Digendong

38.3K 2.5K 161
                                    


"Jangan, Prof!" ucap Intan. Ia tidak enak hati jika kakinya dilihat oleh Zein.

"Ck! Ini perintah!" ucap Zein, kesal.

Akhirnya Intan pun menuruti permintaan Zein. Ia menyerahkan sebelah kakinya itu pada Zein.

"Sini!" ucap Zein. Ia mengambil kaki Intan dan menaruh kaki itu di salah satu lututnya. Kemudian Zein melepaskan sepatu yang Intan kenakan.

"Ya ampun, sampai memar begini? Kamu jatuh di mana?" tanya Zein sambil menatap Intan.

Intan pun gelagapan. Ia bingung hendak menjawab apa. "Euh, di tangga," sahutnya. Intan tak mungkin jujur bahwa dirinya baru saja menendang dinding. Akan terdengar konyol sekali, bukan?

"Tahan sedikit!" ucap Zein. Lalu ia menyentuh memar tersebut untuk mengecek seberapa parah lukanya.

Belum sempat Zein bertanya, Intan sudah memekik kesakitan.

"Aww!" Kakinya refleks menendang ke bagian tengah selangkangan Zein, hingga Sang profesor terbelalak.

"Arghh! Masa depanku." Zein mengerang kala senjatanya tak sengaja ditendang oleh Intan. Ia berdiri sambil meringis.

Intan yang merasa bersalah pun refleks mengelus bagian yang ia tendang. "Maaf, Prof!" ucap Intan gugup. Otaknya sedang tidak berjalan sehingga ia sangat berani mengelus dan meniupinya.

"HEI! KAMU ...?" Bola mata Zein hampir melompat kala benda pusakanya dielus oleh Intan. Tubuhnya langsung meremang, wajah dan telinganya pun merah padam. Bahkan dalam sekejap sakitnya langsung hilang, berubah menjadi tegang.

"Astaga! Maaf, Prof. Kalau begitu a-aku pamit dulu," ucap Intan, gugup. Ia salah tingkah karena sangat malu atas perbuatannya sendiri.

Zein pun menjadi canggung berhadapan dengan Intan. Sebab, pikirannya sudah berkelana.

"Lebih baik kamu ke ortopedi! Nanti saya hubungi dokternya," ucap Zein sambil memalingkan wajah.

"I-iya, Prof," sahut Intan. Ia bergegas mengenakan sepatunya dan meninggalkan ruangan itu dalam kondisi terpincang-pincang.

'Bodoh, bodoh, bodoh! Intan Bodoh. Bisa-bisanya aku ngelus bagian itu? Astaga ... kenapa aku ... arghhh!" Intan meruntukki dirinya sendiri.

"Kenapa, Dok?" tanya suster saat melihat Intan keluar dari ruangan Zein. Tadi ia mendengar teriakan mereka berdua.

"Gak apa-apa. Saya hari ini gak ikut praktek dulu. Mau periksa kaki," jawab Intan. Kemudian ia berjalan menuju poli ortopedi.

Suster pun percaya karena jalan Intan tidak biasa.

Sementara itu, Zein masih tercenung di kursinya. Ia ingat betul bagaimana ketika Intan mengelus dan meniupinya tadi. Sehingga Zein membayangkan Intan melakukan hal lain yang lebih extreame dari itu.

Ia bahkan tidak sadar bahwa suster sudah berdiri di hadapannya sejak tadi.

"Permisi, Prof!" ucap suster untuk yang kesekian kalinya.

Masih belum mendapat jawaban dari Zein, suster pun akhirnya memberanikan diri untuk menggunakan nada tinggi.

"PERMISI, PROF!" ucap suster lagi.

Zein pun terkesiap. "Iya, Sayang?" tanyanya.

Deg!

Rasanya suster hampir pingsan saat dipanggil sayang oleh Zein.

Namun, sedetik kemudian Zein tersadar. "Iya, Sus? Ada apa?" tanyanya, salah tingkah.

Akhirnya Suster pun paham bahwa Zein hanya sedang melamun. "Apa polinya sudah dapat dimulai, Prof?" tanya suster lagi.

Zein tidak langsung menjawabnya. Ia melirik ke arah bawah dan ternyata masih ada yang tegang di sana.

"Sepuluh menit lagi. Saya sedang kurang fit. Tolong beri watu saya untuk istirahat sebentar!" pinta Zein.

"Baik, Prof," sahut suster. Ia bingung mengapa Zein tidak seperti biasanya.

Suster pun meninggalkan ruangan itu.

"Argh! Intan ... kamu gak tanggung jawab!" gumam Zein sambil menggeretakkan giginya. Ia kesal karena Intan sudah membangunkan naga lapar yang sedang tidur.

Zein menyenderkan tubuhnya agar rileks. Mengendurkan kancing-kancing bajunya. Kemudian ia memejamkan mata.

"Calm down, Zein ... kamu pasti bisa. Satu bulan lagi kamu bisa memintapertanggung jawaban dari gadis itu," gumam Zein sambil mengatur napas.

Namun, membayangkan hal itu, bukannya tenang, tubuhnya malah semakin tegang. Ia jadi tidak sabar ingin segera menikahi Intan.

"Sial! Ini pasti efek alami. Oke, setidaknya aku masih normal," gumam Zein. Ia tidak mau mengakui dan yakin bahwa dirinya tidak mencintai Intan.

Sambil menenangkan dirinya, Zein menghubungi dokter ortopedi agar bisa memeriksa Intan.

Telepon terhubung.

"Selamat siang, Prof," sapa dokter ortopedi.

"Siang. Apa dokter ada di ruangan?" tanya Zein.

"Ada, kebetulan saat ini saya sedang praktek. Ada yang bisa dibantu, Prof?"

"Tolong periksa kaki dokter Intan. Tadi saya cek kakinya memar. Tolong lakukan yang terbaik untuknya, ya," pinta Zein.

"Oh, baik, Prof," sahut dokter ortopedi. Ia bingung mengapa Zein begitu perhatian pada Intan.

Telepon terputus.

Setelah itu Zein pun melanjutkan aktifitasnya kembali.

Sore hari, seperti janjinya, Zein ingin mengajak Intan pergi untuk mencari cincin. Namun, mengingat kaki Intan sedang sakit, sehingga Zein memilih untuk mencari cincin di toko perhiasan yang ada di ruko, agar tidak perlu repot berjalan jauh di mall.

"Saat sedang menunggu Intan di mobil, Zein melihat Intan sedang jalan dari kejauhan menuju ke mobilnya.

"Sepertinya kakinya masih belum bisa berjalan normal," gumam Zein saat melihat Intan masih tertatih.

Akhirnya Zein turun dari mobil dan menghampiri Intan. "Kamu lama sekali!" ucapnya.

"Euh, maaf, Prof. Ini ...." Belum sempat Intan menyelesaikan ucapannya, Zein langsung menggendong Intan dan membawanya ke mobil.

"Lho, Prof. Biar saya jalan sendiri. Gak enak dilihat orang," ucap Intan. Padahal saat itu parkiran sedang sepi.

"Lama!" ucap Zein, ketus tanpa menoleh ke arah Intan.

Ia pun tetap menggendong Intan dan membawanya ke mobil.

Jantung Intan berdebar cepat kala digendong seperti itu oleh Zein. Ia sangat gugup karena tubuhnya bersentuhan dengan tubuh kekar pria itu.

'Ya Tuhan ... kenapa harus digendong, sih? Ini kalau aku pingsan gimana?' batin Intan. Wajahnya terasa panas dan ia tidak konsen karena menghirup aroma tubuh Zein.

"Buka pintunya!" ucap Zein saat tiba di depan pintu mobil.

Intan pun membuka pintu tersebut dan Zein menurunkannya secara perlahan.

"Bisa pasang seatbelt?" tanya Zein.

"Bisa!" sahut Intan, cepat. Ia pun langsung menarik seatbelt lalu memasangnya.

Setelah itu Zein berjalan menuju kursinya. Lalu ia masuk dan melajukan kendaraannya itu.

"Kamu suka emas putih, kuning, atau berlian?" tanya Zein sambil menatap lurus ke depan.

Ia menikahi Intan seolah terpaksa. Namun Zein masih peduli dengan kesukaan calon istrinya itu.

"Apa aja, Prof," sahut Intan.

"Kalau saya kasih cincin kawat, mau?" tanyanya.

Intan terkesiap. "Saya kan manusia, bukannya tiang rumah, Prof," sahutnya, memelas.

'Sialan!' maki Intan dalam hati.

"Katanya apa saja? Makanya kalau ditanya itu jawab yang jelas!" skak Zein.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Where stories live. Discover now