Zein Sakit Hati

40.2K 2.4K 45
                                    


Sontak saja Zein dan Intan tersedak saat mendengar ucapan Rani. Bahkan air yang Intan minum sampai keluar dari hidung saking kagetnya.

"Lho, Intan. Kamu kenapa?" tanya Rani. Ia pun terkejut melihat reaksi Intan sampai seperti itu.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Intan belum bisa menjawab pertanyaan Rani karena ia tersedak cukup parah.

Rani mengambilkan tisu untuk Intan dan Intan pun menerimanya. Lalu mengelap mulut dan hidungnya yang basah itu.

"Ya ampun ... sampai segitunya. Maaf ya Mamah bicaranya di momen yang gak tepat," ucap Rani. Ia merasa bersalah karena bicara saat Intan sedang minum.

Wajah Intan sampai merah padam karena tersedak tadi. Ia pun mengatur napas untuk mengendalikan keterkejutannya.

Zein menyeringai melihat reaksi Intan sampai seperti itu. 'Sebegitu takutnya kah dia menikah denganku? Kita lihat saja, seberapa lama aku bisa membuatnya luluh dan jatuh cinta padaku lebih dulu,' batin Zein.

Ia bicara seperti itu seolah dirinya belum mencintai Intan dan ingin membuat Intan jatuh cinta lebih dulu padanya karena kesal akan reaksi Intan yang menurutnya berlebihan itu.

"Maaf, Mah. Aku kaget," ucap Intan.

"Iya, gak apa-apa. Duh ... Mamah yang merasa bersalah ini. Maaf ya, Tan. Jadi kami ini kan sudah berdiskusi. Kalau misalnya kalian menikah bulan depan, Intan kan harus ujian. Khawatir nanti bentrok sama jadwal ujian kamu," ucap Rani.

"Lagi pula nanti kalau kamu kelelahan terus sakit, kan repot. Makanya kami pikir lebih baik nikahnya langsung sekalian lamaran aja. Biar ibu kamu juga gak kecapekan. Kamu pasti tahu kan kalau ibu kamu itu gak boleh terlalu capek?" lanjut Rani.

Apa yang Rani katakan memang sangat masuk akal. Namun Intan belum siap jika harus menikah dengan Zein minggu depan. Rasanya sangat menakutkan baginya.

Membayangkan mereka akan tinggal bersama. Bahkan tidur berdua di sebuah kamar, membuat hati Intan berdebar-debar tak karuan.

Sedangkan Zein tentu sangat senang. Sebab ia memang sudah tidak sabar ingin segera menggunakan voucher cash back bulan madu dari toko perhiasan itu.

"Gimana menurutmu, Zein?" tanya Rani.

"Aku sih gimana baiknya aja," jawab Zein, santai.

Intan terkesiap. Ia tak menyangka Zein akan menyetujuinya.

"Cepat atau lambat sama saja, kan? Ujung-ujungnya memang harus menikah juga," lanjut Zein saat Intan menatapnya, seolah meminta penjelasan.

Ucapan Zein barusan membuat Intan menganggap bahwa pernikahan itu tidaklah penting bagi Zein.

Akhirnya Intan pun setuju. "Ya sudah kalau begitu. Aku setuju," ucapnya, kesal.

Zein tidak menyangka Intan akan setuju. Ia tak tahu Intan menjawab seperti itu karena kesal padanya.

"Alhamdulillah, mamah senang mendengarnya. Kalau begitu kami akan mempersiapkan pernikahan kalian. Kami tahu kalian sibuk, jadi kalian duduk manis aja, terima beres. Iya kan, Pah?" tanya Rani pada suaminya.

"Ya, Papah setuju," sahut Muh.

"Alhamdulillah ... tapi kalian jangan diforsir, ya! Jangan sampai nanti pas bulan madu malah kelelahan. Kan gak seru," ujar Rani.

Zein berusaha menahan senyumannya. Ia tak ingin semua yang ada di sana melihat bahwa dirinya bahagia membayangkan bulan madu.

Beberapa jam kemudian, Zein mengantar Intan pulang ke rumahnya. Saat ini mereka sudah berada di dalam mobil.

"Kenapa kamu setuju nikah minggu depan?" tanya Zein. Ia penasaran apa alasan Intan mau menikah minggu depan.

"Cepat atau lambat pasti menikah. Jadi gak masalah meski harus menikah minggu depan. Kecuali jika ditunda lalu pernikahannya bisa dibatalkan, mungkin saya akan menundanya," skak Intan. Ia sudah kesal pada Zein. Sehingga begitu berani menjawab seperti itu.

Zein langsung menggenggam erat kemudianya. Ia kesal dengan jawaban Intan seperti itu. Apalagi saat mendengar Intan ingin membatalkan pernikahan mereka. Ia merasa sangat tidak dihargai.

"Kalau memang ingin dibatalkan, kenapa tadi kamu tidak mengatakannya?" tanya Zein, kesal.

"Kapasitas saya di sini bukan ada di pihak yang pantas menolak. Jadi mau tidak mau saya harus menerimanya," jawab Intan jujur.

Zein ternganga. "Berani sekali kamu bicara seperti itu di depan saya?" tanya Zein.

"Memangnya kenapa saya harus takut, Prof? Saya hanya bicara jujur. Toh faktanya kita memang tidak saling mencintai dan Prof pun menikahi saya hanya untuk memenuhi keinginan orang tua Anda, kan?" tanya Intan.

Napas Zein tercekat. Ia tak menyangka Intan semakin bisa menjawab ucapannya. Hingga membuat Zein tak bisa berkata-kata seperti itu.

"Entah pernikahan seperti apa yang dijalani tanpa cinta," gumam Intan sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Akhirnya mereka hening sepanjang perjalanan.

'Sepertinya aku terlalu baik padanya sampai dia melunjak seperti itu,' batin Zein.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di depan rumah Intan. Kali ini Zein tidak membantunya. Ia membiarkan Intan turun sendiri, kemudian Zein langsung melajukan mobilnya setelah Intan menutup pintu.

Hal itu pun membuat Intan bingung. "Dasar Profesor aneh. Kadang baik, kadang judes. Udah kayak angin aja berubah-berubah," gumam Intan. Kemudian ia pun masuk ke rumahnya.

"Lho, kaki kamu kenapa, Tan?" tanya Fatma saat melihat anaknya masuk ke rumah.

"Gak apa-apa, Bu. Tadi cuma kesandung," sahut Intan.

"Kok sampe begitu jalannya? Udah diperiksa belum?" tanya Fatma lagi.

"Udah, Bu. Ibu tenang aja, ya! Aku gak apa-apa. Ibu udah makan belum?"

"Udah, kamu mau makan?"

"Udah, Bu. Kalau begitu aku mau istirahat dulu ya, Bu." Intan pun masuk ke kamarnya.

Keesokan harinya, Intan secara tidak sadar telah menunggu kehadiran Zein. Ia pikir hari ini Zein akan menjemputnya seperti kemarin. Namun ternyata sampai dirinya selesai sarapan pun Zein masih belum datang.

'Dih, ngapain juga aku ngarepin dia? Mending aku jalan sekarang aja,' batin Intan.

"Bu, aku berangkat dulu, ya," ucap Intan sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Lho, Zein gak jemput kamu?" tanya Fatma.

"Dia kan sibuk, Bu. Mana mungkin bisa antar jemput aku setiap hari?" sahut Intan.

"Oh, ya udah kalau begitu. Kamu berangkat naik apa?"

"Naik ojek aja biar cepet. Ya udah aku jalan dulu ya, Bu. Assalamu alaikum," ucap Intan. Kemudian ia salim pada ibunya, lalu berangkat menuju rumah sakit.

Saat Intan tiba di rumah sakit dan turun dari ojek, Zein melihatnya dari dalam mobil. Sebenarnya ia tidak tega melihat Intan seperti itu. Namun ia terlanjur sakit hati atas ucapan Intan kemarin. Zein tidak sadar bahwa selama ini dirinyalah yang lebih sering menyakiti Intan.

Saat turun dari ojek, Intan pun melihat mobil Zein dari kejauhan. Lalu ia berjalan pelan-pelan karena kakinya masih sakit.

Hari itu Zein memarkir mobilnya di parkiran VIP khusus dokter yang letaknya tidak jauh dari lobby rumah sakit. Ia pun turun dan berjalan masuk ke rumah sakit.

Saat Zein melintas di hadapannya, Intan mau tidak mau menyapanya sebagai tanda hormat pada konsulennya.

"Pagi, Prof," sapa Intan.

"Pagi," sahut Zein tanpa menoleh. Ia pun berjalan begitu saja seolah tak mengenal Intan.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Where stories live. Discover now