[21] Sepadan

68 19 0
                                    

[21] Sepadan

Oleh: Stanza Alquisha


Dengan pelipis berdenyut-denyut, Gamar memerhatikan lubang toilet yang baru saja tadi dia siram. Lagi-lagi, makan siangnya tak sanggup dia pertahankan melewati tenggorokan, dan berakhir sebagai pusaran air di jamban.

Padahal hari ini ia sengaja tidak sarapan, selain dari segelas seduhan kopi hitam yang langsung dia tenggak habis tanpa jeda. Pikirnya, jika perutnya cukup kosong di siang hari, maka ia akan lebih lahap menyantap makanan apa pun itu yang masuk ke sana.

Nyatanya tidak semudah itu. Benaknya masih mampat dengan ingatan akan video kebejatan yang dia dan Rambu saksikan di kamar kost T-Rex. Memang, adegan itu sanggup mengguncang Gamar hingga ke sumsum tulangnya. Akan tetapi, yang menghantuinya sampai membuatnya hilang nafsu makan selama berhari-hari bukanlah apa yang dia lihat di sana, melainkan apa yang dia dengar.

Suara tawa pria di balik kamera.

Tidak salah lagi, tawa itu begitu khas dan begitu familier bagi Gamar.

Kadang, ketika ia baru habis dipukuli dan tangisnya tidak bisa ia tahan, suara itu akan terdengar, menertawakannya, mencemoohnya. "Ha ha ha! Anak cemen! Baru digituin saja udah nangis. Memalukan!"

Gamar kadang bertanya-tanya, mengapa suara tawa itu hadir justru bukan ketika ada kejadian menyenangkan. Misalnya, ketika mereka berkumpul bersama di meja makan, berpura-pura seperti sebuah keluarga yang harmonis. Gamar menceritakan suatu kejadian lucu yang dia alami di sekolah. Ibunya akan tertawa, entah karena memang dia kegelian, atau murni karena ia ingin membuat anaknya senang saja. Namun tentu saja, suara tawa yang Gamar tunggu-tunggu tidak pernah datang di saat-saat seperti itu. Yang ada paling-paling geraman atau dengkusan singkat.

Biasanya suara tawa itu hadir, ya ketika Gamar paling merasa tidak ada yang lucu. Mungkin, sekujur tubuhnya yang lebam, disertai tetesan darah yang kadang tercampur dengan air mata dan ingus, adalah justru sesuatu yang lucu bagi pemilik tawa itu.

Gamar ingat di suatu malam ketika pemilik tawa itu pulang lembur. Gamar sudah bersiap-siap menyambut apa yang terjadi ketika pintu kamarnya terbuka dan mendengar langkah sosok itu terseret-seret di lantai. Bau alkohol serta entah-apa lainnya memenuhi udara di kamarnya yang sempit. Gamar menahan napas, berusaha jangan sampai gemetar tubuhnya tertangkap oleh mata sosok itu, karena hantaman yang nanti dia dapat akan lebih parah jika dia sampai ketahuan tengah ketakutan.

Namun, sosok itu hanya berdiri di tepi ranjang Gamar. Bergeming.

Setelah beberapa menit, sosok itu berbalik dan kembali menyeret kakinya pergi. Gamar memberanikan diri membuka kelopak matanya sepersekian senti untuk memastikan dia tidak bermimpi. Benar, pria pemilik tawa itu tengah berjalan keluar dari kamar Gamar tanpa melakukan apa-apa. Bahkan tas kameranya saja belum dia turunkan dan masih tergantung di bahunya.

Gamar tertidur nyenyak malam itu. Harapannya lah yang membuatnya lelap. Harapan bahwa setelah ini, semuanya akan menjadi lebih baik. Namun tidak lama setelahnya, ibunya malah ditemukan tidak lagi berkepala.

Memori pedih tentang semua yang pernah Gamar alami di masa lalunya memang menghantuinya. Melekat bagai hitam pada bayang. Menggerogotinya dari dalam. Perlu beratus-ratus jam konseling, bahkan hipnoterapi, sampai ia bisa menjalani kesehariannya seperti manusia biasa lagi, dan tidak membeku ketakutan setiap melihat ikat pinggang, botol minuman, atau puntung rokok.

Namun gara-gara video sialan itu, gara-gara suara tawa yang menyertai adegan laknat itu, mimpi-mimpi buruknya mulai menerornya kembali. Gamar berusaha menyingkirkan kenangan-kenangan buruk itu jauh ke sudut benaknya, tetapi mereka selalu mengancam untuk kembali tumpah dan mengambil alih seluruh kesadarannya.

NirkapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang