04. Batas Kita

64.4K 5.1K 18
                                    

“Kita hanya takut kecewa ”

— ° ° ° —

Alby tak menghitung sudah berapa kali purnama datang dan pergi. Sudah tak terhitung malam panjang yang Alby lalui sendirian digantikan oleh pagi dengan sendu yang berbeda. Ternyata, hari ini Alby sudah berjumpa dengan pagi dan perasaan yang sama.

Pria itu berdiri di depan cermin panjang di dalam kamarnya. Dia begitu kesulitan untuk memasangkan dasinya saat ini. Entah kenapa dasi itu terasa lebih licin dan sukar untuk diikat rapi. Padahal, hari sebelumnya Alby bisa memasangkan dasinya sendiri. Sudah berulang kali Alby mengikat dasi itu, tapi tak kunjung menemukan ikatan dasi yang sesuai harapannya.

Alby berdiam sejenak. Dia memilih untuk memandangi pantulan dirinya sendiri dari cermin panjang itu. Biasanya, setiap pagi Zia yang akan memasangkan dasi itu untuk Alby. Perempuan cantik itu akan naik ke atas ranjang agar bisa menjangkau leher Alby. Tak jarang, Zia akan mencuri kecupan singkat di bibir Alby saat sibuk memasangkan dasi. Sekarang, hal itu hanya menjadi fatamorgana yang terkadang seakan nyata, namun nyatanya hanya sebuah ilusi semata.

“Mau aku bantu pakaikan?”

Pertanyaan dari Naza, membuat Alby menoleh. Dia menatap Naza yang berdiri di ambang pintu kamar. Perempuan berbadan kurus itu sudah cantik dan rapi dengan pakaian santainya. Rambut panjangnya diikat sederhana. Kaos hitam yang memamerkan lekuk tubuhnya dipadukan dengan celana panjang berwarna krem, semuanya begitu cantik di tubuh Naza.

“Ah, iya … tolong,” ucap Alby.

Meski langkah Naza terkesan ragu, tapi dia tetap masuk ke kamar Alby. Sebetulnya, ini pertama kalinya Naza masuk ke kamar suaminya itu. Meski pernikahan mereka sudah berjalan empat bulan, hubungan Naza dan Alby layaknya dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama. Keduanya benar-benar canggung satu sama lain. Jarang sekali mereka memiliki waktu berdua atau sengaja menghabiskan hari bersama. Namun, tak menghilangkan kenyataan, mereka terkadang berbincang ala kadarnya untuk membicarakan perkembangan si kecil Leon. Sampai perbincangan tentang Leon selesai, usai pula obrolan mereka.

Jujur, Naza cukup asing dengan kamar Alby. Perlahan, perempuan cantik itu mulai mendekati Alby. Diraihnya dasi biru dongker yang masih menggantung di leher Alby. Naza berjinjit untuk meraih leher pria yang cukup tinggi bagi Naza.
Melihat Naza yang begitu susah payah menyamakan tinggi mereka, Alby langsung menekuk kedua kakinya hingga wajah mereka benar-benar sejajar. Hal itu cukup membuat Naza tersenyum simpul.

“Mas suka ikatan dasi seperti apa?Apa aja, ya?”

Bukannya menjawab, Alby malah menatap wajah Naza yang begitu serius memasangkan dasi untuknya. Wajah Naza memang tak mirip dengan mendiang Zia. Jika Zia mirip dengan ibunya, Naza adalah versi cantik dari mendiang ayahnya. Tak bisa Alby pungkiri, Naza begitu cantik. Wajah Naza terbilang mungil untuk ukuran Alby. Matanya berbentuk almond dengan iris berwarna cokelat muda. Bibirnya kecil, tapi penuh dan merona. Rambut cokelatnya panjang dan bergelombang. Untuk beberapa saat, Alby terhipnotis oleh wajah cantik Naza.

Entah mendapat dorongan dari mana, Alby mendekatkan wajahnya pada wajah Naza. Dia ingin mengecup kening perempuan yang berstatus istrinya itu. Namun, saat bayangan wajah Zia terlintas di pikirannya, Alby langsung menjauhkan wajahnya. Dia berdeham kecil dan kembali mengatur deru napasnya.

“Udah selesai,” ucap Naza. Dia kembali tersenyum, menatap dasi yang sudah rapi terpasang di leher Alby.

“Terima kasih,” ucap Alby sambil berjalan ke depan cermin untuk memeriksa tampilannya pagi ini. Jas Biru dongker yang senada dengan warna celana dan dasi yang dia pakai, begitu gagah membalut tubuh kokohnya. Alby tersenyum  melihat simpul dasi yang Naza pasangkan untuknya, sangat cantik sama seperti Naza.

“Oh ya, Za. Leon belum bangun?” tanya Alby.

“Belum,” singkat Naza.

Alby memutar tubuhnya untuk kembali menatap Naza. “Za, kalau kamu perlu pengasuh, kita cari pengasuh. Mas gak enak sama kamu. Kamu pasti lelah jaga Leon sendirian saat mas kerja,” ucapnya.

Naza menggeleng samar. “Selain putra Kak Zia, Leon juga ponakan aku. Jadi, sudah menjadi tugas aku untuk menjaga Leon. Lagipula, Leon gak begitu rewel kok,” ucapnya.

Alby kembali tersenyum tipis. Naza memang tak pernah mengeluh saat menjaga Leon. Perempuan cantik itu bahkan tak pernah mengeluhkan Alby yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan tak jarang berakhir dengan pulang malam. Sekarang, Alby cukup malu jika terus mengandalkan Naza untuk menjaga Leon.

“Oh iya Mas ... itu—” Naza ragu untuk minta tolong.

“Kenapa?” tanya Alby.

“Hari ini, Mas Alby pulang malam lagi?” tanya Naza ragu.

“Kalau kamu minta mas pulang cepat, mas bisa pulang cepat, kok. Kenapa emang?” tanya Alby. Pria itu kembali mendekati Naza yang kini terlihat begitu canggung.

“Itu ... hari ini, Leon jadwal imunisasi. Rencananya, aku mau konsultasi ke dokter anak juga. Soalnya, aku khawatir. Gigi Leon belum ada tanda-tanda tumbuh. Padahal, usia Leon udah lebih dari delapan bulan. Lebih baik, kalau Mas juga ikut. Supaya Mas juga tahu perkembangan Leon seperti apa,” jelas Naza.

Alby mengangguk. “Mau jam berapa ke dokternya?” tanyanya.

“Kalau setelah makan siang, Mas bisa gak?”

Alby memeriksa ponselnya sekilas. Kedua alis tebalnya terlihat menukik. Sebetulnya, jadwal Alby di kantor begitu padat hari ini. Namun, dia tak mungkin terus mengandalkan Naza untuk urusan putranya sendiri.

“Kalau Mas gak bisa, aku bisa pergi sendiri. Nanti, aku laporan ke kamu, Mas hehehe ….” Naza menimpali dengan cepat. Ucapannya bahkan diikuti kekehan tipis, berharap bisa memecah kecanggungan antara mereka berdua. Naza menyadari kening Alby yang mengerut saat memeriksa jadwalnya hari ini. Pria itu pasti sangat sibuk, pikir Naza.

“Mas bisa, Kok. Mas jemput setelah jam makan siang, ya.”

Naza hanya tersenyum simpul. Sebenarnya, Alby masih mau  mengesampingkan pekerjaannya jika Naza meminta, tapi Naza tak enak hati untuk merepotkan pria itu. Seakan ada batasan di antara hubungan mereka, keduanya seakan sungkan untuk menuntut satu sama lain.

“Za ... hari ini mas gak sarapan di rumah. Nggak apa ‘kan?”

Naza hanya menatap pria itu dengan kesunyian. Sebetulnya, Naza sudah menyiapkan sarapan untuk Alby. Semua masakannya sudah terhidang di meja makan dengan apik.

“Maaf, mas buru-buru,” sambung Alby.

“Sarapannya mau dibekal gak?” tanya Naza.

“Kalau kamu gak repot, dibekal aja boleh. Nanti, mas makan di kantor.”

Naza mengangguk. Dia langsung tersenyum saat Alby mengusak rambutnya sekilas.

“Terima kasih. Mas mau lihat Leon dulu,” ucap Alby sebelum dia beranjak ke kamar jagoan kecilnya.

Seperti itulah Alby dan Naza. Hubungan mereka hanya sebatas senyuman dan ucapan terima kasih. Paling jauh, Alby hanya akan mengusak pucuk kepala Naza seperti tadi. Namun, hal itu sungguh cukup bagi keduanya. Alby dan Naza bukan tak mau menggantungkan harapan satu sama lain. Namun, mereka sadar, kekecewaan adalah hal tak pernah mau mereka berikan dan hal tak pernah mau mereka dapatkan.

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now