27. Kokohnya Sebuah Rumah

44K 3.8K 137
                                    

“Saat kamu merasa dicintai, di situlah rumah.”

— ° ° ° —

Tanah lapang nan gersang, kini sudah memiliki pondasi yang kokoh. Alby tak menyangka proyek pembangunannya akan berjalan lebih cepat dari perkiraan. Padahal, pembangunan apartemen itu dimulai tiga pekan yang lalu. Kini, Alby yakin proyek ini akan selesai dalam waktu enam bulan. 

Kali ini, Alby sengaja mempekerjakan warga setempat yang ahli bidangnya, bahkan tak sedikit buruh harian yang ikut mengais nafkah. Beberapa CV setempat juga ikut kerja sama dalam hal bahan baku, katering dan laundry.  Sejak dulu, Alby memang tak pernah setengah-setengah dalam bekerja. Proyek pembangunan apartemen yang merogoh kocek hingga ratusan milyar itu benar-benar membuka lapangan pekerjaan untuk warga setempat. 

“Sejauh ini pekerjaan berjalan dengan lancar, Pak. Ormas setempat juga ikut membantu penertiban,” jelas Dayat, manajer lapangan proyek kali ini. 

“Syukur kalau begitu. Saya ingin lihat ke area lain,” ucap Alby.

“Silakan, Pak. Saya temani.”

Alby mengangguk samar. Pria yang sudah menggunakan helm dan dan rompi safety itu berjalan ke area proyek sambil menatap sepanjang penjuru tanah. Sesekali, dia tersenyum saat mendapat sapaan dari pegawai yang tak sengaja lewat. 

Hampir dua jam Alby menyusuri setiap area proyek. Dia ingin memastikan dengan langsung bagaimana semuanya berjalan dengan baik dan sesuai dengan SPO Rigelton Contractor. Kini, pria berambut legam itu duduk di sebuah ruangan yang dijadikan sebagai kantor sementara. Dia mengipas-ngipas wajahnya yang memerah kepanasan. Ternyata, Pontianak jauh lebih panas dibanding Jakarta, apalagi tanpa pendingin ruangan. 

“Loh, Pak Alby. Anda datang hari ini?” Itu Natha yang bertanya. Pria berambut gondrong itu masuk ke dalam ruangan dengan beberapa gulungan kertas yang dibawanya. 

Alby melirik sekilas. Setelah kejadian surat perceraian waktu itu, Alby dan Natha masih berhubungan baik meski sebatas pekerjaan. Beberapa kali mereka duduk canggung berdua saat rapat proyek dilakukan. Kini, Alby penasaran bagaimana perasaan Natha pada Naza. 

“Masih ada perubahan lagi dengan desainnya?” tanya Alby.

Natha menatap gulungan kertas di tangannya. “Clear. Tadi, recheck bareng insinyurnya,” sahutnya. 

Alby hanya mengangguk. Jujur, Alby tak pernah menganggap Natha sebagai saingan apalagi musuh, tapi selalu saja ada hal yang mengganjal di hatinya saat melihat Natha. “Nath—”

Belum selesai Alby menyebut nama Natha, dia lebih dulu dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. Tanpa sadar, Alby tersenyum saat mendapat panggilan telepon dari Naza. “Permisi, saya angkat telepon dulu,” pamitnya, meninggalkan Natha yang mulai sibuk dengan pekerjaannya sendiri. 

“Mas lagi ngapain, aku ganggu gak?” suara Naza terdengar dari ponsel Alby. Perempuan cantik itu sengaja melakukan panggilan video. Wajahnya terlihat berseri dan cantik. 

“Lagi istirahat, kok. Kenapa, sayang?” tanya Alby. 

“Nih, Leon nangis. Dia ‘kan lihat foto kamu, Mas. Terus nangis. Yayah, yayah, gitu katanya.”

Alby tersenyum. Dia tatap wajah istri dan putranya dari layar ponsel hitam itu. “Apa, baby … besok ayah pulang,” ucapnya. Alby antara bahagia dan gemas melihat Leon yang minta digendong dari kejauhan. Bayi mungil itu terdengar merengek sambil meronta-ronta. “Tumben, ya, Za. Biasanya, anteng aja kalo mas tinggal berhari-hari.”

Naza mengangguk. “Kangen kali, Mas.”

“Kalau bundanya kangen gak?”

Bukannya menjawab, Naza malah tersipu malu. Perempuan itu sepertinya salah tingkah, dia malah memeluk Leon yang duduk di pangkuannya.

“Eh, kalau mas tanya, jawab. Bundanya Leon kangen gak?”

Lagi-lagi, Naza tak mau menjawab. Dia malah mengerucutkan bibirnya. “M-mas udah makan belum?” tanyanya. 

Alby tertawa. “Nah, ‘kan … malah mengalihkan pembicaraan.”

“Jawab aja, ih.”

“Tadi, mas udah makan, tapi masakannya gak enak. Pengen nasi goreng buatan kamu.”

“Nanti, kalau Mas pulang, aku masakin nasi goreng.”

Alby mengangguk. Tiba-tiba, dia terdiam melihat wajah Naza di layar ponselnya. Entah sejak kapan rasa sayang di hatinya muncul. Sekarang, tak ada yang bisa Alby keluhkan lagi. Semuanya benar-benar Tuhan ganti dengan kisah yang jauh lebih indah. Istri cantik yang selalu menghormatinya. Istri yang tak pernah mengeluh saat menjaganya dan Leon. Istri yang bahkan masih bertahan saat gejolak pernikahan menerpa rumah tangga mereka. 

“Sayang, mau oleh-oleh gak?” 

“Eh, oleh-oleh? Aku bukan anak kecil lagi, Mas. Lagian, Mas tiap bulan ke sana. Cepat pulang aja,” jawab Naza sambil tertawa kecil.

Alby ikut tertawa. “Jadi oleh-olehnya mas aja, nih?” godanya. 

“Ini aku nelpon buat Leon, malah Mas yang godain aku terus. Udah ah, aku tutup, ya. Semangat kerjanya. Papay, Ayah. Eyon mau main dulu.”

Naza langsung mengakhiri panggilan itu dengan cepat. Padahal, Alby masih ingin melihat wajah istrinya yang terus tersipu. “Dasar Naza,” keluhnya gemas.

Sembari mengantongi ponsel ke dalam saku celana, Alby kembali masuk ke dalam ruangan yang ternyata sudah kembali kosong. Natha sudah tidak ada di sana, hanya beberapa gulungan kertas yang tersisa di atas meja. Jujur, terkadang, Alby masih merasa menjadi orang yang paling jahat. Dia tak tahu sebesar apa cita-cita Naza bersama Natha atau sedalam apa perasaan dua orang itu untuk hidup bersama. 

Ah, sudahlah, batin Alby bergumam. Segalanya terjadi karena dan demi sebuah alasan. Entah apa pun alasan itu, Alby yakin segalanya akan berjalan sebagaimana mestinya. 

Pria itu kembali duduk di depan meja yang tadi dia tinggalkan. Namun, pandangannya malah berakhir pada selembar kertas di atas meja. Alby kenal kertas dengan gambar rumah itu. Dia pernah melihatnya di deretan buku desain milik Natha, desain rumah yang sempat ingin Alby miliki. Alby ambil kertas itu. Dia baca pesan kecil yang tertulis di sana.

Untuk Pak Alby dan istri
~Natha

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now