22. Hati Manusia

51.5K 4.3K 29
                                    

“Kadang, kita membohongi diri sendiri untuk tidak terluka.”

— ° ° ° —

Tertegun di kamarnya sendirian, Alby baca sekali lagi surat perceraiannya bersama Naza. Surat itu memang dia buat sendiri. Entah di mana akal sehat Alby saat membuat surat itu. Setiap kata yang tercetak dalam selembar kertas itu begitu mengerikan. Tak pernah sekalipun terbayang dalam benaknya, Alby akan menyandingkan namanya dan nama Naza dalam surat perceraian seperti itu. Padahal, Alby sendiri tak rela jika Naza kembali pada Natha. Dia juga tak mau jika Naza meninggalkannya dan Leon.

Munafik? Memang. Alby sangat munafik saat dia berkata bahwa dia rela jika Naza kembali pada Natha. Dia bohong saat bilang, dia tulus untuk melepaskan Naza dan pernikahan mereka.

Alby memang butuh waktu untuk mengenal perasaannya sendiri. Tanpa sadar, dia sudah terbiasa dengan keberadaan Naza di sampingnya. Dia sudah terbiasa dengan senyuman Naza yang selalu menyambut paginya. Di sisi lain, Alby pun ingin tahu hati Naza yang sebenarnya dan bagaimana perasaan perempuan cantik itu pada Alby Jujur, Alby tak mau jika Naza bersamanya karena sebuah wasiat, apalagi keterpaksaan. Alby ingin Naza bersamanya karena hati Naza yang memilih Alby.

Alby masih ingat dengan betul perkataan Zia beberapa tahun yang lalu. Saat Alby bertanya alasan Zia mau menikah dengannya, saat itu Zia malah menjawab begini, “By ... kalau kita mencintai karena sebuah alasan, cinta itu bisa saja hilang saat alasan itu tak kita miliki lagi.”

Begitu ucapan Zia dan sampai sekarang Alby masih mengingatnya dengan sempurna. Bahkan, Alby masih mengingat bagaimana senyuman Zia kala itu. Alby masih mengingat bagaimana Zia berakhir dengan kekehan saat rambut panjangnya tak sengaja terbang dan menutupi wajah Alby.

Namun, sekarang Alby sadar. Mau sampai kapan Alby mencari sosok Zia pada figur Naza. Naza akan tetap menjadi Naza, tak mungkin menjadi Zia. Keduanya punya keindahan masing-masing.
Alby menghela napasnya begitu berat. Tangannya menjangkau sebuah laci tepat di samping ranjangnya. Setelah menyimpan surat perceraian itu, pria berambut hitam itu berjalan dari kamarnya. Langkah jenjangnya membawa Alby menuju kamar Naza. Dia buka pintu kamar itu dengan penuh kehati-hatian.

Sekarang, memang sudah sangat larut dan Naza sudah tertidur pulas di atas ranjangnya. Alby dekati istrinya itu. Sambil mendudukkan dirinya di tepian ranjang Naza, Alby tak henti menatap wajah tertidur Naza. Dia tersenyum kecut saat menyadari kedua kelopak mata yang tertutup rapat itu, masih terlihat sembab karena tangisannya. Namun, hidung Naza yang masih memerah itu, membuat Alby terkekeh tanpa suara.

Satu hal yang Alby sadari saat ini. Setelah menangis, Naza akan langsung tertidur pulas. Naza selalu kelelahan karena tangisannya sendiri. Perempuan cantik itu seakan menumpahkan seluruh hati dan perasaannya pada tangisan itu.

“Maaf…,” bisik Alby.

Dia usap wajah Naza dengan lembut. “Za ... mas sayang kamu.”

Alby membungkukkan badannya, dikecupnya kening Naza begitu dalam. Alby menutup matanya, berharap perasaannya akan sampai pada Naza. Deru napas Naza hingga terasa berhembus ke leher Alby. Hal itu memberikan perasaan yang begitu hangat baginya. Untuk kesekian kalinya, jantung Alby berdebar hebat saat jarak antara dia dan Naza begitu dekat.

Alby kembali mengangkat tubuhnya sendiri untuk kembali duduk dan membenarkan selimut Naza yang tersingkap. Dia tarik selimut tebal itu hingga menutupi seluruh tubuh Naza. Alby tersenyum, melihat bagaimana tubuh Naza tenggelam dalam balutan selimut hingga hanya kepalanya saja yang terlihat.

“Za ... sekarang, Mas gak peduli dengan alasan yang kamu memilih untuk bertahan dalam pernikahan kita. Tapi, kali ini Mas mau egois.” Alby sengaja menjeda ucapannya. Dia melirik foto pernikahannya bersama Naza yang terpajang apik di nakas samping ranjang Naza. Meski tak Alby sadari, ternyata Naza menyimpan foto pernikahan mereka dalam sebuah figura yang begitu cantik. Dalam foto itu, tak ada senyuman dari Alby ataupun Naza. Bahkan, mereka berdua berdiri dengan canggung dan kaku.

“Meski awalnya kita sama-sama terpaksa untuk menjalin hubungan ini, tapi sekarang tolong paksakan lagi agar kamu tetap berada di sini, bersama Mas dan Leon. Entah karena sebuah wasiat atau karena perasaan kamu sendiri, Za ....”

Alby kembali menatap Naza yang begitu damai dalam tidurnya. Dia tersenyum tipis melihat wajah cantik itu. “Mas  benar-benar mau egois, Za. Mas mau, kamu jadi milik Mas seutuhnya. Tak peduli jika alasan yang kamu miliki sudah hilang. Mas yang akan menciptakan alasan baru agar kamu tetap tinggal di sini bersama pernikahan ini,” ucapnya.
Alby mencuri sebuah kecupan dari Naza. Kali ini bibir mereka bertemu dengan semu merah muda yang menghiasi wajah Alby.

“Mas sayang kamu, Naza,” ucap Alby.

Alby beranjak dari duduknya. Setelah mematikan lampu di kamar Naza, dia kembali berjalan keluar dan menutup pintu kamar itu dengan rapat. Dia kembali melangkah menuju kamarnya sendiri. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan bagi Alby dan Naza. Terutama untuk hati mereka.

Masih di dalam kamar Naza. Setelah mendengar suara langkah Alby benar-benar menjauh, dalam kegelapan kamarnya, kedua mata sembab Naza kembali terbuka. Debar jantungnya tak bisa dia sembunyikan. Dia remat selimut yang menutupi tubuhnya. Wajah Naza ikut tersipu.

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang