93. Tidak Nyaman

27.5K 1.9K 55
                                    

Intan tidak menyangka suaminya sampai seperti itu. "Mas, aku kan dokter magang. Mana berani memulangkan pasien begitu saja tanpa konsultasi pada senior lebih dulu," jawab Intan.

"Kamu lupa bahwa suamimu ini senior? Anggap saja kamu sudah konsultasi denganku dan aku yang mengizinkannya pulang," sahut Zein.

Intan terkekeh. "Ya ampun. Sejak kapan suamiku jadi gak profesional begini, sih?" ledeknya.

"Sejak kamu jadi istriku. Salah sendiri kamu bikin aku cinta dan takut kehilangan," ucap Zein, kesal.

"Ya tapi kan gak gitu juga, Mas. Jangan sampai kecemburuan kamu itu membuatmu mengabaikan kesehatan orang lain!" ucap Intan sambil tersenyum.

"Sayang, Mas ini bukan baru jadi dokter. Hanya dengan melihatnya saja, Mas yakin dia sudah sehat. Buktinya tadi dia bisa jalan-jalan sendiri dan wajahnya begitu segar. Pasti dia bertahan di sana hanya karena ingin menggoda kamu!" tuduh Zein.

"Astaghfirullah ... jangan suudzon, ah!" ucap Intan. Bukan berarti ia ingin membela lelaki itu. Namun Intan tak mau suaminya berprasangka buruk terhadap orang lain.

"Sayang, jangan sampai kejadian tadi siang terulang, ya!" ancam Zein sambil memicingkan mata ke arah Intan.

"Ups! Oke nanti aku akan konsultasi ke senior. Semoga beliau setuju untuk memulangkan pasien itu," sahut Intan.

"Nah, gitu kek dari tadi! Kenapa harus pakai debat dulu, sih?" keluh Zein. Ia senang karena kali ini Intan mau menuruti keinginannya.

Intan tak menjawab Zein. Ia khawatir perdebatan mereka akan panjang jika dirinya menjawab suaminya itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah sakit.

"Aku duluan ya, Mas," ucap Intan.

"Kok buru-buru?" tanya Zein sambil mengerutkan keningnya.

"Apa? Cemburu lagi? Mau nuduh aku lagi?" tanya Intan, sebal.

"Ya bukan begitu. Kenapa gak bareng aku aja?" tanya Zein.

"Katanya aku disuruh diskusi sama senior biar pasien itu bisa cepet pulang," sahut Intan, malas.

"Oh iya. Ya udah. Tapi next time kalau ada pasien genit kayak gitu lagi, kamu bilang ke aku, ya!" pinta Zein.

Intan menyipitkan matanya. "Gimana kalau aku diam di rumah aja biar kamu gak ribet mikirin aku?" sindir Intan.

Zein langsung tersenyum. "Ide bagus, tuh. Kamu mau?" tanyanya. Ia tidak sadar bahwa ucapan Intan adalah sarkasme.

"Mas! Aku tuh lagi magang. Kalau aku diem di rumah, gimana pendidikan aku bisa clear," keluhnya.

"Oh, iya juga, ya. Ya udah, deh. Aku akan berusaha sabar," jawab Zein.

"Ya udah aku duluan," ucap Intan. Kemudian ia turun dari mobil dan masuk ke lobby rumah sakit.

"Sore, Dok!" sapa security yang berjaga di depan lobby.

"Sore, Pak," sahut Intan.

Kemudian sepanjang jalan begitu banyak staf yang menyapanya. Sehingga Intan merasa pegal karena harus tersenyum dan selalu menjawab sapaan mereka.

"Adakah jalanan yang sepi supaya aku bisa jalan dengan santai tanpa harus merasa terganggu?" gumam Intan, pelan. Ia sebal karena saat ini tidak memiliki kebebasan.

Harus selalu tersenyum pada orang lain tidaklah mudah. Apalagi ketika suasana hatinya sedang tidak baik. Tentu itu akan menguras energi.

"Sore, Dok!" sapa suster yang berjaga bersama Intan tadi.

"Sore! Sus, aku mau minta satu hal, bisa gak?" tanya Intan.

"Apa itu, Dok?" tanya suster itu.

"Lain kali kalau ketemu aku di jalan, Suster gak perlu nyapa. Anggap aja gak kenal sama aku!" pinta Intan.

Suster itu ternganga. Ia merasa permintaan Intan sangat aneh. Padahal Intan hanya berusaha meminimalisir hal itu.

'Lumayan meski cuma berkurang satu orang,' batin Intan.

"Ya gak bisa gitu dong, Dok. Nanti aku yang ditegur kalau gak sopan sama dokter," sahut suster.

"Ini permintaan aku. Jadi kamu jangan khawatir, ya! Aku cuma butuh waktu buat sendiri aja," sahut Intan.

Mendadak mendapatkan perlakuan khusus memang tidaklah mudah. Dulu Intan bisa bebas berjalan ke mana pun tanpa disapa oleh semua orang. Namun ini untuk bernapas saja ia merasa tidak leluasa.

Rumah sakit besar yang selalu ramai itu memang membuat seluruh staf sibuk dan memiliki mobilitas tinggi. Sehingga di setiap sudut mana pun pasti ada staf yang entah hanya melintas atau memang sedang stay di sana.

"Maaf ya, Dok. Kok permintaannya agak aneh, sih? Bukannya enak ya kalau banyak yang nyapa? Apalagi kalau nyapanya sambil menunjukan rasa hormat gitu. Kan bangga," tanya suster.

Ia merupakan salah satu suster yang baik pada Intan.

"Gak semua orang suka hal seperti itu, Sus. Aku pribadi lebih suka menyendiri. Jadi agak kurang nyaman ketika banyak yang menyapa saat sedang berjalan," jelas Intan.

"Lha, bisa begitu, ya? Aku sih kalau jadi dokter bakalan bangga. Secara istri dari pemilik rumah sakit, gitu. Jadi pasti semua orang sungkan," ucap suster itu, jujur.

"Hem ... susah juga dijelasinnya, sih. Cuma kamu pernah gak ngerasa illfeel ketika kamu tau ada orang yang benci kamu tapi pura-pura baik di depan kamu?" tanya Intan.

"Ya pernah, sih," jawab suster itu.

"Nah, itu yang aku rasakan. Mungkin mereka baik di depanku. Tapi aku tau di belakangku sebagian dari mereka sibuk menggunjing. Rasanya fake banget. Kalau memang benci, ya udah gak usah nyapa!" ucap Intan, kesal.

Ia jadi terbawa emosi ketika membayangkan orang-orang bermuka dua itu menyapanya.

"Ooh, tapi gimana kalau orangnya emang tulus?" tanya suster.

"Ya gak masalah sih. Cuma tetep aja aku lebih nyaman jalna sendirian tanpa ada yang nyapa, hehehe."

"Dokter anti sosial atau introvert, ya?" tanya suster itu, heran.

Intan pun jadi berpikir. "Mungkin lebih ke introvert, ya. Soalnya aku masih bisa berosialisasi dengan orang-orang yang memang membuatku nyaman. Seperti kamu contohnya. Di kampus pun aku punya banyak teman. Dan mereka memperlakukanku sewajarnya. Gak berlebihan seperti di sini."

"Justru dengan berlebihan tuh aku jadi minder. Kadang kayak misalnya abis makan. Aku takut di wajahku ada nasi misalnya. Atau muka aku berantakan. Atau ada kotoran matanya. Jadi gak pede aja gitu kalau papasan sama orang terus disapa," jelas Intan.

Suster itu terkekeh. "Dokter bisa aja, deh. Udah cantik perfect kayak gini aja masih minder. Gimana aku? Misalnya ada nasi di wajah dokter pun itu gak akan ngurangin kecantikan dokter," ucap suster itu.

"Iiih, kamu nih gak ngerti apa yang aku rasain. Udah, intinya aku cuma pingin sendiri!" jawab Intan.

"Jadi aku gak boleh nyapa nih kalau ketemu?" tanya suster itu lagi.

"Boleh, deh. Kan kita udah kenal. Ngapain juga aku risih, hihihi." Intan sangat galau.

Suster tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dok ... Dok ... ngomong panjang kali lebar ujungnya malah gak jadi. Gemes banget, sih? Pantesan aja Prof sampe takut kehilangan," ucapnya.

Sebenarnya hal itu terjadi karena Intan sedang mengandung. Apalagi anak yang ia kandung adalah anak dari seorang profesor yang galak. Sehingga perubahan hormon Intan membuatnya lebih mudah kesal seperti suaminya itu.

"Sus! Dokter senior udah datang, belum?" tanya Intan.

"Udah. Ada apa, Dok?" suster balik bertanya.

"Itu, pasien tadi kayaknya udah sembuh, deh. Jadi aku mau usul biar dia diizinkan pulang aja," jawab Intan.

"Oooh, yang ganteng itu, ya? Dia mah udah pulang, Dok. Tadi gak lama dokter sama Prof pergi, pasien itu langsung minta pulang," jawab suster.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang