[18] Alasan

84 20 2
                                    

[18] Alasan

Oleh: Subetty


Berbeda dengan sebelumnya, kali ini perjalanan Gamar dan Rambu ditempuh dalam diam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah dihajar oleh fakta mengerikan tentang kasus lama itu, perasaan dan pikiran Gamar, Rambu, dan T-Rex makin campur aduk. Sulit untuk mengenyahkan rasa geram, jijik, dan marah yang muncul tanpa dapat dibendung.

"Oke. Thanks, ya, Mar. Besok gue hubungi lagi lo," ujar Rambu setelah Gamar mengantarkannya kembali ke halaman kantornya. Ucapannya mengambang dengan tatapan mata menerawang. Gamar pun hanya bisa mengangguk singkat tanpa suara. Gadis itu memacu motor kesayangannya berlalu dari hadapan Rambu.

Rambu sudah memerintahkan T-Rex untuk mengamankan data-data yang dia dapatkan tadi, lalu memisahkan mana yang kemungkinan bisa dipakai sebagai barang bukti nantinya, dan mana yang tidak bisa dipakai. Perwira polisi bertampang kusut itu duduk merosot di kursinya. Kasus itu makin nyata di hadapannya. Kasus yang berbuntut panjang dengan melibatkan banyak orang dan memakan banyak korban. Termasuk kakak kandungnya. Juga rekan kerjanya.

Wajah-wajah di video sadis tadi terus terbayang di kepala Rambu. Tugas selanjutnya adalah melacak keberadaan orang-orang yang ada di sana dan menghubungkannya dengan para korban yang berjatuhan. Baik sejak sekitar kurun waktu sepuluh tahun yang lalu, maupun baru-baru ini. Rambu terlonjak ketika sebuah tangan mencengkeram bahunya.

"Sialan, lu!" umpat Rambu ketika mengetahui bahwa rekan seruangan yang sengaja mengejutkannya.

"Bengong aja, Ram. Lagi ngelamun jorok, ya?" ledek salah seorang rekannya itu. Rambu hanya merespon dengan cengiran.

"Nih, ada titipan buat lo. Biar nggak bengong mulu." Rekan Rambu itu menyerahkan sebuah amplop cokelat yang diterima Rambu dengan debaran aneh.

"Dari siapa?"

"Sori, gue nggak lihat pengirimnya. Kata anak-anak yang jaga di pos depan, pengantarnya si Odi, bocah yang suka jualan cilok di depan. Katanya dititipin bapak-bapak gitu. Dia ngasi Odi goban buat nyerahin ini amplop ke pak polisi yang namanya Rambu."

"Sudah ditanyain ciri-cirinya, dong?"

"Jelas, lah. Tapi si Odi gajebo. Katanya perawakan sedang, pakai jaket item, topi, celana item, sepatu olahraga. Gitu doang. Udah diinterogasi sama anak-anak depan." Rekan Rambu mengedikkan bahu dan berlalu setelah Rambu tidak bertanya lebih lanjut.

Rambu menegakkan badan di kursinya, menatap amplop yang diletakkannya dengan hati-hati di meja. Tak ada tanda-tanda khusus di amplop itu. Polos. Kosong. Tidak ada tonjolan yang aneh, menandakan bahwa isinya berupa lembaran-lembaran dokumen atau sejenisnya. Lidah amplop itu terekat rapat dengan lem. Rambu tak berniat untuk menyelidiki permukaannya untuk mencari sidik jari. Percuma. Pasti ada banyak sidik jari di sana.

Rambu mengambil cutter dari laci dan membuka amplop dengan sangat hati-hati. Setelah satu tepinya terbuka, Rambu mengintip isi amplop. Setumpuk kertas foto ukuran 4R. Rambu memiringkan amplop itu dan menuangkan isi amplop ke atas meja. Pria itu menjajarkan foto satu per satu di atas meja sesuai urutan. Lembar paling atas dia letakkan di sudut meja kiri atas, dan berturut-turut di sebelahnya.

Total ada tiga puluh lembar foto orang yang berbeda, pria dan wanita, diambil pada rentang waktu yang berbeda-beda pula, di berbagai tempat, dengan berbagai pose yang jelas diambil tanpa disadari oleh sang obyek. Beberapa wajah dapat dikenali oleh Rambu. Terutama beberapa lembar terakhir. Korban Nirkapala di Taman Pintu, di Sunter House, Bianca, dan seorang pria dengan bekas luka yang dulu pernah ditahan karena diduga sebagai pelaku namun akhirnya dibebaskan karena tidak cukup bukti. Pria dengan bekas luka di wajahnya.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang