21. Koper dan Masa Lalu

50.4K 4.4K 168
                                    

“Padahal, aku sudah berusaha.”

— ° ° ° —

Naza tatap wajah Alby dengan nanar. Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir Alby. Entah bagaimana pria itu memandang Naza. Jika Alby memang tak bisa melihat Naza sebagai seorang istri, apa pria itu tak bisa melihat Naza sebagai seorang manusia yang juga memiliki perasaan.

“Aku kecewa,” ucap Naza dengan begitu parau. Dia pandangi sekali lagi surat perceraian yang Alby buat. Namanya dan nama Alby yang tercetak jelas dalam selembar kertas itu, benar-benar membuat Naza hancur. Bagaimana Alby begitu tega membuat surat mengerikan seperti itu.

Diam-diam, cairan bening menetes dari pelupuk mata Naza. Matanya mulai buram karena linangan air matanya sendiri. Surat itu pun menjadi saksi bagaimana air mata Naza kembali berjatuhan.

Melihat Naza yang mulai menangis, Alby segera mendekati Naza dan dia raih pundak kecil yang mulai bergetar itu.

“Za … mas rela kalau kamu mau kembali bersama Natha. Mas gak mau jadi pengha—” ucapan Alby terpotong saat dengan kasar Naza menepis tangannya.

Meski dengan berkaca-kaca, Naza menatap mata Alby dengan penuh amarah yang tertahan di dalamnya. “Mas pikir, aku barang! Hah?!” teriaknya.

Naza beralih menatap Natha dengan mata yang sama membaranya. Di sana, Natha  membisu. Pria itu benar-benar kehilangan kata-katanya.

“Aku kira, kamu kenal aku, Na ... aku kira kamu bisa ngerti,” ucap Naza. Dia mengusap wajahnya dengan kasar untuk menutupi air matanya yang kembali berjatuhan.

Setelan menormalkan deru napasnya yang tiba-tiba terasa begitu sesak, Naza kembali menatap dua pria di depannya. “Ternyata, kalian berdua gak ngerti. Kalian memutuskan segalanya semau kalian. Bahkan kalian gak bertanya! Apa yang aku mau dan gimana perasaan aku!” teriaknya.

Natha menggeleng samar. “Naza ... sekarang aku dan Alby bertanya. Alby memberikan kesempatan, kamu ingin bersamaku atau bersama Alby,” ucapnya.

Ucapan Natha benar-benar membuat emosi Naza makin tersulut. Dia melemparkan surat perceraian yang masih di tangannya dengan kasar. “Begini cara kalian bertanya! Hah?!”teriaknya.

Sekarang, Natha pun tak tahu harus berbuat apa. Natha kira, keputusannya untuk mengikuti Alby adalah jalan yang benar. Ternyata, sekarang Naza sudah lain.

“Mas, apa kamu gak bisa bicara dulu! Apa perlu dengan surat perceraian seperti ini?!” teriakkan Naza menyatu dengan tangisannya sendiri. Dia bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat kepalanya untuk menahan kembali air matanya yang terus terjatuh.

“Aku lelah! Aku lelah kalau harus ngalah terus, aku lelah jika harus bersabar lagi! Bahkan, aku lelah untuk untuk menyerah! Sekarang aku pergi dengan keputusanku sendiri!” ucap Naza. Dia berjalan cepat menuju kamarnya di lantai atas. Perempuan itu bahkan tak mengindahkan Alby yang terus memanggil namanya.

Dengan penuh emosi yang meluap-luap, Naza mulai mengemasi seluruh barang-barangnya ke dalam sebuah koper hitam. Tak jarang benda-benda di sampingnya berjatuhan, karena ulahnya sendiri.

“Mereka pikir, aku barang yang bisa diperlakukan sesuka hati!” Naza terus mengemas seluruh barangnya “Argh! Gila ... mereka berdua gila! Alby bodoh! Brengsek!”  erangnya frustasi.

Naza tak henti berbicara sendiri. Entah kenapa dadanya malah makin sesak. Apalagi, saat tak sengaja matanya berakhir pada foto dirinya bersama Alby dan Leon. Padahal, Naza memiliki cita-cita indah bersama Alby dan Leon. Padahal, Naza sudah bersusah payah untuk melupakan Natha dan menerima segalanya, tapi malah begini.
Sekuat apa pun Naza berusaha melupakan Natha dan membuka hatinya untuk Alby. Dua pria itu ternyata tak mengerti. Tubuh Naza ambruk. Dia berlutut di depan koper hitamnya dengan tangisannya yang kembali pecah.

Naza menarik resleting koper hitam itu, menutup segala hal yang dia miliki saat ini. Kini, Naza akan pergi sendirian. Tanpa apa pun, tanpa Alby ataupun Natha.

Namun, salah satu bajunya yang tersangkut pada resleting, membuat koper hitam Naza tak bisa tertutup sempurna. Naza terus menarik-narik resleting itu dengan sekuat tenaga. “Kenapa gak bisa ditutup sih,” paraunya.

Naza memukul-mukul koper itu sekuat tenaga. Entah apa yang Naza tangisi saat ini. Koper yang tak bisa tertutup itu membuat air matanya kembali terjatuh. Jangankan membuat Alby dan Natha mengerti, menutup koper sialan seperti ini juga tak bisa Naza lakukan dengan benar. “Padahal, aku udah berusaha. Aku berusaha ... Kak Zia … aku udah berusaha …,”  isaknya.

Di ambang pintu kamar, Alby hanya mematung. Sekarang, dia hanya bisa memandangi perempuan cantik itu dengan perasaan bersalah. Alby pikir, Naza akan lebih bahagia jika Alby melepas belenggu pernikahan mereka. Alby pikir, dia juga akan baik-baik jika tanpa Naza. Ternyata, sesakit ini.

“Za …,” panggilnya.

Mendengar suara Alby, Naza langsung mendongakkan kepalanya. “Mas ... kopernya gak bisa ditutup,” ucapnya begitu parau.

Alby berjalan mendekati Naza. Dia duduk di dekat istrinya beserta koper hitam itu. Perlahan, Alby melepaskan genggaman Naza pada kopernya yang begitu erat. Tangan yang mulai memerah itu, Alby genggam.

“Mas ... aku udah berusaha ... aku udah berusaha sekuat tenaga. Tapi, koper ini tetap gak bisa aku tutup,”  ucap Naza dengan terus terisak.

“Jangan gini, Za ….” Alby segera menjauhkan koper itu dari Naza. Direngkuhnya tubuh Naza yang terasa begitu rapuh itu dalam dekapannya. “Maaf,” bisiknya.

Dalam kehangatan tubuh Alby, Naza kembali menangis. “Mas ... aku melakukan kesalahan? Aku bukan istri yang baik untuk kamu? Apa aku gak bisa jadi bunda untuk Leon?” tanyanya.

Alby menggelengkan kepalanya dengan ribut. Dia mencium pucuk kepala Naza. “Maaf,  mas yang salah ....”

“Mas,  aku gak suka surat itu ... Aku gak mau menandatangani surat itu. Aku bundanya Leon. Kenapa Mas mau memisahkan aku dan Leon?”

“Maaf,  bukan itu maksud Mas … kamu bundanya Leon ….”

Dehaman dari Natha yang berdiri di luar kamar membuat Alby dan Naza menoleh. Diam diam, Natha menyembunyikan kepalan tangan di belakang punggungnya sendiri. “Sepertinya, kalian hanya perlu bicara berdua,” ucapnya.

Natha mengerti, Naza bukan lagi miliknya dan perempuan cantik itu sudah memilih Alby. Sakit, tapi apa boleh buat. Natha tak mau menghancurkan kebahagiaan rumah tangga orang lain. Sekalipun, jika itu milik Naza bersama orang lain.

“Lain kali, jangan libatkan aku pada masalah rumah tangga kalian lagi. Kalian harus lebih terbuka dengan perasaan kalian sendiri. Aku hanya masa lalu dan akan tetap menjadi masa lalu.”

Pandangan Natha begitu dalam menatap Naza yang masih tersedu dalam pelukan Alby. “Naza ... supaya hubungan kita lebih jelas. Aku akhiri hubungan kita. Aku pergi ya,” pamitnya.

Ya, begitulah seharusnya. Tidak semestinya Natha terlibat dengan kehidupan rumah tangga orang lain. Biarkan cerita cinta Naza dan Natha menjadi sebuah cerita di masa lalu. Kini, Natha juga harus mulai menyambut masa depannya.

Natha bergegas  pulang. Kaki yang terasa begitu berat itu dipaksa untuk terus melangkah. “Ayolah Natha ... masih banyak perempuan di dunia ini. Kamu mungkin akan menemukan Naza lain.”

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang