15. Aroma Nasi Goreng

49.6K 4.4K 66
                                    

“Kita gak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa menciptakan kesempatan untuk masa depan.”

— ° ° ° —

Di depan meja makan, Naza malah melamun. Padahal, pagi ini dia tengah menemani Alby sarapan. Namun, tak ada satu suap nasi pun yang masuk ke mulutnya. Tangannya malah memainkan sendok dan garpu tanpa benar-benar memakan nasi goreng miliknya. Di kepala Naza masih berisi bayangan dirinya sendiri menangis tersedu-sedu dalam pelukan Alby. Jika dipikir-pikir lagi, kejadian itu sangat memalukan.

Ya, ampun Naza, ngapain sih lu nangis kaya gitu! Bodoh banget!

Naza merutuki kelakuannya sendiri. Semakin diingat malah semakin malu rasanya. Entah kenapa, malam itu emosinya begitu meledak-ledak. Sampai pagi matanya masih bengkak karena dia tertidur setelah menangis seperti orang gila. Padahal, karena hal sepele, tapi rasanya Naza ingin menangis tak henti-hentinya malam itu.

Meskipun begitu, perasaan Naza jauh lebih lega dan ada sedikit perubahan dari Alby. Pria itu mulai tak segan untuk menunjukkan perhatiannya.

“Za ... Naza ...,” ucap Alby pelan.

“Hah?!” Naza malah terperangah sambil menatap Alby yang ternyata tengah menatapnya. “Eh, k-kenapa Mas?” tanyanya.

“Makan. Keburu dingin, nanti gak enak,” ucap Alby sambil melirik piring Naza yang masih penuh dengan nasi goreng kecap dan telur mata sapi buatan Naza sendiri.

Naza ikut melirik piring miliknya. Nasi gorengnya memang sudah acak-acakan, tapi masih penuh. Dia terkekeh kecil dan segera memakan nasi goreng itu. Suap demi suap nasi goreng itu masuk ke dalam mulut Naza.

“Za ... kalau kita jual rumah ini gimana?” tanya Alby.

“Jual? Rumah ini? Kenapa? Mas gak betah tinggal di sini?” tanya Naza beruntun dengan mulut yang penuh dengan nasi goreng.

Alby menggeleng samar. “Kita bangun rumah baru,” ucapnya. Dia sengaja menggantungkan ucapannya untuk memeriksa respon Naza. Ternyata, perempuan cantik itu hanya terdiam. “Kita mulai semuanya dari awal dengan dunia yang baru. Hanya kita bertiga. Mas, kamu dan Leon,” sambungnya.

Naza meneguk air putih dahulu, kemudian dia tersenyum tipis sambil menatap Alby. “Mas ... mau kita di sini ataupun di tempat lain, gak ada bedanya. Hal yang terpenting adalah hati kita. Hati kita yang harus mulai berpindah. Meski kita pindah ke belahan dunia yang berbeda sekalipun, jika hati kita tetap tertinggal di tempat yang sama, gak ada bedanya,”.jelasnya dengan suara lembut dan penuh pengertian.

Alby hanya terdiam, mendengarkan ucapan Naza. Dia membiarkan Naza melanjutkan ucapannya yang sepertinya belum selesai.

Naza meraih tangan Alby, mengusap punggung tangan itu dengan jemarinya. “Mas, aku bukan minta kamu untuk melupakan Kak Zia sepenuhnya atau bahkan selamanya. Tapi, coba lihat aku sebagai seorang istri. Bukan sebagai adik ipar. Aku juga akan melakukan hal yang sama,” sambungnya.

Alby ikut tersenyum saat mendengar ucapan Naza. Dia langsung menautkan jemari mereka. “Kita coba pelan-pelan ya,” ucapnya.

Ya, perlahan saja, supaya mereka berdua dan semuanya terbiasa. Naza melirik jam dinding yang menggantung tak jauh dengan mereka. “Eh, Mas gak kesiangan?” tanyanya.

Alby ikut melirik jam dinding itu. Sekarang sudah jam sembilan lewat. “Eh, iya. Mas ada meeting. Ah ... kamu sih,” desahnya.

“Loh! Kok aku sih? Mas yang ngajak ngobrol,” sahut Naza.

Alby tak menimpali lagi. Dia beranjak dari kursinya sambil memasukkan suapan terakhir nasi gorengnya. Tak lupa, dia juga meneguk segelas susu yang Naza siapkan.

Naza tak tinggal diam. Dia ikut membantu Alby memakai jasnya dan membawakan tas hitam beserta kunci mobil suaminya itu. Keduanya terlihat begitu tergesa dan kerepotan. Bahkan, sendok di atas meja, tak sengaja mereka senggol hingga berjatuhan ke lantai.

Alby berjalan cepat untuk keluar rumah, meninggalkan Naza yang masih berdiri di ruang makan. “Za! Mas berangkat ya!” ucapnya dengan sedikit berteriak.

Naza terkekeh melihat Alby yang mirip anak sekolah yang kesiangan di hari Senin. Ternyata, Alby juga memiliki sisi seperti itu.

“Lucu sekali sih, Mas.” Naza bergumam pelan.

Tiba-tiba, kening Naza mengerut saat Alby kembali masuk ke rumah dan berjalan ke arahnya. “Kenapa? Ada yang ketinggalan? Kacamata? Jam tangan?” tanya Naza membabi buta.

“Ada yang mas lupakan,” ucap Alby sambil mendekati Naza.

Naza langsung memeriksa meja makan, memastikan benda apa yang Alby lupakan. Tapi, di atas meja itu tak ada satu benda pun yang Alby tinggalkan, Naza kembali menatap Alby yang kini sudah berdiri di depannya. “Mas, gak ada yang ketingga—”

Ucapan Naza terpotong saat Alby mengecup bibirnya. Awalnya, Naza sangat terkejut, tapi dia juga tidak menolak. Bahkan itu bukan sekedar kecupan, tapi lumatan lembut yang membuat Naza ikut membalasnya dengan deru napas yang menggebu-gebu.

Naza menunduk saat Alby melepaskan ciuman mereka. Sekuat tenaga perempuan cantik itu menyembunyikan wajahnya yang kini bersemu merah.

Alby tertawa, melihat Naza yang malu-malu seperti itu. “Aroma nasi goreng,” ucapnya.

Naza ikut terkekeh mendengar ucapan Alby. Jujur saja, ciuman mereka memang didominasi aroma nasi goreng kecap. Hal itu mengundang gelak tawa dari keduanya.

“Nasi gorengnya enak. Makasih,” bisik Alby.

Rasa malu Naza akhirnya tertutupi oleh tawanya sendiri. Namun, tawa itu mereda saat Alby mengecup kening Naza, kecupan hangat dengan deru napas yang memuja.

“Mas berangkat, ya. Baik-baik di rumah, tunggu mas pulang.”

Naza hanya mengangguk sambil menatap punggung Alby yang keluar rumah. Sekarang, Alby benar-benar berangkat ke kantornya. Bahkan, suara mobilnya sudah terdengar menjauh dari area rumah.

Di tempatnya, Naza masih mematung. Dia masih terkejut karena ciuman dari Alby. Memang bukan ciuman pertamanya, tapi itu menjadi pertama kalinya bersama Alby. Ada kesan yang berbeda dan bodohnya kenapa harus beraroma nasi goreng.

“Argh! Gila!”

Naza menggeram dengan wajah yang kini kembali merah padam. Tiba-tiba, dering ponsel Alby lebih dulu mengalihkan perhatian Naza. Ternyata, pria itu meninggalkan ponselnya di atas kursi.

“Yeuu ... hp-nya malah ditinggal.”

Naza ambil ponsel hitam itu. Dia baca kontak yang menelpon di sana. “Arsitek Songong?”

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now