[8] Sang Legenda

128 21 0
                                    


[8] Sang Legenda

Oleh: M Fadli


Sepertinya dinginnya ruangan kantor itu tak bisa menenangkan hati ketiga polisi paruh baya yang tertunduk lesu. Pangkat di pundak seolah menjadi taruhan di hadapan sang petinggi yang saat ini berdiri di hadapan mereka, sambil mengamati sebuah sketsa wajah. Keningnya terus menerus mengkerut, masih jengkel lantaran diberondong ocehan orang-orang dari Mabes. Imbasnya, ketiga polisi berpangkat melati itu menjadi sasaran amarahnya. Mereka terlihat seperti tikus yang gusar tak berdaya di hadapan singa yang berulang kali mengaum tepat di telinga.

"Apa ada isu lain yang bisa kita angkat?" tanya Kapolda Metro Jaya terhadap tiga jajarannya. "Minimal buat nutupin kasus ini.

Kapolres Jakarta Utara dan Kapolres Jakarta Pusat saling tukar pandangan dari tempat duduknya. Keduanya tahu pertanyaan itu tidak hanya ditujukan untuk mereka. Sementara Kadiv Humas membeku dan berdoa dalam hati, berharap Kapolda lupa karena dirinya salah ngomong saat press conference tentang kasus yang sedang heboh ini.

"Kok pada diam sih?" Semprot Kapolda. "Saya pusing dimention terus di medsos. Ini kalau sampai ada wartawan yang menghubungkan kasus ini dengan kasus sepuluh tahun lalu, bisa geger."

"Sepertinya belum ada isu lain yang bisa diangkat. Agak susah ditutupin juga," ucap Kapolres Jakpus, menjawab pertanyaan yang harusnya dijawab Kadiv Humas. "Zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Kita masih bisa nutupin kasus mutilasi sepuluh tahun lalu. Banyak orang belum pakai medsos, istilah trending belum ada, publik tidak mencium. Tapi kalau sekarang, netizen sudah kayak detektif. Belum lagi wartawan suka menjadikan cuitan netizen di medsos jadi berita."

Brak! Kapolda memukul mejanya dengan suara seperti petir yang tiba-tiba.

"Pokoknya nggak mau tahu. Kalo netizen atau wartawan ngangkat tentang kasus ini tak masalah," ucap Kapolda. "Yang penting jangan sampai mereka menghubungkan kasus ini dengan kasus yang dulu. Apalagi polisi muda itu, adiknya Sam itu, ehm siapa namanya?"

"Ipda Rambu Bentara, Pak," jawab Kapolres Jakut.

"Sudah kamu pikirkan bagaimana cara nyingkirin dia?"

"Sudah saya lakukan berulang kali, Pak. Dari kasus pertama muncul, saya sudah tekan dia, harapannya sih dia menyerah dan mundur dari kasus ini. Ya, memang agak gigih orangnya. Nah, sekarang kesempatan untuk nyingkirin dia lebih terbuka lagi karena ada tim gabungan dari Polda. Belum lagi menurut kode yang ditinggalkan pelaku, kemungkinan terjadi di wilayah Jakpus. Kami bisa jadikan alasan tim Jatanras Jakpus yang akan kolaborasi dengan Tim Polda. Sedangkan yang akan mengusut dua pembunuhan di Taman Pintu dan Sunter sudah diserahkan ke AKP Novan. Sengaja kasih ke pangkat yang besar, biar dia mundur dengan sendirinya."

Kapolres Jakarta Pusat turut berkomentar. "Tambahan, Pak. Tim kami sudah berkoordinasi dengan pihak lain. Mengingat Monas ini Ring 1, kami polisi setempat juga berkoordinasi dengan Pangdam Jaya dan Paspampres. Jadi tim dari Jakut nggak perlu ikutan."

"Apapun itu, buat dia tidak terlibat menangani kasus ini. Kalau bisa kasih kasus lain. Buat dia sibuk dan nggak ngulik kasus ini. Jangan sampai dia tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya."

"Baik, Pak."

"Sekarang kembali ke kasus ini? Bagaimana menangani kasus ini dengan cepat, tanpa ribut-ribut dan tidak tercium publik?

Kadiv Humas yang dari tadi membeku kini berdiri dan buka suara.

"Saya ada ide Pak," kata polisi berkepala plontos itu. "Kalau benar ini kasus berkaitan dengan kasus sebelumnya, mungkin kita perlu panggil dia Pak."

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang