40. Hari Bersamamu

35.3K 2.7K 103
                                    

“Kamu lebih dari sekedar seseorang, kamu adalah kehidupan.”

—° ° ° —


Di balik helm full face yang menyembunyikan wajah rupawannya, Alby diam-diam tersenyum, merasakan pelukan Naza dari belakang. Dia melirik sekilas tangan Naza yang melingkar di pinggangnya.

“Pegangan yang kenceng, Za. Mas mau ngebut dikit, nih!”

Naza tak berkata apa-apa, dia hanya mengeratkan pelukannya pada pinggang Alby sampai-sampai helm keduanya saling beradu.

Jalanan panjang yang dipadukan dengan hangatnya sinar matahari pagi juga terpaan angin dari laju motornya, semuanya menjadi perpaduan asing yang baru Alby rasakan bersama Naza. Ini pertama kalinya Alby membonceng Naza untuk menyusuri jalanan Jakarta. Rasanya, dia dan Naza tengah mengulang masa muda.

Lagi-lagi, pria itu tersenyum. Kini, Alby tengah mengingat tadi malam sempat berkonsultasi dengan dokter kandungan perihal membawa ibu hamil muda di atas motor. Tadi malam, sang dokter hanya berpesan, “Asal bukan perjalanan jauh dan tetap hati-hati, semuanya akan baik-baik saja.”

Dengan bekal wejangan dari dokter, Alby berani mengajak Naza berkeliling Jakarta dengan motor. Hanya beberapa tempat di pusat kota sepertinya tidak terlalu jauh untuk Naza dan calon bayi mereka. Karena, hari ini, Alby benar-benar ingin menghabiskan waktu berdua sebelum kembali disibukkan dengan urusan pekerjaan dan si Gembul Leon.

Setelah hampir 30 menit berkendara, Alby memarkirkan motornya di basement sebuah kampus. Hal itu sanggup membuat Naza bertanya-tanya. Tadi malam, Naza memang bersandiwara menjadi mahasiswi untuk menggoda Alby, tapi tak Naza sangka Alby benar-benar mengantarkannya ke sebuah kampus.

Naza celingak-celinguk, memeriksa area parkiran yang dipenuhi motor dan mobil. Sama seperti Naza dan Alby, beberapa orang juga terlihat baru saja turun dari kendaraan mereka masing-masing. “Mas, gak salah kita ke sini?” tanyanya heran.

Alby hanya tersenyum simpul. Dia malam membantu Naza membuka pengait helm. Lalu, mengajak Naza untuk naik ke area kampus.

“Mas, ngapain kita ke sini?” bisik Naza.

“Katanya, kamu ada kelas. Kalau lama-lama di sini, kelasnya keburu mulai.”

“Hah?!”

“Jangan hah heh hoh, yuk!”

Alby mengulurkan tangannya, meminta Naza agar menggenggamnya. Meski masih kebingungan, Naza tetap menerima uluran tangan itu dan menggenggamnya dengan erat.

Dengan jemari yang saling terpaut, Alby membawa Naza untuk menyusuri koridor kampus sambil menikmati suasana kampus. Hingga akhirnya, pasangan suami-istri itu sampai di depan pintu auditorium.

“Hari ini, ada seminar sama workshop, terbuka untuk umum. Jadi, kita bisa ikutan. Katanya sih ada hiburannya juga.”

Perkataan Alby akhirnya menghilangkan tanda tanya besar di kepala Naza sejak tadi. Naza paham sekarang. “Eh, tapi Mas tahu acara ini dari mana?” tanyanya.

“Dari Reksa. Beberapa waktu yang lalu dia sempat ngajakin. Tadinya m—”

“Permisi.” Seseorang menyela ucapan Alby. Di sana, berdiri seorang gadis yang memakai almamater kampus. Gadis bergigi kelinci itu tersenyum sambil mangut. “Perkenalkan, saya Vanilla, panitia acara hari ini. Sebelum masuk ke ruangan, silakan registrasi ulang dulu di sini, Kak.”

Naza menyikut perut Alby. “Kakak, katanya Mas,” bisiknya.

“Emang masih cocok dipanggil kakak, kok. Kamu cemburu, ya?” Alby menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda Naza.

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now