Perhatian Kecil

40.1K 2.1K 28
                                    

“Oh, maaf,” sahut Intan. Ia percaya begitu saja atas ucapan Zein barusan.

Zein dan Intan pun meninggalkan ruangannya. “Saya mau pergi dulu. Nanti saya kembali sebelum jam praktek,” ucap Zein pada suster yang berjaga di poli.

“Baik, Prof,” sahut suster tersebut. Sebenarnya ia bingung mengapa Zein pergi bersama Intan. Namun ia tidak berani mempertanyakan hal itu.

“Ayo!” ajak Zein. Lalu mereka pun meninggalkan rumah sakit itu dalam kondisi Intan masih menggunakan jas milik Zein.

Tiba di parkiran VIP yang ada di depan lobby, Zein membukakan pintu untuk Intan. Hal itu ia lakukan karena Intan sedang memegangi jas yang hanya tersangkut di bahunya itu.

“Terima kasih, Prof,” ucap Intan. Lalu ia pun masuk meski sebenarnya risih mendapat perlakuan baik dari Zein seperti itu.

“Oke,” sahut Zein. Setelah itu ia pun masuk ke mobil.

‘Apa ini cuma perasaan aku aja, ya? Hari ini kok kayaknya dia baik banget, ya?’ batin Intan sambil melirik ke arah Zein.

“Kamu ada stock pembalut gak di rumah?” tanya Zein saat mereka sudah berada di jalan.

Intan ternganga. Ia baru ingat bahwa dirinya lupa membeli stock pembalut. “Oh iya, saya lupa stocknya habis,” ucap Intan. Ia bingung bagaimana cara membelinya. Sebab Intan dapat merasakan bahwa darahnya mengalir semakin deras.

“Ceroboh!” cibir Zein. Setelah itu ia membelokkan mobilnya ke arah minimarket.

Intan pun senang dan yakin Zein berbelok karena ingin membiarkannya membeli pembalut lebih dulu.

“Sebentar ya, Prof,” ucap Intan. Sebenarnya ia ragu untuk turun. Namun Intan tidak mungkin meminta Zein yang membelinya.

“Mau ke mana?” tanya Zein.

“Euh, mau beli pembalut?” sahut Intan. ‘Aku gak salah sangka, kan?’ batinnya. Menurut Intan tidak ada alasan lain bagi Zein menepikan mobilnya selain untuk mengizinkan Intan membeli pembalut.

“Kamu mau beli pembalut dengan kondisi seperti itu?” tanya Zein sambil melihat ke arah kaki Intan yang ternyata sudah terdapat aliran darah di sana.

“Ya Tuhan, maaf, Prof. Saya gak sengaja. Aduh, ini gimana bersihinnya?” gumam Intan. Ia malah panik karena telah mengotori mobil Zein. Ia yakin di jok mobil itu pun sudah banyak darahnya.

“Tunggu!” ucap Zein. Kemudian ia turun tanpa berkata-kata lagi.

Brug!

Zein meninggalkan mobilnya, lalu masuk ke minimarket.

“Selamat datang di minimart!” sapa kasir.

“Pembalut di mana, ya?” tanya Zein terus terang. Sebanrnya ia malu membeli benda itu. Namun Zein tidak ada pilihan lain dari pada istrinya semakin kerepotan karena darahnya cukup banyak keluar.

“Di sebelah sana, Mas,” sahut kasir.

Zein pun menoleh ke arah yang ditunjuk oleh kasir. Kemudian ia mengambil keranjang dan berjalan ke arah rak pembalut.

“Duh, yang mana?” gumam Zein. Ia bingung harus memilih yang mana. Apalagi saat menyadari bahwa ada beberapa wanita yang melirik ke arahnya sambil tersenyum.

“Ya ampun, idaman banget punya pacar atau suami kayak gitu, ya?” bisik salah seorang wanita.

“Iya, lho, udah ganteng, tinggi, keren, tapi mau beli pembalut. Perfect banget, deh,” timpal yang lain.

Begi mereka sangat jarang pria yang mau membeli benda itu. Sehingga Zein terlihat keren di mata mereka.

“Ah, ambil semua aja!” gumam Zein. Akhirnya ia pun memborong semua pembalut yang ada di rak tersebut karena tidak tahu Intan biasa menggunakan yang mana. Setelah itu, ia berjalan ke arah kasir.

Kasir sempat tercengang saat melihat Zein memborong semua pembalut. Namun ia berusaha tetap tenang.

Saat kasir sedang menghitung belanjaannya, Zein teringat akan sesuatu. “Ada obat pereda nyeri haid?” tanya Zein pada kasir.

“Ada, Mas. Mau yang tablet apa cair?” Kasir balik bertanya.

“Kalau ada, tolong yang herbal dan aman untuk kesehatan!” pinta Zein. Ia adalah dokter, sehingga tidak sembarangan memberikan obat pada istrinya.

“Mau coba yang ini?” tanya kasir.

Zein mengambil sample yang diberikan oleh kasir lalu membaca komposisinya dengan teliti. “Oke, ini aja!” sahut Zein.

“Mau berapa banyak?” tanya kasir lagi.

“Lima,” jawab Zein.

“Biasanya kalau wanita haid itu suka makan apa?” tanya Zein lagi.

Kasir itu berusaha menahan senyuman karena ia merasa Zein cukup lucu dan menggemaskan.

“Kebanyakan sih suka yang manis seperti cokelat atau yang pedas-pedas, Mas,” jawab kasir.

Kebetulan di depan meja kasir berjejer cokelat. Zein pun mengambil beberapa batang dan ia percaya karena coklat dapat menenangkan. Zein bahkan memilih cokelat dengan pure cocoa yang harganya lebih mahal karena ia tahu bahwa cokelat itu dapat menyenangkan perasaan.

Setelah selesai bertransaksi, Zein pun meninggalkan minimarket tersebut.

Sementara itu, Intan sedang sibuk melihat noda yang ia tinggalkan di jok mobil Zein.

“Duh, gimana dong ini? Dia ngamuk gak, ya? Ya iyalah, masa gak ngamuk mobilnya aku kotorin begini?” gumam Intan. Ia sampai bingung harus duduk di mana.

Saat menoleh ke arah pintu mini market, Intan melihat Zein keluar dari sana. “Hah, dia beli apaan sebanyak itu?” tanya Intan saat melihat Zein keluar dari mini market dengan dua kantong besar belanjaan.

Zein pun membuka pintu belakang dan menaruh pembalut. Kemudian ia masuk ke tempat duduknya sambil membawa satu kantong berukuran sedang.

“Ini!” ucap Zein saat sudah berada di dalam mobil.

“Apa?” tanya Intan.

“Cokelat dan obat pereda nyeri,” sahut Zein.

‘Hah? Kok dia tau sih kalau aku lagi haid itu sukanya makan cokelat?’ batin Intan sambil tercenung. Hatinya berdebar-debar kala mendapat perhatian tersebut.
***
Cieeee, ada yang dingin tapi hangat, xixixi.
See u,
JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Where stories live. Discover now