10. Marmer Hitam

52.9K 4.5K 24
                                    

“Ternyata, kita masih terjebak di tempat dan duka yang sama.”

— ° ° ° —

Alby tidak langsung pulang ke rumah setelah mengantar Naza ke tempat reuninya. Dia pergi ke suatu tempat dahulu. Tempat yang hampir setiap hari Alby kunjungi. Bedanya, kini dia datang bersama Leon.

Mobil putih Alby sudah terparkir di depan sebuah pemakaman. Hari ini, Alby memang sengaja membawa Leon untuk mengunjungi Zia. Alby pikir, Zia akan bahagia jika bertemu dengan putra mereka.
Dengan berlutut di bawah payung hitam dan Leon yang berada di pangkuannya, Alby tak henti memandangi sebuah nisan hitam di depannya. Nisan itu selalu membuat hati Alby sakit. Di sana tertulis sebuah nama, Nazia Dinda. Nama itulah yang sempat Alby sebut dalam janji pernikahannya. Nama itu juga yang kini masih Alby gumamkan saat dia terjaga dan terlelap.

Zia, lirih pilu batin Alby.

Sekarang, sudah lebih dari sepuluh bulan Zia pergi. Tapi, rasanya baru tadi pagi Alby berlutut di depan Zia untuk berjanji sehidup semati. Rasanya, baru kemarin sore Alby menangisi kepergian istrinya itu. Rasanya baru kemarin malam Zia merintih kesakitan saat melahirkan Leon. Kini, yang tersisa hanyalah ini, sebuah nama yang terukir pada marmer hitam.

Meski waktu sudah berlalu, rasa sakit itu entah kenapa tak kunjung berlalu. Semakin hari, rasanya semakin dalam luka akan kepergian Zia. Sejujurnya, hampir setiap hari Alby berlutut di tempat ini. Setiap hari Alby selalu berharap saat dia datang ke tempat ini, nisan Zia tak pernah ada. Namun, setiap hari juga hati Alby hancur saat lagi dan lagi nisan Zia masih ada di sana, di tempat yang sama dengan duka yang sama.

“Zia ... mas rindu,” ucap Alby.

Dengan seperti inilah Alby mengobati rasa rindunya pada Zia, dengan berlutut di depan nisan Zia.
Ternyata, Zia sangat egois. Dia pergi tanpa membawa semua kenangannya bersama Alby. Setiap ingatan Alby bersama Zia masih terekam indah hingga sekarang. Bahkan, suara Zia masih mengalun merdu di pendengaran Alby. Alby masih ingat bagaimana senyuman Zia saat menyambutnya di pagi hari. Bagaimana rengekan Zia saat mengeluhkan kesibukan Alby dan bagaimana Zia memanggil namanya.

“Mas ... kalau putra kita lahir, kita beri nama Leon, ya. Kata Bapak, nama adalah doa. Aku mau Leon menjadi doa untuk dia.”

Begitu ucapan Zia saat memilihkan nama untuk putra mereka. Zia selalu percaya bahwa nama Leon bermakna bahagia dan sempurna. Dia ingin Leon juga menjadi pribadi yang selalu bahagia dan menjadi sempurna untuk dirinya dan orang lain nantinya.

“Zi ... Leon tumbuh dengan baik. Sekarang, dia sudah bisa merangkak. Dia juga mulai belajar memanggil mas dengan panggilan Ayah, meski belum jelas.” Alby antara tersenyum dan menangis menjadi satu. Senyumannya terkesan begitu kecut. Tak ada lengkungan indah dari kedua matanya. Hanya ada sorot mata yang begitu sendu dari bola mata yang legam itu. “Zi ... hari ini, Mas bawa Leon. Kamu bahagia, ‘kan?” tanyanya.

Jujur, mata Alby sudah memanas sekarang. Buliran air matanya sudah sedari tadi berjatuhan. Namun, tangan Leon yang tak henti memainkan hidung Alby, membuat pria itu tertawa dalam tangisannya.
“Kamu lihat ‘kan, Zi? Leon sama sepertimu. Jahil dan nakal.”

Leon kecil yang masih tak mengerti apa-apa hanya terus bermain dengan wajah ayahnya. Kadang, dia memukul bibir Alby yang tak henti berbicara sendiri. Tak jarang, bayi kecil itu juga menarik-narik gagang payung yang menjadi peneduh keduanya. Namun, Alby tetap setia memandangi tempat peristirahatan sang mendiang istri tercinta.

“Zi, sekarang Naza jadi bundanya Leon, persis seperti keinginan kamu. Naza memang tak sama seperti kamu, tapi Naza sangat baik. Dia sayang Leon juga menghormati mas.”

Diusapnya nisan hitam itu dengan hati yang hancur. Air mata Alby kembali jatuh tanpa dia sadari. Untuk kesekian kalinya, Zia benar-benar egois. Sekarang, Zia malah membawa Alby pada hubungan yang sama sekali Alby tak mengerti. Alby sendiri tak tahu, haruskah dia berhenti atau berusaha untuk berjuang. Dia tak mampu untuk melepaskan Naza. Di sisi lain, dia pun tak bisa memberikan sepenuh hatinya untuk Naza.

“Zi ... apa kamu marah kalau mas juga menyayangi Naza? Apa kamu juga marah kalau mas mengganti foto kamu dengan foto Naza?”

Seakan menjawab pertanyaan itu, dering ponsel Alby berbunyi dan langsung membuyarkan lamunannya. Ternyata, Naza yang menelepon. Alby segera menerima panggilan itu.

“Halo Za, kenapa?”

Terdengar isakan halus dari seberang telepon itu. Napas Naza terdengar begitu memburu dari sana. Perempuan itu sepertinya tengah menahan tangisannya. Alby segera beranjak dari makam Zia dan berjalan menuju mobilnya dengan Leon di pangkuannya.

“Kenapa, Za?” 

“Mas ... maaf ... bisa jemput aku gak?”

Dengan berbagai macam pertanyaan yang berputar di kepalanya, Alby bersama Leon kembali menyusuri jalanan, meninggalkan Zia dan kerinduannya di sana.

Jalanan yang sudah sering Alby lewati entah kenapa terasa lebih jauh dan menguras waktu. Alby khawatir sekaligus menerka kenapa Naza bisa menangis dan meminta untuk dijemput. Padahal, sebelum pamit, Naza minta dijemput sore nanti.

Sesampainya Alby di tempat reuni Naza, Alby sama sekali tak mengerti saat mendapati istrinya duduk di pinggiran hotel. Perempuan cantik itu terlihat sudah lelah dengan tangisannya. Matanya sembab dengan hidung yang sepenuhnya memerah.

“Za,” panggil Alby pelan.

Naza mendongak, menatap sang suami dan Leon yang kini sudah berada di hadapannya. Pupil cokelat Naza bergetar, Naza ingin mengadu pada Alby, Naza ingin mengeluh pada Alby, Naza juga ingin menceritakan kesedihannya pada Alby. Namun, apa Alby mau mendengarkan keluh kesah Naza? Apa Alby mau memberikan bahunya untuk Naza tangisi? Apa Alby mau meyakinkan saat Naza bimbang?

Lagi-lagi, Naza merasa tak memiliki hak untuk itu. Dia urung untuk bercerita. Dia malah mengatupkan bibirnya dengan sempurna.

Begitupun dengan Alby, dia ragu untuk bertanya. Padahal, di ujung lidahnya sudah terangkai sebuah pertanyaan

Za, kenapa nangis?

Alby ingin mendengar cerita Naza. Alby juga tak enggan jika Naza ingin menyandarkan tangisannya. Namun, Alby paham. Semakin banyak orang mempertanyakan alasan dari sebuah tangisan, semakin pedih rasanya tangisan itu terasa.

Pada akhirnya, mereka berdua berlabuh pada sebuah persimpangan rasa canggung yang tak bisa mereka utarakan.

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang