09. L'appel du vide

50.1K 3.3K 75
                                    

“Hanya tangisan yang tersisa dari kita.”

— ° ° ° —

Berdiri di atas sebuah gedung, Naza penasaran setinggi apa gedung yang dia pijaki saat ini. Sejauh apa ketinggian itu akan membawanya pergi. Bisakah Naza terbang tinggi atau malah berakhir dengan terjatuh dari tempat tinggi?

Kini, Naza bersama gaun putihnya berdiri tepat di tepian rooftop gedung yang tidak memiliki pembatas sama sekali. Entah apa yang membawa Naza ke tempat ini. Awalnya, dia hanya ingin mencari sedikit udara segar di sela acara reuni yang begitu asing. Namun, dia malah berakhir sendirian dengan memandangi hamparan gedung dan jalanan yang terlihat begitu kecil dari atas sana.

Perlahan, Naza memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Sinar mentari yang kini terasa jauh lebih hangat, membuat Naza berani untuk memamerkan sebuah senyuman. Senyuman remeh untuk menertawakan dirinya sendiri.

Naza merasa asing dengan perasaannya sekarang. Naza memang tak suka sendirian, tapi keramaian bukan hal yang Naza ingin saat ini. Entah sejak kapan, perbincangan di acara reuni berubah menjadi hal yang memuakkan untuknya.

“Gue kira, Naza nikahnya sama Natha, lho. Ternyata, bukan. Begitu ya, jodoh. Unik dan gak bisa ditebak.”

Ucapan itu yang sempat mengusik hati Naza hingga saat ini. Entah apa yang mengganjal di hatinya, tapi perbincangan itu tidak lebih baik dari kesendirian yang Naza rasakan sekarang.

Tiba-tiba, terlintas di pikiran Naza untuk melompat dari tempat tinggi yang dia pijaki. Kakinya mulai melangkah, mengikis jarak antara dia dan ketinggian di pelupuk matanya. Langkah demi langkah begitu pasti Naza ambil seakan tak ada sedikit pun ketakutan yang dia miliki.

“Mau lompat?”

Pertanyaan itu membuat Naza menghentikan langkahnya. Naza membalikkan badan, memandangi Natha yang berdiri di tepi lain. Pria itu terlihat dingin di tengah teriknya sinar mentari. Namun, langkah Natha tetap tertuju pada Naza.

“Za ... gedung ini setidaknya punya 30 lantai. Artinya, ketinggiannya bisa mencapai 100 sampai 120 meter. Kalau kamu lompat dari sini, kamu bisa jatuh ke bawah sana dalam hitungan detik. Saat jatuh, berat badan kamu bertambah ribuan kali lipat. Sel-sel dan pembuluh darah di tubuh kamu akan meledak. Oksigen akan menipis hingga menghilangkan fungsi otak dan jantung. Bahkan, darah bisa saja memuncrat keluar. Belum lagi dengan rasa sakit dari tulang yang patah. Gimana? Masih mau lompat dari sini?”

Naza menggeleng samar. Naza tidak berniat untuk mengakhiri hidupnya. Dia hanya penasaran. Saat dia melompat dari sana, bisakah dia terbang bebas layaknya burung kecil yang menghiasi langit biru saat ini? Atau bisakah dia nyaman dengan perasaannya saat ini.

“Langitnya indah,” sahut Naza pelan.

Natha tersenyum simpul. “Gak akan jadi indah kalau ada seseorang yang melompat dari atas sini,” ucapnya. Pria itu terus mengikis jaraknya dengan Naza hingga mereka benar-benar menatap satu sama lain.

“Gi-gimana k-kabar kamu?” tanya Naza gelagapan.

Lagi-lagi, Natha tersenyum. “Lebih dari sekedar buruk.”

Entah apa yang harus Naza katakan pada Natha. Pikirannya tiba-tiba kosong. Semua kata yang Naza miliki seakan pergi begitu saja. Perempuan itu memilih untuk kembali memandangi setiap hal yang saat ini horizon suguhkan untuknya.

Natha ikut berdiri di samping Naza. Dia ikut larut memandangi apa yang kini Naza pandangi, langit biru dengan siluet gedung tinggi kota metropolitan.
Saat ini, Keduanya sibuk mengingat setiap hal yang pernah mereka berdua ukir bersama. Ternyata, banyak sekali hal yang telah mereka lalui. Mulai dari manisnya kisah kasih anak SMA, hingga keseriusan percintaan dewasa yang ingin berbagi satu sama lain.

Natha masih mengingat manisnya Naza yang selalu menunggu di parkiran sekolah. Naza juga mengingat bagaimana teguhnya Natha berdiri di bawah hujan hanya untuk sebuah kata maaf. Namun, semua itu sudah berlalu. Keduanya kembali disadarkan oleh kenyataan. Natha sengaja melirik Naza yang kini sibuk memainkan cincin pernikahannya.

“Selamat atas pernikahan kamu,” ucap Natha. Tangannya begitu kokoh terulur untuk Naza. Dia sengaja menunggu Naza menerima tangannya.

Namun, Naza hanya memandangi tangan Natha yang masih terulur di sana. Perempuan cantik itu malah menyembunyikan tangan di balik punggungnya sendiri. Dia tak berani untuk menjabat tangan Natha.

Tak kunjung menerima balasan dari Naza, Natha kembali menurunkan tangannya. Kini, bibirnya mulai bergetar, lalu dia berucap, “Jujur ... aku kecewa, Za.”

Natha menghirup udaranya dalam-dalam. Banyak sekali hal yang dia sembunyikan dari senyumannya. “Aku marah ... tapi apa yang bisa aku lakukan, kalau pernikahan itu adalah kemauan kamu.”

Natha memalingkan wajah, menyembunyikan matanya yang kini terasa memanas. Lagi-lagi, Natha hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam. Dia sembunyikan semua rasa sesak di dadanya.

“Padahal, aku juga mau berjuang, Za. Aku mau berjuang demi kamu, tapi kamu yang gak mau berjuang bersamaku. Kamu yang memilih menikah dengan pria itu.”

Naza makin tertunduk. Dia pandangi setiap kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Ternyata, banyak sekali hal yang tak bisa Naza ungkapkan pada Natha. “Aku punya alasan ...,” cicitnya pelan.

Pandangan Natha tetap tertuju pada Naza. Dia pandangi wajah cantik itu dengan rasa rindu. “Apa, Za? Apa alasan kamu?” tanyanya.

Naza membisu. Seakan kehilangan kemampuannya untuk berbicara, tak ada satu kata pun yang bisa Naza ucapkan.

“Lihat aku, Naza. Bahkan, aku gak punya hak untuk dengar alasan kamu.”

Sumpah demi Tuhan, Naza tak mampu untuk menatap Natha. Padahal, Naza masih memimpikan Natha yang akan mengucapkan janji sehidup semati itu. Naza juga berharap Natha yang memasangkan cincin pernikahan itu.

“Kalau saat itu kamu minta aku untuk datang. Aku bakal datang, Za. Aku bakal tunjukkin keseriusan aku di depan keluarga kamu. Bahkan, saat hari itu keluarga kamu minta aku untuk nikahi kamu, aku siap. Aku akan nikahi kamu hari itu juga, Naza!”
Natha raih kedua pundak Naza. Dia pegang dua pundak itu dengan kedua tangannya yang mulai bergetar.

“Tapi, kamu yang gak mau …  Naza. Kamu bahkan gak mau berjuang untuk bilang ke keluarga kamu kalau kamu punya aku, kalau kamu gak mau pernikahan bodoh itu. Kamu gak mau berjuang untuk itu, Naza!”

Natha sudah tak mampu menahan dirinya lagi. Tanpa sadar, sentuhan kecilnya berubah menjadi rematan kasar. Natha tak menyadari raut wajah Naza yang kini meringis kesakitan.

“Sakit, Natha ….”

Natha terdiam. Dia tatap wajah Naza. Bukan wajah sendu seperti itu yang ingin Natha lihat dari Naza. Seketika, genggaman tangannya terlepas begitu saja. “Aku juga sakit ... Za,” paraunya.

“Maaf.” Entah berguna atau tidak, tapi hanya kata itu yang mampu Naza ucapkan saat ini.

“Maaf?” tanya Natha. Jujur, satu kata maaf dari Naza malah membuat hati Natha bergemuruh. “Maaf gak merubah apa pun, Za. Gak merubah kenyataan kalau kamu berkhianat, Naza Diana!”

Natha langsung melangkah pergi. Dia pergi begitu saja, meninggalkan Naza dengan rasa sesak di dadanya yang kian membuncah.

“Gak gini ... Natha. Aku punya alasan,”  lirih Naza tanpa suara.

Ternyata, hanya tangisan yang tersisa dari hubungan Naza dan Natha. Padahal, tak hanya Alby yang memiliki cita-cita bersama Zia. Naza pun memiliki banyak harapan bersama Natha.

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang