Kegigit

41.4K 2.5K 57
                                    

Napas intan seketika terhenti untuk beberapa saat. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Zein yang mengatakan bahwa dia ingin melamar Intan satu minggu lagi.

"Maaf, Prof. Tapi apa itu tidak terlalu cepat?" tanya Intan, memberanikan diri.

"Kamu punya waktu 7 hari dan sebentar lagi kamu sudah selesai koas. Lagi pula persiapan untuk lamaran tidak terlalu repot. Saya rasa 1 hari cukup untuk mempersiapkan semuanya," jawab Zein, santai.

Intan menelan saliva mendengar ucapan Zein. Sebab, bukan itu masalah utamanya. Namun persiapan mental yang lebih berat dari sekadar persiapan materi. Apalagi sampai saat ini sikap Zein masih seperti iblis.

"Tadi saya sudah bicara dengan orang tua saya dan mereka setuju. Maaf, kamu tahu kan saya sibuk dan saya hanya memiliki waktu minggu depan," ucap Zein lagi.

'Kalau sibuk, terus ngapain mau nikah? Kan dia yang ngajak nikah. Tapi kenapa kesannya aku yang butuh dia?' batin Intan, kesal.

Dia tidak habis pikir mengapa Zein bisa sangat arogan seperti itu. Baginya pria itu sangat tidak masuk akal karena dia yang ingin menikah, tetapi dia bersikap seolah tidak menginginkan hal itu.

Belum sempat intan menjawab, pelayan sudah datang mengantar pesanan mereka. Setelah itu ia menaruh makanan dan minuman di hadapan mereka.

Intan bingung mengapa begitu banyak makanan yang terhidang di hadapannya. Padahal ia ingat betul tadi dirinya hanya memesan minuman.

Saat pelayan pergi, Zein buka suara. "Mari makan!" ajaknya, datar. Sambil mengambil pisau dan garpu.

Intan tercenung. Ia bingung mengapa Zein mengajaknya makan. Padahal tadi dirinya sudah mengatakan bahwa ia tidak ingin makan.

Saat hendak menyuap makanan ke mulutnya, Zein melihat intan masih mematung. "Kenapa diam saja?" tanya Zein.

"Tadi saya enggak pesan makanan, Prof," sahut Intan.

"Kamu mau saya dianggap egois oleh orang lain karena makan sendiri dihadapan wanita seperti ini?" tanya Zein. Ternyata dia sudah memesan makanan untuk Intan.

Entah karena Zein tidak mau makan sendiri, atau memang sebenarnya dia perhatian pada Intan.

"Tapi saya tidak lapar, Prof." Intan masih berusaha menolaknya secara harus. Sebab ia ingin segera menghilang dari pandangan pria itu.

Zein menyuap makanan ke mulutnya. "Makan atau nanti saya kasih nilai jelek," ucap Zein tanpa menoleh ke arah Intan.

Intan ternganga. Ia tidak menyangka Zein akan mengancamnya seperti itu hanya karena makanan. Ia pun mengambil garpu dan menggenggamnya dengan sangat erat.

'Dasar profesor iblis. Apa hubungannya makanan sama nilai aku? Aku kan dokter, bukannya koki yang harus mencicipi makanan,' batin Intan, kesal.

Kebetulan saat itu Zein memesan steak. Sehingga Instan langsung menancapkan garpu di daging yang ada di hadapannya sambil membayangkan bahwa itu adalah tubuh Zein.

'Hemh! Rasakan ini. Kamu pantas diperlakukan seperti ini. Aku rasanya pingin cincang, lalu dicabik-cabik, terus dilemparin ke buaya,' batin intan sambil menatap kesal daging itu. Kemudian ia terus menggesek pisaunya. Padahal dagingnya sudah terpotong.

Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. Ia senang melihat Intan kesal seperti itu. "Kamu memotong daging atau memotong piringnya?" sindir Zein. Lalu ia menyuap makanannya kembali. Seolah mengejek Intan.

Mendengar ucapan Zein Intan pun tersadar dan ia langsung salah tingkah. Kemudian menyuap daging miliknya itu.

'Heran deh. Kenapa sih aku selalu kegap sama dia? Jangan-jangan dia punya mata batin kali, ya? Horor banget,' batin intan sambil mengunyah daging itu dengan cepat dan penuh tenaga. Seolah-olah ia sedang mengunyah Zein. Sebab saat ini emosinya sedang mendidih.

"Awww!" keluhnya, saat Intan tak sengaja menggigit bibirnya. Zein pun langsung menoleh ke arah Intan.

"Kenapa?" tanyanya.

"Enggak apa-apa, Prof," sahut Intan. Kemudian ia mengambil tisu dan ternyata bibirnya berdarah karena dia terlalu kuat mengunyahnya. Luka itu pun terasa perih.

Zein menaruh pisau serta garpunya, kemudian ia berdiri dan mendekat ke arah Intan. Lalu ia menunduk ke arahnya dan menarik dagu Intan untuk mengecek bibirnya.

Seketika jantung Intan berdebar sangat cepat. Baru kali ini ia disentuh oleh pria seperti itu. Ditambah wajah Zein mendekat. Seolah hendak menciumnya.

"Kamu gimana sih makannya? Masa bisa sampai berdarah begini?" tanya Zein.

"Saking dekatnya wajah mereka, Intan bahkan dapat menghirup aroma tubuh dan napas pria itu. Hingga akhirnya Intan menahan napas karena tidak tahan dengan aroma tubuh Zein.

Wajah intan memanas dan ia hawatir Zein dapat melihat wajahnya merona karena malu. Akhirnya Intan langsung memalingkan wajahnya.

"Enggak apa-apa, Prof. Ini cuma luka biasa," ucapnya, gugup. Ia sendiri bingung dengan perasaannya. Mengapa dia yang membenci Zein bisa salah tingkah saat diperlakukan seperti itu.

"Kamu ini kan dokter. Bisa-bisanya kamu bilang itu hanya luka biasa," ucap Zeni kemudian ia berdiri tegak.

"Tunggu sebentar!" ucapnya lagi. Lalu ia berjalan meninggalkan restoran itu.

"Eh, dia mau ke mana? Kok aku ditinggalin sendirian?" batin Intan.

Intan masih menahan darah yang mengalir dari bibirnya dengan tisu. Sesekali ia menoleh ke arah luar dan ternyata Zein kembali dengan membawa kotak P3K yang baru saja diambil dari mobilnya.

Zein langsung menaruh kotak tersebut lalu membukanya dan mengambil kain kasa basah. Kemudian Zein membersihkan luka Intan dengan kasa yang sudah dibasahi oleh alkohol.

Tanpa ragu ia menyentuh dagu Intan dan menarik sedikit bibirnya agar luka itu terlihat. "Tahan sebentar!" ucap Zein. Lalu ia menotolkan kain kasa tersebut di bibir Intan.

Melihat bibir intan begitu seksi, Zein refleks menelan salivanya. Ia pun mulai gelisah karena melakukan kontak fisik dengan intan dan saat ini wajah mereka begitu dekat.

"Biar saya sendiri aja, Prof!" ucap intan sambil memundurkan wajahnya. Ia tidak tahan berada di posisi seperti itu. Rasanya sangat sesak.

"Sudah! Jangan banyak protes! Emangnya kamu bisa melihat bagaimana lukamu?" ucap Zein, kesal.

Setelah itu, ia mengambil sebuah plester berbentuk bulat kecil anti air. Lalu menempelkannya di bibir Intan untuk menutupi luka tersebut. Sebab ia yakin Intan akan kesulitan makan jika lukanya tidak ditutup.

"Selesai! Lain kali tolong lebih hati-hati! Merepotkan saja," ucap Zein. Lalu ia kembali duduk.

***

Bukan Intan aja yang berdebar, aku pun ikut berdebar, wkwkwk.

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Where stories live. Discover now