56. Kekanakan

35.2K 2K 36
                                    

Intan ternganga setelah mendengar ucapan suaminya itu. "Siap banget ya, Mas?" sindir Intan.

"Kamu lupa kalau suamimu ini memang selalu prepare?" tanya Zein.

"Iya, sih. Cuma aku gak yakin kalau hadiah spesialnya cuma buat aku," ucap Intan, lemas.

"Lalu? Memang kamu pikir hadiahnya apa?" tanya Zein.

Intan curiga bahwa hadiahnya adalah permainan panas di ranjang. Namun ia tidak mungkin mengatakan hal tersebut pada suaminya itu.

"Gak tau," jawab Intan sambil menatap bucket bunga yang ada di tangannya. Lalu ia menghirup bunga tersebut.

"Hem ... kok aroma bunganya kayak parfum, Mas, ya?" tanya Intan. Ia bingung karena aroma mawar itu bahkan tidak tercium. Kalah dengan parfum milik suaminya.

"Oh, kamu hafal parfum Mas?" tanya Zein. Ia senang Intan mengenali aromanya.

"Iyalah, setiap hari nyium aromanya. Masa iya gak hafal," gumam Intan sambil merapihkan posisi bunga tersebut.

"Syukurlah kalau begitu. Jadi nanti kalau kamu magang, kamu gak akan lupa udah punya suami," ucap Zein.

Intan langsung menoleh ke arah Zein. "Apaan, sih? Ya kali lupa. Orang hampir tiap malem disuruh ngelayanin suaminya," ucap Intan, sebal.

"Tapi kamu juga suka, kan?" ledek Zein. Namun seperti biasa, tampangnya tetap kaku.

Intan tidak menjawabnya. Ia langsung memalingkan wajah karena malu. Memang ia kesal karena suaminya itu selalu meminta jatah. Namun jika sudah dimulai, ia pun malah menikmatinya.

Beberapa saat kemudian, mereka check in di resepsionis.

Lokasi hotel cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Berada di kawasan perbukitan dan kemungkinan bertemu dengan orang yang dikenal sangat kecil.

"Ayo!" ajak Zein setelah ia selesai check ini. Lalu mereka pun menuju kamar yang berada di lantai 5.

Zein menarik koper karena ia memang hanya membawa satu koper untuk pakaian mereka. Sehingga Zein tidak membutuhkan bantuan bellboy hotel tersebut.

Seperti biasa, Zein berjalan sambil menggandeng tangan istrinya. Ia seolah tidak nyaman jika berjalan masing-masing tanpa bergandengan tangan.

"Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?" tanya Zein.

Intan menggelengkan kepalanya. "Belum," sahutnya.

"Syukurlah. Jadi kamu tidak akan bosan selama ada di sini," ujar Zein.

Intan mengerutkan keningnya. Lalu ia menoleh ke arah Zein. "Selama? Emang mau berapa hari di sini?" tanya Intan, heran.

"Hem ... tadinya sih mau dua hari. Tapi berhubung lokasinya lumayan jauh, kayaknya sayang kalau cuma dua hari, jadi tiga hari dua malam aja," sahut Zein.

Ternyata saat check ini tadi Zein langsung mengajukan extend.

"Lho, emangnya Mas gak ada kerjaan?" tanya Intan.

"Kerjaan Mas udah dihandle sama dokter lain. Kebetulan dia memang sedang butuh uang. Jadi aman," jawab Zein, santai.

"Emang Mas gak butuh uang?" tanya Intan sambil mendelik.

"Ya butuh. Tapi saat ini Mas lebih butuh kamu," jawab Zein. Kemudian ia membuka pintu kamar mereka.

"Bisa gak sih dia nih jangan bikin aku melting terus? Nanti kalau beneran dikirim ke tempat jauh, gimana?" gumam Intan, pelan.

"Ayo!" ajak Zein saat melihat Intan mematung di depan pintu.

Saat mereka masuk ke kamar yang sangat luas itu, Intan melihat sudah ada makanan yang tersaji di meja makan.

"Mau makan dulu atau ganti baju dulu?" tanya Zein sambil menaruh koper mereka di lemari.

"Makan dulu, ya? Lapar," ucap Intan, jujur.

"Oke," sahut Zein.

Ia pun mencuci tangan, kemudian membuka plastik wrap yang menutupi setiap piring hidangan tersebut.

"Ini banyak banget makanannya, Mas?" tanya Intan. Ia pun membantu Zein membuka wrapingnya.

"Nanti juga habis," sahut Zein, santai. Sepertinya ia sudah merencanakan sesuatu sampai memesan makanan sebanyak itu.

"Ini buka yang mau di makan aja dulu! Sisanya nanti bisa kita hangatkan di microwave kalau lapar," ucap Zein.

"Oke," sahut Intan.

Setelah itu mereka pun makan bersama.

"Gimana, makanannya enak, gak?" tanya Zein. Ia sangat peduli dengan selera istrinya.

Intan mengangguk. "Enak, Mas," sahutnya sambil menikmati makanannya tersebut.

"Pengumuman magangnya kapan?" tanya Zein lagi.

"Belum tau, Mas. Nunggu hasil ujian dulu. Setelah itu baru penempatan," jawab Intan.

Zein terdiam sejenak. 'Apa aku jujur saja? Tapi bagaimana jika dia marah padaku?' batin Zein. Ia sedang bimbang ingin jujur atau merahasiakan perihal kesalahannya yang mengirim Intan ke perbatasan itu.

"Ya sudah, di mana pun kamu magang nantinya, Mas harap kamu baik-baik saja," ucap Zein.

"Aamiin ...." Sebenarnya Intan bingung mengapa Zein seolah yakin bahwa dirinya akan ditempatkan di tempat yang jauh. Namun ia malas memperdebatkan masalah itu.

Selesai makan, Zein mengambil sesuatu dari sakunya. "Ini hadiah buat kamu," ucap Zein sambil menyerahkan sebuah kotak kecil beludru berwarna biru.

"Lho, apa ini? Kan hasilnya belum keluar, kok udah dikasih hadiah?" tanya Intan. Ia pun menerima kotak tersebut.

"Itu hadiah atas usaha kamu. Apa pun hasilnya tidak jadi masalah. Yang terpenting kamu mau berusaha," jawab Zein.

Intan tersenyum. "Makasih ya, Mas," ucapnya. "Ini boleh dibuka sekarang?" tanya Intan.

"Tentu, silakan!" sahut Zein.

Intan pun membukanya dengan sangat antusias. Namun seketika wajahnya kaku saat melihat sebuah kalung bertuliskan nama "Zein".

"Ini nama Mas?" tanya Intan. Maksudnya ia bingung mengapa ada nama Zein di kalung itu.

"Iya, kenapa? Apa kamu gak suka?" tanya Zein.

'Bukan gak suka, sih. Tapi apa iya dia mau nyuruh aku make kalung kayak gini? Norak banget gak, sih? Aku berasa jadi kayak hewan peliharaan,' batin Intan.

Melihat reaksi Intan, Zein pun langsung mengambil kotaknya kembali. "Ya udah kalau gak suka, jangan dipake! Buang aja!" ucap Zein. Ia kesal karena Intan tidak menyukainya.

"Lho, siapa yang bilang gak suka? Aku suka, kok. Makasih, ya," ucap Intan sambil merebut kembali kotaknya.

Ia tidak mungkin membiarkan suaminya itu kecewa.

Zein sengaja memberikan kalung seperti itu agar ketika di perbatasan ada yang mendekatinya nanti bisa melihat namanya di kalung tersebut. Secara tidak langsung Zein ingin menandai Intan sebagai miliknya.

"Sini, biar saya pakaikan!" ucap Zein. Kemudian ia berdiri dan memasangkan kalung itu pada Intan.

Entah mengapa Intan tidak antusias menerimanya meski kalung itu terlihat begitu cantik.

Setelah memasangkan kalung tersebut, Zein mengngkung Intan dari belakang. "Mas minta, kalung ini jangan pernah kamu lepas dalam kondisi apa pun, oke?" ucap Zein.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Where stories live. Discover now