[22] Cincin Emas

63 16 0
                                    

[22] Cincin Emas

Oleh: Daras Resviandira


Malam itu, Gamar kecil meringkuk di atas kasurnya, kala lelaki yang dia benci baru saja menjejakkan kaki di dalam rumah. Bau alkohol semerbak, menggantikan pengharum ruangan yang tak pernah ada. Tubuh Gamar mulai gemetar, bereaksi terhadap suara langkah kaki yang mendekat. Namun kemudian menghilang, memberikannya waktu untuk terlelap.

Ia pikir, akhirnya keseraman di malam itu berakhir, tanpa harus menyisakan lebam baru di tubuhnya. Tapi itu hanya ketenangan sesaat sebelum badai.

Gamar terbangun dengan terkejut oleh suara benda pecah di dalam rumah. Rasa-rasanya dia pun mendengar teriakan sang ibu tadi. Tapi, semua itu samar dengan mimpi buruk yang muncul di tengah tidurnya yang baru berlangsung satu jam.

Waktu masih menunjukkan pukul dua. Keadaan rumah sangat hening. Namun entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk melangkah keluar dari dalam kamar, dan mengecek keadaan sang ibu.

Keadaan yang cukup gelap membuat Gamar agak sulit melihat. Namun, akhirnya ia mendapati ibunya yang tertidur di atas lantai ruang tengah. Dengan kepala yang tak lagi menempel dengan lehernya.

Rasa takut dan keterkejutan menahan suara Gamar dalam tenggorokan. Tubuhnya seketika lemas, hingga nyaris tak sadarkan diri. Gamar jatuh terduduk dengan tubuh yang bergetar hebat. Bau amis yang menusuk membuat kepalanya berputar, dan rasa mual menakan di dalam perutnya.

Suara langkah kaki terdengar mendekat dengan santai. Sosok itu terdiam sejenak. Tampak menikmati keadaan gadis kecil yang meringkuk—disiksa oleh rasa takut. Sembari menggenggam erat sebilah golok dengan tangan yang berhiaskan cincin emas pada jari manisnya.

Pertunjukan malam itu pun berakhir. Dengan meninggalkan luka mendalam pada hati gadis kecil yang menjadi saksi. Padahal luka itu sudah hampir sembuh oleh waktu. Tapi kini harus kembali terbuka karena sosok yang seharusnya mendekam di balik jeruji, mendadak muncul di depan mata.

Gamar mematung sejenak, meyakinkan bahwa dirinya masih waras. Namun dilihat berapa kali pun, lelaki yang baru saja turun dari dalam mobil itu, memang benar-benar ayahnya. Bukankah seharusnya lelaki itu mendekam selamanya dalam penjara? pikir Gamar.

Tubuh Gamar seakan bereaksi dengan spontan. Dia melangkah cepat, bermaksud menyeberangi jalan untuk menyerang lelaki gemuk yang dia benci di seberang. Bahkan dia tidak sempat untuk berpikir menggunakan jembatan penyeberangan. Alhasil, tubuhnya nyaris terhantam oleh mobil yang melesat dengan kencang.

Si pengendara langsung menginjak rem dan menekan klaksonnya. "Udah gila, ya!" teriaknya dengan penuh emosi.

Semua orang yang ada di sekitar sana hanya bisa menohok sembari menahan napas karena mengira tubuh Gamar akan terpental.

"Ma-maaf, Pak," ucap Gamar, sembari mundur ke tempatnya semula. Karena hal itu, dia akhirnya kehilangan sosok yang ingin dia hajar barusan.

"Sial!" gerutu Gamar penuh kekesalan. Hal selanjutnya yang terpikirkan olehnya hanyalah menelepon Indra. Dia berdiri dengan sangat gelisah. Sembari menggigiti kuku ibu jarinya.

"Om! Orang itu... kenapa bisa bebas?!" Gamar menyerbu Indra yang bahkan belum sempat berkata apa-apa. "A-aku yakin tadi dia ada di sana. Keluar dari mobil, dengan wajah menjijikannya itu! Gimana bisa?!"

"Ram. Rama! Tenang. Aku gak ngerti, kamu ngomong apa?"

Gamar menarik napas beberapa kali. Berusaha keras menenangkan diri. "Tadi... aku lihat ayahku ada di seberang jalan. Aku yakin itu dia!"

Ada sebuah perasaan aneh yang Gamar tangkap dari reaksi Indra. Entah kenapa lelaki itu seakan tidak terkejut dengan berita yang baru saja dia berikan. Padahal, seharusnya itu menjadi sesuatu yang menggemparkan.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang