40. Hari Bersamamu

Start from the beginning
                                    

“Dih!” Naza mencebik hingga bibir merah mudanya melengkung ke bawah.

Scan di sini, Kak.” Gadis bernama Vanilla itu menyodorkan barcode pada Alby. Belum sempat Alby memindai, tapi gadis itu malah berjalan ke arah lain. “Pak Jema! Pak!” teriaknya.

Gadis itu mendesis kesal, lalu kembali menatap Alby. “Mohon maaf, Kak. Scan sendiri aja, ya. Nanti ada temen saya yang bakal lanjutin.” Dia berlari, meninggalkan Alby dan Naza yang kebingungan. “Pak Jema tunggu! Ayang, tunggu!” teriaknya.

Melihat kelakuan gadis itu, Alby dan Naza saling melempar pandangan satu sama lain, kemudian dalam hitungan detik keduanya terbahak.

“Mirip Kak Zia,” celetuk Naza.

Alby kira, hanya dia yang berpikiran seperti itu. Kelakuan gadis itu mirip seperti kelakuan mendiang Zia yang terkesan konyol dan sanggup membuat Alby bersama keluarga mereka mengelus dada. Tadinya, Alby tak mau membahas hal itu, takut Naza tersinggung. Ternyata, Naza sendiri yang menyebut nama Zia lebih dulu.

Setelah beberapa kejadian tak mengenakan antara dia dan Naza, pria itu memang selalu berhati-hati, terutama tentang Zia. Dan, sekarang Alby hampir saja melupakan bahwa, jauh sebelum Zia menjadi istrinya, Naza lebih dulu tumbuh bersama dan menyayangi Zia sebagai seorang kakak yang dia hormati.

“Za—”

Tiba-tiba, gadis lain dengan almamater yang sama datang mendekati Alby. “Ini id card dan seminar kit-nya, Kak. Silakan masuk dan menempati tempat yang sudah disediakan di dalam.”

Alby mengangguk dan mengajak Naza untuk masuk ke dalam ruangan besar itu.

“Za, kita duduk di belakang aja, supaya gampang kabur,” ucap Alby.

Naza hanya tersenyum dan memilih tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar. “Oh ... jadi, ini mahasiswa yang sering kabur di tengah acara?” goda Naza pada Alby yang kini cengengesan.

“Dulu, kalau ada acara kampus kaya gini, mas gak betahan. Ngantuk banget kalau dengerin orang ngomong lama-lama. Yang penting udah dapat snack sama sertifikat, mas langsung keluar lagi,” jelas Alby sambil tertawa, mengingat kelakuan rebel-nya saat duduk di bangku kuliah dulu.

Dan, benar saja. Sesuai dengan ucapan Alby, baru saja acara seminar dimulai, Alby sudah mengajak untuk kabur. Alasannya, “Mual, Za. AC di dalam dingin banget.”

Di sanalah sekarang pasangan sejoli itu duduk, di tempat makan cepat saji yang menjajakan berbagai macam jenis makanan.

“Mau ngerjain tugas, ‘kan? Nah, di sini ada WiFi gratis.” Alby mengeluarkan iPad hitam dari tasnya. “Kamu ngerjain tugas, aku nunggu sambil makan,” begitu katanya.

Ternyata, sandiwara menjadi mahasiswa masih berlanjut. Naza mengangguk samar. Dia buka iPad itu, berlagak seperti tengah mengerjakan tugas, padahal dia hanya bermain-main dengan canvas menggambar. Sesekali, dia menatap Alby yang sibuk menikmati makanannya. Kemudian, kembali berkutat dengan gadget di tangannya.

“Belum selesai nugasnya? Mau dibantuin gak?”

Entah dari mana datangnya, Naza malah mendengar suara Natha. Dia mengerjap beberapa kali sampai akhirnya sadar bahwa suara itu hanya ingatan lama yang berputar dalam rungunya. Naza memang menghabiskan masa mudanya bersama Natha. Apa yang dia lakukan bersama Alby saat ini seakan membawa kembali rasa rindu akan masa lalu bersama figur lama.

“Kenapa?” tanya Alby yang heran melihat Naza malah melamun dengan tatapan kosong. “Tugasnya susah?” godanya.

Naza tersenyum, kemudian menutup kembali iPad di tangannya. “Mas, kalau makan di sini udah selesai, kita pergi ke tempat lain, yuk.”

“Yuk! Mau ke mana?”

Naza menopang dagunya. “Ke mana aja, tapi aku mau naik commuter line.”

“Commuter line?”

“Iya. Aku belum pernah naik kereta di Jakarta. Kayaknya seru kalau kita ke Kota Tua naik kereta. Iya gak sih, Mas?”

Alby mencebik. Rasanya, dia ingin menoyor kepala Naza. “Seru gimana? Ribet kalau naik kereta, sayang. Mana lama, banyak orang, belum lagi kalau desak-desakan. Kalau naik MRT mungkin masih mending. Lagian, motor mas mau disimpan di mana kalau kita naik kereta?”

Sekarang, Naza yang berdecak tak suka.Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Alby. “Anak kamu yang mau. Mas lebih sayang anak atau sayang motor?” bisiknya.

Sambil menatap perut Naza, Alby menghela napasnya begitu berat. “Oke, baiklah. Kita naik kereta.”

Karena rayuannya sendiri, sekarang Naza sendiri yang menyesal. Dia kebingungan mencari tempat duduk di gerbong kereta. Padahal, bukan jam pulang kerja, tapi semua kursi sudah terisi penuh, bahkan ada beberapa gerbong yang harus berdesak-desakan.

“Kan?”

Satu kata dari Alby membuat Naza merengut kesal. “Kan aku kira gak bakal seramai ini.”

Alby memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain di gerbong kereta. Kemudian berjalan, menghampiri beberapa orang yang duduk di sana. “Pak, bisa bagi tempat duduknya.” Alby melirik Naza sekilas. “Istri saya lagi hamil,” sambungnya.

“Oh, iya silakan.” Pria berkumis tebal itu berdiri, mempersilakan Naza untuk duduk. 

Naza tersenyum. Dia duduk sambil menatap Alby yang berdiri di depannya. Perempuan cantik itu tengah menikmati setiap detiknya bersama Alby.  Memang tak sebanyak kenangan yang Naza miliki bersama Natha, tapi Naza yakin akan lebih banyak kenangan yang bisa Naza ciptakan bersama Alby di masa depan.

Setelah menikmati kerak telor dan minuman selendang mayang, bersua foto dengan beberapa manusia patung, lalu menonton film romansa, kini Naza dan Alby sudah cukup lelah untuk bermain-main lagi. Namun, ada satu tempat yang masih ingin mereka tuju, pusara pengistirahatan mendiang Zia.

Bersama taksi online yang mereka pesan, pasangan suami-istri itu kembali menyusuri jalanan kota, menuju tujuan terakhir dari perjalanan mereka. Di dalam mobil, Naza menyandarkan kepalanya di bahu Alby. Dia memainkan jemari Alby yang digenggamnya.

“Mas ... makasih, ya.”

Alby tak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum sambil menciumi pucuk kepala Naza.

“Makasih. Hari ini, aku bahagia, Mas.” Naza mendongak, menatap wajah Alby yang masih tersenyum manis. “Mas, boleh gak tiap hari aku jadi pacar kamu aja,” guraunya.

“Kamu lebih dari sekedar pacar, Za. Kamu kehidupan yang mas punya sekarang.”

Naza semakin erat menggenggam tangan Alby. Dia makin dalam menenggelamkan wajahnya di dada Alby. Tak lama, dia menutup matanya, menukas rasa lelah dari kebahagiaannya bersama Alby.

Alby balas merangkul Naza dalam dekapannya, lalu mendengarkan setiap hembus napas Naza yang terasa hingga ke dadanya. Pria itu hanya bisa menahan tawanya saat mendengar dengkuran halus dari bibir Naza. Ternyata, Naza kelelahan hingga tertidur.

Pegal sebetulnya, tapi Alby tak berani untuk bergeser sedikit pun. Dia usap kembali rambut panjang Naza sambil membenarkan posisi tidur perempuan hamil muda itu. Sampai akhirnya, perhatian Alby terganggu karena getar ponselnya sendiri. Ada satu pesan yang dia terima.

— ° ° ° —

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now