23. Tamu (Tak) Diundang

57.2K 4.3K 117
                                    

Pagi tiba, Naza bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tenggelam dalam balutan selimut tebal di kamarnya sendiri. Naza pikir, Alby masuk ke kamarnya hanya bagian dari bunga tidur. Ternyata, perasaan berdebar itu Naza rasakan begitu nyata. Setiap kata yang Alby ucapkan masih terngiang di telinganya. Wajahnya kembali bersemu merah Dia kembali masuk ke dalam balutan selimut tebalnya, menyembunyikan wajahnya yang tersipu.

Di balik selimut itu, Naza menendang-nendang kakinya sendiri. Bahkan dia mengerang tanpa suara. Entah apa yang dia lakukan di dalam selimut itu. Jika dilihat dari luar, terlihat bagaimana buntelan putih itu terus bergerak dan menggeliat seperti ulat daun pisang yang sedang kasmaran.

“Aw!”

Kepala Naza terbentur pada sandaran ranjang. Dia meringis dan langsung keluar dari balutan selimutnya. Sambil mengusap-usap kepalanya yang terasa gatal karena benturan itu, Naza tertawa pelan. Dia pandangi seisi kamarnya. Ternyata, kekacauan yang dibuatnya tadi malam sudah berakhir. Kamarnya sudah kembali rapi, koper hitamnya sudah tak ada, dan setiap pakaiannya sudah kembali masuk ke dalam lemari pakaian. Naza yakin, Alby yang merapikan semuanya.

Setelah mengumpulkan seluruh nyawa dan kewarasannya, Naza beranjak untuk beralih ke kamar Leon. Namun, ruangan yang didominasi warna biru muda itu kosong, Leon tak ada di sana.
Naza langsung melirik jam dinding. Harusnya, jam sembilan pagi Leon belum bangun. Bayi berusia satu tahun itu akan menangis minta susu atau meminta popoknya diganti setelah Alby berangkat kerja. Naza melirik kamar Alby yang kini pintunya terbuka lebar. Ternyata, kamar Alby pun kosong. Padahal, sekarang akhir pekan.

“Kemana mereka?” tanyanya.

Pertanyaan Naza langsung dijawab oleh suara gaduh dari lantai bawah. Suara piring beradu dan spatula yang bersentuhan dengan wajan di bawah sana mendominasi pendengaran Naza.

“Bi Yanti udah datang sepagi ini?” Naza kembali bermonolog, menerka jika saja itu suara Bi Yanti yang sudah sibuk memasak di dapur.

Naza berjalan cepat menuju area dapur. Bukannya Bi Yanti, tapi malah punggung Alby yang menyambut Naza. Pria itu sepertinya sangat serius dengan kegiatannya pagi ini. Naza lebih terkejut saat melihat Alby juga tengah menggendong Leon di depan dadanya. Pria itu bahkan menggunakan gendongan bayi berwarna biru agar Leon bisa nyaman saat dia sibuk dengan pekerjaannya.

“Mas .…”

Alby tersenyum. Dia mendekati Naza dan membawa perempuan yang masih berwajah bantal itu untuk duduk di depan meja makan.

“Selamat pagi,” ucap Alby. Setelah mengecup pucuk kepala Naza, pria itu segera menghidangkan beberapa masakannya untuk Naza.

Masakan Alby memang sederhana. Hanya segelas susu dan beberapa potong sandwich tuna, tapi ini pertama kalinya Alby memasak untuk orang lain. Selama ini, dia yang selalu menerima masakan orang lain. Saat sendirian pun, Alby lebih memilih memesan makanan cepat saji daripada memasak sendiri.

Jadi, kesederhanaan ini cukup spesial, bukan?

Naza hanya terdiam, memperhatikan bagaimana Alby begitu telaten menghidangkan masakannya. Setelah itu, Alby mendudukkan Leon di kursi mungilnya dan memberikan bayi gembul itu sebotol susu formula.

Naza sadar, Alby begitu berbeda saat ini. Sekarang, Naza semakin yakin, malam tadi Alby benar-benar masuk ke kamarnya dan semua perkataannya memang nyata.

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang