25. Hukum Dunia

51.3K 3.9K 89
                                    

“Hukum dunia; kita yang menjalani, mereka yang menghakimi.”

— ° ° ° —

Alby mengerutkan keningnya saat melihat Naza sibuk mengemasi pakaian. Alby tak mengerti apa yang Naza lakukan, perempuan itu juga terlihat memasukkan beberapa pakaian Leon ke dalam koper berukuran kecil.

“Za,” panggil Alby ragu.

Naza menoleh. Seperti biasanya, senyuman Naza selalu menyambut Alby dengan hangat. “Mas, tadi pagi Ibu nelpon. Dia kurang enak badan dan minta aku ke sana. Aku mau menginap di sana beberapa hari, boleh?” tanyanya.

Alby tak menjawab. Seakan bertanya, Alby malah melirik beberapa pakaian Leon yang belum Naza masukkan ke dalam koper kecil itu.

“Oh iya, aku juga mau ajak Leon. Ibu mau ketemu Leon.” Naza beranjak dan segera mendekati Alby yang masih mematung di tempatnya. “Tapi, kalau tanpa izin Mas, aku gak akan pergi,” sambungnya.

“Kenapa gak ajak Mas juga?” tanya Alby.

Naza tersenyum. “Bukannya Mas ada kerjaan di luar kota?”

Setahu Naza, Alby tengah sibuk dengan proyek pembangunan apartemen yang dia garap bersama Natha beberapa waktu yang lalu. Kebetulan, lokasi pembangunannya ada di Kalimantan. Jadi, tak heran jika di beberapa kesempatan, Alby akan bolak-balik Kalimantan-Jakarta untuk memastikan proyeknya berjalan dengan lancar. Pekan ini adalah waktunya bagi Alby untuk pergi ke pulau seribu sungai itu.

“Jadi, selama Mas di Kalimantan, aku mau di rumah Ibu dulu. Paling dua hari aku di sana, soalnya gak enak juga kalau ninggalin Jimmy sendirian di sini,” jelas Naza.

Alby hanya mengangguk. Setelah kejadian malam itu, tak ada yang berubah dari Naza. Perempuan cantik itu masih menjadi istri yang patuh dan menghormati Alby. Jika boleh jujur, bukan Alby tak jatuh hati pada Naza, tapi entah kenapa bayangan Zia selalu mengikutinya. Zia seolah mengingatkan Alby bahwa betapa pedihnya kehilangan. Alby tak mau rasa pedih itu dia rasakan untuk kedua kalinya. Karena, tak hanya Naza, Alby pun punya cita-cita indah untuk keluarga kecilnya bersama Naza. Dia mau hanya kebahagiaan dan kebahagiaan yang mereka bertiga rasakan tanpa mengkhawatirkan perpisahan atau kehilangan.

“Loh! Mbak Naza! Mau ke mana?”

Itu Jimmy yang bertanya. Pemuda tinggi menjulang itu panjang umur. Baru saja Naza menyebut namanya, orangnya langsung nongol. Pagi ini, Jimmy sibuk mengasuh Leon. Buktinya, bayi gembul itu masih ada di pangkuannya. Namun, Jimmy ikut heran melihat koper kecil Naza. Dia berjalan mendekati pasutri di depannya. “Kalian mau pergi?” tanyanya.

“Mbak kamu dan Leon mau nginap di Serang beberapa hari dan untuk satu pekan ke depan, Mas juga mau ke Pontianak dulu,” jawab Alby.

Jimmy langsung melebarkan senyumannya. Jika Naza dan Alby pergi, itu artinya selama beberapa hari rumah ini akan menjadi miliknya seorang.
“Nanti, Mas minta Reksa buat nginep di sini,” sambung Alby.

Senyuman Jimmy langsung memudar. Reksa sebenarnya bisa menjadi teman yang asyik untuk Jimmy. Tapi, satu hal yang menjadi kekurangan Reksa, Reksa itu galak. Entah sudah berapa kali Jimmy mendapat ceramah panjang lebar dari Reksa. “Bang Harsa aja yang disuruh ke sini, Mas!” tawar Jimmy.

“Kalau Harsa yang ke sini, yang ada dia bawa gengnya!” Alby menggeleng, menolak permintaan Jimmy mentah-mentah.

Jimmy mencebik. Dia malah menyodorkan Leon pada Naza. “Mbak, nih. Si Eyon kayaknya poop, deh. Bau banget!”

Bukannya mengambil alih Leon, Naza malah cekikikan melihat bayi gembul itu. Putranya itu tengah asyik menggigit dot aneh berbentuk bibir dan gigi yang besar.

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now