomor berkas forensik yang dimaksudkan dan mengirimkannya pada Sanny secepatnya. Dalam hati dia sangat berharap agar kekhawatirannya tidak terbukti. Dia terus berpikir keras sambil mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman rumah sakit hingga tak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya dari dalam sedan hitam yang terparkir di pinggir jalan.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang