[4] Kelebatan Masa Lalu

138 33 11
                                    

[4] Kelebatan Masa Lalu

Oleh: Daras Resviandira


Cairan merah itu, bau amis itu, wajah pucat itu... Semua masih tampak jelas—meski telah bertahun-tahun berlalu. Rasa sakit akan kehilangan sosok ibu, rasa kesal akan perilaku sang ayah, masih tertinggal jelas dalam hati. Tak sekali perasaan itu selalu muncul tanpa diminta. Sialnya, terkadang datang di saat yang tidak tepat.

Ayahnya telah diadili atas semua kekejaman yang dia perbuat. Juga atas dosa yang telah dia lakukan setelah berlagak menjadi Tuhan—dan merenggut nyawa isterinya sendiri. Seharusnya Gamar lega akan hal itu. Tapi apa yang masih mengganjal dalam hatinya selama ini?

Semakin dipaksa berpikir, kepalanya makin terasa sakit. Kadang muncul sekelebat bayangan yang sepertinya merupakan masa lalu—yang sudah hampir menghilang. Rasa terkejut dan takut membuat kepalanya spontan menghapus memori itu. Tapi, dia masih yakin akan keberadaan sosok pria dengan pisau daging di tangannya, yang tengah berjalan ke arah tubuh kaku sang ibu. Sejak awal Gamar tidak menyangkal saat hakim mendakwa ayahnya bersalah. Namun di satu sisi, dia memiliki firasat bahwa sosok pria di hari itu, bukan lah sang ayah.

Gamar menjenggut rambutnya, karena tak tahan mendengar pembicaraan orang-orang akan penemuan mayat tempo hari. Kenapa harus di tempat itu? Kenapa juga kepalanya harus langsung memutar rekaman masa lalu yang sempat dia lupakan?

'Mar... Gamar... dengar ibu, Nak. Kamu kuat. Ada atau tanpa ibu, kamu harus hidup dengan baik. Jangan biarkan orang-orang itu meremehkanmu. Kamu tidak butuh orang lain untuk bertahan hidup,' bisikan suara ibu yang lembut, terdengar jelas dalam telinga Gamar.

'Ingat kata-kata ibu, Nak. Kamu wanita yang hebat dan berharga. Jangan pernah melakukan kesalahan seperti ibu. Dalam keadaan apa pun, tetap pertahankan harga dirimu sebagai seorang wanita. Sampai kapan pun, ibu sayang padamu...'

"Mar? Gamar! Woy!"

"Eh? Apaan, Bang?"

"Apaan, apaan. Hape nyala noh dari tadi!"

"E, waduh! Kok, baru bilang sih, Bang?!"

"Lha, dari tadi gue panggil-panggil juga! Bener-bener nih anak."

Gamar mulai panik karena sejak beberapa waktu lalu ada order Ko-jek yang masuk. Tapi tidak dia sadari akibat mendadak tenggelam dalam kelebatan masa lalu. Hingga si pelanggan mulai mengirimi pesan dan menelepon beberapa kali.

"Halo, ha-. Lha, keburu mati!"

Dengan cepat Gamar mengetikkan sederet pesan pada pelanggannya yang mulai kesal. 'Maaf, Pak. Saya segera meluncur ke sana. Jangan di-cancel pliss, Pak,' ketiknya.

Segera Gamar melesat ke tempat motornya terparkir. Memastikan jaket Ko-jeknya tersleting rapat. Memakai sarung tangan, masker, serta helm full face-nya. "Gue pergi dulu, Bang!" teriaknya kepada rekan sesama tukang Ko-jek yang selalu mangkal bersama.

"Ati-ati, Mar! Jangan ampe nabrak orang!"

Gamar mengacungkan jempol kirinya, lalu menggas motornya secepat mungkin. Membuat lima orang Ko-jekers menggeleng-geleng.

Kecepatan motor terus naik tiap detiknya. Dengan lihai Gamar menyalip berbagai kendaraan yang menghalangi jalanan di depan. Tidak ingin ada apa pun yang membuat si penumpang menunggu semakin lama. Saat ini yang membuatnya takut hanyalah menerima bintang satu, yang bisa menodai rekor bintang lima yang selalu dia dapatkan.

Dari kejauhan, tampak lampu lalu lintas yang baru saja berubah dari hijau menjadi kuning. Jantung Gamar berdetak semakin kencang. 'Tidak, tidak, tidak, tidak! Jangan sekaraaaaang!' teriaknya dalam hati. Akhirnya dia nekat untuk semakin mengencangkan laju motornya, hingga melesat melewati lampu merah yang baru saja menyala. Bunyi klakson mengiringi motornya yang melesat seperti kesetanan. Kalau saja dia terjebak di lampu merah, dua menitnya yang berharga akan hilang, pikirnya.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang