"Ning! Ning Nadira!" seru satpam itu meneriaki Dira, bahkan mengejar Dira, tapi karena badannya yang gempal, baru beberapa meter saja berlari ia sudah berhenti kelelahan.




🍒🍒🍒



Tujuan Dira saat ini adalah bandara. Ia ingin memastikan apakah suaminya berada di pesawat yang hilang kontak atau bukan. Ia harus memastikannya.

Di jalan, ia menemukan sebuah pangkalan ojek dan ia langsung meminta salah satu tukang ojek yang ada di sana untuk mengantarnya ke bandara.

Setelah sampai, ia langsung masuk ke dalam bandara yang sudah sangat ramai oleh orang yang mungkin keluarga dari penumpang pesawat TH123 untuk memastikan, sama seperti dirinya sekarang.

Wajah Dira terlihat sangat pucat dan panik. Mati-matian ia menahan air matanya, menahan rasa sesak di dadanya, menahan kepalanya yang kini terasa berdenyut.

Sialnya Dira tidak memiliki celah untuk bertanya pada petugas bandara karena memang ada begitu banyak orang yang datang.

"Mas, Mba, misi. Tolong." ucapnya sedikit berteriak karena keadaan begitu bising dan sesak sambil berusaha menerobos gerombolan orang-orang.

Namun gagal. Dadanya semakin naik turun. Ia sedikit menjauh dari sana untuk berfikir bagaimana cara agar ia bisa mendapatkan informasi.

"Dira! Mikir! Gunain otak lo!" serunya pada diri sendiri sambil memukul-mukul kepalanya.

Ia berjalan mondar-mandir dengan terus memikirkan berbagai cara.

"Dira?"

Dira yang mendengar namanya disebut pun langsung menoleh pada orang yang menyebut namanya tadi. Di sana ada Gibran yang mengenakan seragam lorengnya.

Laki-laki itu berlari kecil menghampiri adik iparnya yang terlihat sangat berantakan.

"Ngapain di sini?" tanyanya.

"K-kabar tentang pesawat yang hilang kontak itu b-bener?" tanya Dira tergagap.

"Iya, bener. Pesawat hilang kontak setelah 20 menit lepas landas di sekitar perairan Selat Malaka. Dan sekarang tim SAR, TNI AL, TNI AU, TNI AD lagi melakukan pencarian di sekitar perairan Selat Malaka. Emangnya kenapa?"

"Mas Abi penumpang pesawat itu." jawab Dira dengan suara lirihnya.

"Astaghfirullah hal adzim."

"4 hari yang lalu Mas Abi pergi ke Aceh buat ngisi seminar. Dan tadi pagi jadwalnya Mas Abi pulang naik pesawat itu." lanjut Dira yang suaranya sudah bergetar.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."

"Kak Gibran, gue harus gimana sekarang?" air mata Dira sudah tidak bisa ia bendung lagi. Buliran bening itu berhasil membasahi pipinya. Dira tidak tau harus berbuat apa sekarang ini.

Jujur Gibran terkejut mendengar penjelasan dari Dira. Dirinya tadi di tugaskan untuk mengontrol sekitar bandara setelah datangnya berita pesawat yang hilang kontak. Dan di sini dirinya malah bertemu adik iparnya yang membawa kabar lebih buruk.

"Ya udah, kamu duduk dulu di sini. Saya bantu buat cari informasi ke petugas bandara." ujar Gibran menyuruh Dira duduk di kursi tunggu.

Lalu dirinya berlari menerobos kerumunan untuk mencari informasi yang ada. Sedangkan Dira menunggu dengan gati yang semakin resah.

Selang beberapa menit, Gibran kembali dengan membawa selembar kertas yang berisi daftar penumpang pesawat yang hilang kontak tadi, dan memberikannya pada Dira.

Dengan tangan yang bergetar dan mata yang mengabur akibat tertutup air mata, Dira mencoba fokus untuk mencari nama suaminya.

Ia berharap tidak ada nama suaminya di daftar ini. Ia berharap Abi ganti jam penerbangan tadi. Ia berharap Abi ganti pesawat. Ia berharap ada satu kejadian yang membuat Abi batal menaiki pesawat ini. Berharap, Dira hanya bisa berharap.

Tapi harapannya sirna ketika nama Abi terdapat dalam daftar itu. Abizar Mukhtar Al-Hariz.

"Gimana?" tanya Gibran.

Dira mendongak menatap Kakak iparnya itu dengan wajah yang sudah banjir air mata, "Ada namanya Mas Abi di sini."

Gibran menghela nafas panjang. Ingin sekali rasanya ia membantu Dira, tapi dirinya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu perempuan itu. Ingin membantu menenangkan Dira ia pun tidak bisa.

"Kamu tenang dulu, sekarang Tim lagi cari-cari keberadaan pesawat itu. Kamu berdoa aja semoga Abi bisa selamat dari peristiwa ini."

Dira hanya bisa menunduk dan menangis, perasaannya campur aduk. Takut, cemas, khawatir, semuanya bercampur menjadi satu.

"Dira, maaf, saya harus pergi." ucap Gibran berpamitan.

Sebenarnya Gibran tidak tega meninggalkan Dira sendirian dalam keadaan kacau seperti ini. Tapi ia memiliki tugas penting yang harus ia jalankan. Jadi ia menelfon Raya untuk datang ke bandara dan menemani Dira di sini.

"Sebentar lagi Raya datang. Saya tinggal dulu, ya. Nanti kalo ada informasi terbaru tentang Abi, pasti akan saya kabari."

Dira hanya mengangguk lemah dan membiarkan Gibran pergi menjalankan tugasnya.

"Ya Allah, berilah perlindungan pada Mas Abi di mana pun dia berada, berilah dia keselamatan, dan berilah keajaiban pada Mas Abi agar ia bisa selamat, karena Engkau sebaik-baiknya Dzat yang Maha Melindungi dan Maha Mengabulkan. Hanya kepada Engkau hamba memohon dan meminta."



*****



BAB 41-45(END) DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN TERBIT





Yang udah bosen sama cerita ini, boleh keluar, gapapa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang udah bosen sama cerita ini, boleh keluar, gapapa. Ceritanya adanya kaya gini gimana dong? Gapapa keluar aja kalo bosen dan nggak sesuai ekspektasi kalian

Makasih




The Hidden [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang