06. Tangisan Malam

63.9K 5K 30
                                    

“Bahkan, kita belum sempat berbagi senyuman.”

— ° ° ° —

Alby terbangun karena mendengar tangisan Leon yang begitu nyaring di tengah malam. Sambil mengumpulkan nyawa, Alby berjalan cepat menuju kamar putranya itu. Seakan melayang, kaki jenjangnya begitu lebar mengambil setiap langkahnya. Pria itu juga tak memedulikan baju dan rambutnya yang berantakan. Sebagian rambutnya terangkat ke atas, celana boxer-nya tersingkap hingga memperlihat sebagian dari pahanya yang putih dan sedikit berbulu. Jangan lupakan tentang wajah bantalnya yang terkesan lucu dan menggemaskan mirip bocah kecil.

Namun, sesampainya Alby di kamar Leon, dia langsung disuguhi punggung kecil Naza. Ternyata, Naza sudah lebih dulu mendengar tangisan Leon dan kini perempuan cantik itu tengah menimang-nimang Leon di pangkuannya. Alby terdiam sejenak, memandangi bagaimana figur indah yang terlihat begitu khawatir.

“Kenapa, Za?” tanya Alby.

Dengan Leon yang masih nangis di pangkuannya, Naza menoleh. Wajah Naza terlihat begitu lelah dengan kantung mata yang menghiasi mata indahnya. “Mas ... Leon demam,” ucapnya.

Alby tak tinggal diam, dia segera mendekati Naza. Tangannya bergerak untuk menyentuh kening bayi mungil itu. Alby meringis saat memeriksa suhu tubuh Leon yang ternyata cukup tinggi. “Kok bisa demam gini? Masuk angin atau gimana?” tanyanya.

“Kayaknya efek imunisasi,” sahut Naza.

Setahu Naza, biasanya bayi akan demam setelah diimunisasi dan Leon baru tadi siang diimunisasi. Tak heran, jika bayi mungil itu kini mengalami demam tinggi dan rewel. Sebetulnya, sudah sejak tadi sore Leon mulai rewel. Bayi mungil itu bahkan tak lepas dari pangkuan Naza. Puncaknya sekarang, Leon tak henti menangis dan menolak untuk diberi susu.

Jujur saja, Alby khawatir saat tangisan Leon yang tak kunjung mereda. Perlahan, Alby mengulurkan tangannya untuk mengambil alih Leon dari pangkuan Naza.

“Jagoan ayah,” ucap Alby. Dia mencoba untuk menenangkan bayi mungil itu. Namun, tangisan Leon malah makin menjadi. “Udah dikasih obat belum? Tadi, Dokter ngasih obatnya ‘kan?” tanyanya.

“Belum, Mas. Dari tadi siang Leon gak mau makan. Aku gak berani buat ngasih obat.”

“Kalau susunya diminum?”

“Kalau susu, dia masih mau.”

Sama halnya dengan Alby, Naza pun masih terlihat begitu kalut dengan kondisi Leon. Kening Naza makin mengerut melukiskan kekhawatirannya. Naza juga tak henti mengusap punggung Leon yang kini meronta-ronta dalam pangkuan Alby.

Sebenarnya, Alby sendiri tak tahu harus berbuat apa di saat seperti ini. Leon memang pernah demam juga setelah imunisasi sebelumnya, tapi tidak separah ini.

“Za, tolong ambil ponsel Mas di kamar. Telpon Dokter Doni. Tanyain ke dia, bayi boleh minum paracetamol sebelum makan gak? Terus tanya juga, kalau diganti dengan susu formula bisa gak?”

Naza mengangguk. Dia bergegas untuk berlari ke kamar Alby dan mencari ponsel yang seingat Naza memiliki case hitam. Namun, benda pipih itu luput dari penglihatan Naza. Dia berjalan ke sudut lain di kamar itu. Dia buka beberapa laci di sana. Bahkan, perempuan cantik itu sampai berjongkok untuk mencari ponsel yang mungkin saja terjatuh ke lantai. Setelah beberapa saat Naza mencari, akhirnya ponsel Alby ditemukan tergeletak di atas kasur dan tertutup selimut tebal.

Entah kenapa, Naza malah tertegun saat melihat wallpaper ponsel itu masih menggunakan foto Alby bersama Zia saat mereka bulan madu beberapa tahun yang lalu. Tanpa sadar, genggaman tangan Naza makin erat pada ponsel itu.

Bolehkah aku cemburu?

Rasanya, Naza tak memiliki hak untuk itu. Harusnya hatinya tidak boleh bergemuruh saat melihat potret Alby dan kakaknya. Bagaimana mungkin Naza cemburu pada mendiang kakaknya sendiri. Tapi, semakin ditahan, kenapa malah makin sakit. Alby kini suaminya, tapi hati pria itu tetap milik Zia.

“Za! Ketemu gak ponselnya?”

Teriakan dari Alby membuyarkan lamunan Naza. Dia kembali berlari ke kamar Leon dengan ponsel Alby di tangannya.

“Cari kontak Doni Dokter.” ucap Alby.

Naza paham. Dia begitu gencar menghubungi kontak yang Alby maksud. Untungnya, Dokter Doni selalu siaga 24 jam. Tengah malam, dokter itu masih menerima panggilan dari pasiennya. Hal itu cukup Alby dan Naza syukuri.

Hampir setengah jam Naza dan Alby berkonsultasi pada sang dokter muda itu. Ternyata, jenis obat yang diberikan untuk Leon bisa diminum meski belum makan. Tanpa pikir panjang lagi Alby dan Naza segera memberikan obat pereda nyeri dan demam untuk Leon.

Hingga tak terasa, sekarang sudah dini hari. Setelah Naza dan Alby bergantian menggendong Leon, akhirnya bayi mungil itu bisa kembali tertidur dengan nyenyak di tempat tidurnya. Demamnya juga mulai mereda. Berbeda dengan Alby yang tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, pria itu tak henti memandangi putranya. Jika dilihat-lihat lagi, ternyata Zia hampir memberikan seluruh wajahnya untuk Leon. Bayi mungil itu begitu mirip dengan mendiang ibunya. Bentuk matanya, hidung, juga bibirnya. Senyuman bahagia kembali terbit dari wajah Alby. Setidaknya kerinduannya pada Zia akan sedikit terobati saat melihat Leon.

Tiba-tiba, pikiran Alby kembali teralih pada Naza. Dia hampir melupakan Naza yang begitu kelelahan sejak tadi. “Za ... kalau kamu mau tidur lagi, tidur aja, gih. Biar mas yang jaga Leon,” ucap Alby tanpa melepas pandangannya dari Leon. Tapi, tak ada jawaban dari Naza.

Alby menoleh. “Za—”

Dia langsung mengatupkan bibirnya saat mendapati Naza yang tertidur di sofa. Perempuan cantik itu sepertinya tak sengaja tertidur. Tangannya masih menggenggam botol susu Leon dengan kepala yang bersandar bantalan sofa. Alby yakin Naza akan kesakitan dengan posisi tidur seperti itu.

Alby mulai mendekati Naza. Dia tak tega untuk membangunkan Naza yang begitu damai dalam tidurnya. Dengan sedikit keraguan, Alby mengangkat tubuh Naza. Dia terkejut saat merasakan tubuh Naza begitu ringan dalam pangkuannya. Alby terdiam beberapa saat, ini pertama kalinya Alby menyentuh Naza. Terbesit perasaan aneh dalam hatinya. Apalagi, saat Naza menyandarkan kepalanya ke dada Alby. Ada getaran asing yang Alby rasakan.
Alby pandangi wajah Naza. Kelopak mata yang tadi begitu lelah itu, kini tertutup. Bibir Naza yang selalu Alby lihat merona itu, kini sudah terlihat pucat tanpa riasan.

“Maaf,” bisik Alby pelan. Alby tak tahu selelah apa Naza saat menjaga Leon.

Bersama Naza yang tertidur di pangkuannya, perlahan Alby masuk ke kamar Naza untuk menidurkan perempuan itu. Alby begitu hati-hati menurunkan Naza. Dia tarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya. Dia pandangi sebentar wajah Naza yang tenggelam dalam tidurnya.

Demi Tuhan, Alby bingung dengan perasaan dan hubungannya bersama Naza. Kini Naza adalah istrinya. Bukan hanya nafkah materi yang harus Alby penuhi, nafkah batin pun harus dia berikan. Namun, setiap kali Alby ingin menyentuh Naza, dia merasa telah mengkhianati Zia. Setiap kali Alby ingin membuka hatinya untuk Naza, lagi-lagi bayangan wajah Zia membuatnya kembali berpikir dua kali. Dulu, Zia memang sering menceritakan tentang Naza. Perempuan berusia 24 tahun itu selalu memiliki kesan ceria dan penuh tawa saat Zia ceritakan. Namun, Setelah pernikahannya bersama Alby, Alby belum pernah melihat Naza tertawa. Wajah Naza selalu terlihat canggung. Bahkan senyuman tipis dari wajahnya terkesan kaku.

Haruskah aku melepaskan Naza?

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now