32. Kenyataan yang Tak Bisa Kita Hindari

41.9K 3.7K 83
                                    

“Kenyataan tetap menjadi kenyataan, tak peduli kita menghindar atau tidak.”

— ° ° ° —

Alby sudah kehabisan akal untuk mencari Leon. Dia meremat rambutnya dengan frustrasi. Setiap orang yang ditemui, tak luput menjadi sasaran Alby untuk menanyakan keberadaan Leon. Setiap tempat juga sudah dia jamah untuk mencari keberadaan bayi berusia satu tahun itu. Namun, sampai sekarang Leon masih belum diketahui keberadaannya.

Alby pandangi sekeliling taman yang kini dia pijaki. Hawa dingin sudah mulai terasa dan langit mulai kelabu. Berbagai macam pertanyaan hinggap di kepalanya. Bagaimana keadaan Leon saat ini? Apa dia juga kedinginan atau parahnya bayi itu tengah menangis ketakutan? Alby tak mampu membayangkan bagaimana bayi sekecil Leon bisa bertahan sendirian di tempat luas seperti ini.

Saat melihat Harsa berlari sambil menggelengkan kepalanya, Alby kembali memijat pelipisnya. Dia yakin, Harsa pun gagal untuk menemukan Leon.

Sorry, By. Gak ada satu orang pun yang lihat Leon,” ucap Harsa. Harsa sudah mencari Leon di setiap penjuru lokasi acara aman, tapi tak ada satu orang pun yang melihat keberadaan bayi gembul itu.

“Mencari satu bayi aja, kenapa gak ada becus sama sekali!” Alby benar-benar tak bisa menahan dirinya lagi. Sejak Naza meneleponnya dan memberi tahu bahwa Leon hilang, Alby sudah tak bisa lagi untuk berpikir jernih. Begitu banyak pikiran buruk yang kini hinggap di kepalanya. Begitu banyak asumsi-asumsi gila yang menghantui kepalanya.

Bagaimana jika Leon diculik atau dia berlari sendirian ke tengah jalan. Membayangkannya saja, membuat jantung Alby berdetak tak karuan. Namun, kemana lagi dia harus mencari putranya itu.

Padahal, Leon satu-satunya yang dia punya. Satu-satunya kenangan dari Zia yang dia miliki. Satu-satunya alasan Alby bisa bertahan tanpa Zia. Jika bisa tawar-menawar dengan nasib dan takdir, bahkan Alby rela untuk menukar nyawanya untuk Leon.

“By, di taman ini gak ada satu CCTV satu pun,” ucap Reksa. Dia begitu terengah-engah setelah berlari bolak-balik mencari pos penjaga taman ini. Tapi, hasilnya nihil. Taman ini tak memiliki kamera pengawas satu pun. Dia pun tak bisa mengandalkan CCTV jalanan yang membelakangi area taman.

Tak berselang lama, Mako juga datang dengan wajah panik. Dia berlari sekuat tenaga untuk mendekati Alby. “By, polisi belum bisa menerima laporan Leon hilang sebelum 24 jam,” ucapnya.

Alby mengepalkan tangannya penuh emosi. Sampai-sampai urat-urat di lengannya seakan mencuat keluar. “Keparat! Jadi mereka akan tidur dengan tenang dulu, baru mencari putraku! Begitu!”

Alby terus berteriak dengan penuh emosi. Alby tentu saja marah, tapi harus pada siapa dia melampiaskan amarahnya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar. Namun, pandangannya malah berakhir pada figur Naza yang duduk di sana. Dia dekati istrinya itu.

“Di mana Leon!”

Naza yang sejak tadi menangis di bangku taman, tersentak kaget saat Alby tiba-tiba membentaknya. Dia juga meringis kesakitan saat Alby mencengkeram bahunya dengan kuat.

“Kamu bawa Leon kemana?! Naza!” bentak Alby.

“M-maaf ... Ma-mas ... aku gak t-tahu,” cicit Naza di sela tangisannya. Sampai-sampai, ucapan Naza begitu terbata-bata. Dia sendiri tak tahu, di mana terakhir kali Leon berada.

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now