24. Syarat Kebahagiaan

52.8K 4K 73
                                    

“Kita selalu punya alasan untuk bertahan.”

— ° ° ° —

Alby membeku saat melihat wajah Zia. Dia mengedip beberapa kali untuk memastikan bahwa memang wajah Zia lah yang ada pelupuk matanya saat ini.

Alby tersenyum bahagia saat begitu nyata senyuman Zia di depan matanya. Kerinduannya kian membuncah kala menyadari bagaimana kedua mata Zia ikut tersenyum bersamaan dengan lengkungan indah dari bibir tipisnya. Dia ciumi wajah itu dengan penuh kerinduan.

“Zia,” bisiknya pelan.

“A-aku Naza, Mas.”

Ucapan Naza membuat Alby tersentak kaget. Dia sadar. Ternyata, perempuan yang kini dalam dekapannya adalah Naza. Pelukannya terlepas begitu saja. Pria itu langsung menjauhkan dirinya dari Naza. Padahal, malam ini Alby ingin memberikan seluruh hati dan raganya untuk Naza. Namun, lagi dan lagi, bayangan wajah Zia membuatnya kembali mundur dan kembali menciptakan dinding tebal antara dia dan Naza.

Alby menunduk. Jujur saja, terbesit perasaan bersalah di hatinya saat ini. Entah rasa bersalah pada siapa? Pada Zia ataukah pada Naza. Bagaimana dia bercumbu dengan Naza di depan foto Zia. Atau bagaimana bisa dia membayangkan wajah Zia saat bersama Naza.

Naza tersenyum tipis. “Kita gak perlu buru-buru,” ucapnya.

Perempuan cantik itu bangkit dari tidurnya. Dia berjalan ke balkon kamar. Ditatapnya hamparan lampu-lampu rumah dan gemerlap lampu jalanan di bawah sana. Jika dilihat dari atas, mereka seperti kerlap-kerlip bintang di atas langit. Terpaan angin malam yang menerbangkan rambut Naza, membuat perempuan cantik itu tersenyum tipis.

Alby tak tinggal diam, dia segera mendekati Naza dan berdiri di samping istrinya itu. Ikut larut menatap setiap hal yang disuguhkan horizon saat ini, diam-diam Alby melirik Naza.

“Za ... maaf,” ucapnya.

Tak ada respon dari Naza. Perempuan cantik itu malah memainkan jemarinya sendiri. Sesekali memutar cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya.

“Naza, mas mau memiliki kamu seutuhnya. Mas mau kamu selalu ada di samping Mas dan Leon. Tapi, nyatanya malah Mas sendiri yang belum bisa memberikan segala hal yang Mas punya buat kamu,” ucap Alby.

Naza menoleh, memandang wajah Alby yang kini tengah memandangnya. “Mas ... aku punya banyak hal indah yang ingin aku lakukan sama kamu dan Leon.” Naza terdiam sejenak. Dia mengingat kembali bagaimana Alby memanggilnya dengan nama Zia.

Kecewa? Iya. Naza kecewa pada dirinya sendiri. Ternyata, mencintai Alby sesakit ini.

“Mas, awalnya, aku memang terpaksa dengan pernikahan ini. Awalnya, memang karena sebuah wasiat aku bertahan di sini. Tapi ... saat kita berdua mengikrarkan janji sehidup semati di hadapan Tuhan, aku selalu merasa bahwa aku sudah jadi milik kamu, Mas. Aku pikir, kita akan berbagi setiap hal yang kita miliki berdua. Persis seperti janji pernikahan yang kita ikrarkan.”

Naza tersenyum perih saat menatap kedua mata legam Alby. Dia menghirup udaranya begitu dalam. Namun, Alby malah menggenggam tangan Naza.

“Tapi, Mas ... saat malam itu kamu memberikan sebuah surat perceraian. Aku kecewa. Aku merasa dibuang. Aku merasa, apa pun yang aku lakukan untuk pernikahan ini gak berguna sama sekali, janji yang kita ikrarkan berdua hanyalah omong kosong,” ucap Naza dengan dada yang semakin sesak. Malam ini, Naza benar-benar tak bisa memendam perasaannya lagi. Setiap hal yang selama ini dia pendam, keluar begitu saja dari bibirnya.

“Maaf, Mas bertindak bodoh dan terburu-buru,” sahut Alby.

Naza mengeratkan genggaman mereka. “Tolong, jangan minta maaf. Aku ngerti, Mas. Kita sama-sama bingung dengan perasaan kita sendiri. Kita masih bingung dengan hubungan kita. Kadang, aku juga bingung bagaimana untuk memulai hariku bersama Leon dan kamu atau bagaimana aku harus bertindak di depan kamu, Mas ... lucu sih, bahkan tak jarang aku juga bingung harus memakai baju apa saat kamu ada di rumah.” Naza tertawa kecil di sela ucapannya.

“Za, kamu tahu kenapa Mas buat surat perceraian itu?” 

Naza hanya diam. Dia menunggu Alby menjawab pertanyaannya sendiri.

“Karena Mas ingin tahu perasaan kamu yang sebenarnya. Saat Mas tahu bahwa kamu masih memiliki hubungan dengan Natha, Mas merasa menjadi orang paling jahat di dunia ini. Mas merasa menjadi pihak yang merebut kehidupan kamu, kebahagiaan kamu bersama Natha,” jelas Alby.

“Makanya, malam itu Mas bertanya padaku, aku ingin bersama Natha atau tetap di sini bersama Mas dan Leon?” tanya Naza.

Alby mengangguk. “Iya. Mas ingin tahu, bagi kamu posisi mas ada di mana.”

Naza mengulum sebuah senyuman. “Nyatanya, sekarang aku masih di sini … sama kamu dan Leon,” ucapnya.

Alby tersenyum tipis. Dia mencium punggung tangan Naza. “Terima kasih karena kamu tetap di sini,” ucapnya.

“Mas, boleh aja kamu percaya pada cinta tak bersyarat, cinta yang gak memerlukan sebuah alasan untuk mencinta. Tapi bagiku, aku tetap harus memiliki alasan itu. Entah karena sebuah wasiat ataupun karena sebuah takdir. Segala hal ada karena sebuah alasan. Bahkan, kita sekarang tidur di kamar yang sama berbagi satu ranjang yang sama, karena sebuah alasan.” Naza kembali menumpahkan seluruh curahan hatinya pada Alby.

Alby tertegun. Dia menyadari betapa jauhnya perbedaan antara Naza dan Zia. Naza benar, jika bukan karena Jimmy yang menjadi alasan, dia dan Naza tak mungkin berada di kamar ini dan berbagi ranjang yang sama seperti sekarang.

Kini, Naza menggenggam tangan Alby dengan kedua tangannya. Diusapnya tangan kekar itu dengan penuh perasaan. “Aku juga ngerti ... saat Mas salah memanggilku dengan nama Kak Zia. Aku paham. Aku pernah bilang, aku gak pernah bisa menggantikan posisi Kak Zia dan Mas pun gak perlu melupakan Kak Zia untuk nerima aku. Tapi, jika mungkin, beri aku sedikit tempat di hati kamu. Supaya aku gak merasa berjuang sendirian,”ucapnya.

Lagi dan lagi Alby hanya terdiam. Dia makin tertegun, meski mata dan telinganya masih tertuju pada Naza.

“Dan Mas ... soal aku dan Natha ... kalau Mas merasa telah merebut kebahagiaanku karena pernikahan ini. Kenapa Mas gak berpikir untuk membuatku bahagia bersama pernikahan ini?”

Seakan terkena hunusan pedang. Pertanyaan Naza benar-benar menusuk hati Alby. Alby merasa bodoh dan egois, Alby tak pernah berpikir ke sana. Dia malah akan melepaskan Naza setelah semua hal yang mereka lewati dalam pernikahan ini.

Alby tahu betul bagaimana orang-orang memandang Naza. Dia tak menutup mata saat cemooh orang-orang menghujani hubungan mereka berdua. Alby juga tak tuli untuk mendengar orang-orang mengomentari pernikahan turun ranjang mereka sebagai hal yang aneh dan tabu.

Bahkan, tak sedikit orang-orang yang memandang Naza dan Alby sebagai dua manusia tak berperasaan saat mereka menikah kala tanah merah Zia belum kering. Namun, sampai sekarang Naza tetap bertahan. Dia selalu berpegang teguh pada janji pernikahan mereka, meski begitu sulit mempertahankan hubungan mereka.

Sampai malam ini, Alby baru menyadari hal itu. Dia tertegun. Dia larut memikirkan hal demi hal tentang Naza.

“Dan sekarang, aku terlanjur menjatuhkan hatiku pada kamu, Mas. Aku ingin kebahagiaan itu muncul dari kamu dan pernikahan ini,” final Naza.

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now