11. Acara Keluarga

Start from the beginning
                                    

Naza antara malu dan bingung. Jangankan melakukan hubungan suami-istri. Setelah lebih dari setengah tahun Naza dan Alby menikah, rasanya berpegangan tangan saja masih bisa dihitung jari. Mereka juga masih memiliki kamar yang terpisah. Namun, Naza pikir hal seperti itu bukanlah hal yang harus ceritakan pada orang lain. Biarlah urusan rumah tangganya bersama Alby, menjadi urusan mereka berdua. Tak perlu orang lain tahu.

“Gak perlu buru-buru,” Ibu menepuk pundak Naza.

Ibu tahu dengan betul bagaimana beratnya Alby dan Naza memutuskan untuk menikah. Jika bukan karena Leon dan permintaan Zia, Naza sempat berencana untuk kabur.

“Tapi! Tapi! Bentar, deh!” suara cempreng Miki kembali mendominasi ruang tamu itu. “Gimana ya perasaan Kak Zia, kalau dia masih hidup dan melihat suaminya jadi suami adiknya sendiri? Murka kali ya?” tanyanya.

“Ya, kalau Zia masih ada, Alby gak mungkin menikahi Naza!” sahut Tante Seli yang baru saja datang.

Air muka Naza seketika berubah. Dia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Sekuat tenaga dia tersenyum, padahal terlihat dengan jelas bagaimana bibir itu bergetar. Dihirupnya udara begitu dalam untuk kembali menormalkan deru napasnya yang tiba-tiba sesak. Padahal, ucapan Tante Seli dan Miki tidak salah. Namun, mendengar kenyataan itu secara langsung, benar-benar membuat hati Naza terbetrik. Bukan kemauan Naza untuk menikahi kakak iparnya sendiri. Bukan kemauan Naza juga untuk menggantikan posisi kakaknya.

Dehaman kecil dari Ibu langsung menyadarkan Miki dan Tante Seli bahwa mereka telah salah berucap. Kedua perempuan beda umur itu langsung mengatupkan bibir mereka dan menatap Naza yang kini menunduk.

“Jodoh dan maut gak pernah ada yang tahu,” ucap Ibu. Dia langsung menggenggam tangan Naza sambil memeriksa raut wajah putri bungsunya itu. Wajah Naza benar-benar tertunduk sempurna. Ibu yakin, air mata Naza sudah berlinang saat ini. “Lagi pula, ini kemauan Zia. Bahkan, Zia akan bahagia saat Naza dan Alby sama-sama,” ucapnya.

Naza masih menunduk. Dia hanya berharap semuanya memang begitu.

Kak Zia akan bahagia.

— ° ° ° —

Teras belakang rumah yang menghadap langsung ke lapangan, Alby dan Mako duduk berbincang dengan dua cangkir kopi yang menemani mereka. Keduanya hampir menyerah membahas proyek baru beromset milyaran rupiah dari perusahaan properti asal China. Dua pria itu rehat sebentar untuk sedikit mencari angin segar.

“Gimana sama Naza?”

Alby menoleh karena pertanyaan dari Mako. Dia urung untuk menyalakan pemantik api dan kembali mengantonginya. Sambil memainkan sebatang rokok yang belum sempat dibakar, Alby tatap wajah Mako.

“Kayaknya, pernikahan kami gak ada harapan.” Alby mengingat kembali wajah Naza yang selalu terlihat murung dan kaku. Dia juga mengingat ketika Naza memilih untuk diam dan menangis sendirian.

Mako mengerutkan keningnya. “Gak ada harapan gimana?”

“Ya … maksudnya, kayaknya susah gitu. Gua bingung harus mulai dari mana? Harus dengan cara apa? Bahkan, gua gak tahu harus ngobrol apa sama Naza?”

Mako malah tertawa pelan. Dia menepuk pundak Alby. Sebagai rekan kerja sekaligus teman, Mako cukup mengenal Alby. Menurut Mako, Alby terbilang pasif soal perempuan apalagi percintaan. Pria itu tidak terlihat tertarik pada perempuan. Sampai-sampai Mako juga yang dulu mempertemukan Alby dan Zia.

“Pelan-pelan, Bro!”

Alby menghela napasnya. Tangannya tak henti bermain dengan sebatang rokok yang entah sejak kapan sudah patah. “Beberapa hari yang lalu, gua gak sengaja lihat dia nangis sendirian. Gua bingung, dia gak cerita apa-apa.”

“Naza itu gak sama kaya Zia. Lu tahu, Zia itu cerewet dan apa adanya. Apa yang dia rasakan, pasti dia omongin langsung. Kalau Naza gak gitu. Naza mungkin sering bergaul dengan komunitasnya, tapi soal dirinya sendiri, dia tertutup. Dia akan memendam segalanya sendirian. Makanya, lu yang inisiatif. Coba tanya duluan, ajak ngobrol ….”

Alby terdiam. Matanya menatap hamparan lapangan yang diisi oleh anak-anak yang bermain bola. Entah Alby yang tidak mengenal Naza atau mungkin Alby yang terlalu terbiasa dengan kehadiran Zia.

“Pernikahan itu seumur hidup. Saat lu dan Naza menikah, berarti kalian udah komitmen untuk membagi hidup kalian masing-masing. Ya … meski kalian menikah karena Zia, tapi kalian berdua yang menjalaninya saat ini. Yang udah pergi, gak akan kembali, By … sekarang fokus pada apa yang ada di depan mata. Kalian masih punya banyak waktu, pelan-pelan buka hati kalian berdua.”

Alby masih terdiam, mendengarkan ucapan Mako. Mako mungkin ada benarnya, Alby dan Naza hanya jalan di tempat, bahkan tidak berjalan sama sekali, hanya dua orang yang seakan asing dan bersandiwara menjadi sepasang suami-istri.

“Lah, ini kenapa jadi konsultasi pernikahan.” Mako mendesau lelah. Dia mengambil cangkir kopi dan menyeruput cairan berkafein tinggi itu dengan nikmat. “Soal hati dan perasaan memang gak bisa dipaksakan. Tapi, By … gua hanya nitip, tolong jaga Naza.”

Belum sempat Alby mengangguk, perhatian dua pria itu teralih karena kedatangan Naza. Perempuan cantik itu berdiri di ambang pintu seakan ragu untuk mengatakan sesuatu.

Mako yang mengerti langsung beranjak. Dengan secangkir kopi di tangannya, pria itu bergegas masuk ke rumah. “Pokoknya, begitu ya, By. Kita jadwalkan meeting sama owner-nya pekan depan. Telepon aja kalau ada yang masih kurang. Gua masuk dulu,” pamitnya.

Alby mengangguk. Setelah Mako benar-benar pergi, Alby mendekati Naza yang masih berdiri di ambang pintu. “Kenapa, Za?” tanyanya.

“Kita pulang sekarang? Mumpung Leon udah bangun.”

“Bukannya mau nginep?” tanya Alby bingung.

Naza menggeleng samar. “Kita pulang aja. Lagian besok Mas masuk kerja ‘kan?”

Alby tak benar-benar tak mengerti, tadi pagi Naza minta menginap di rumah ibunya. Bahkan, dia sudah mengemas pakaian mereka bertiga di dalam mobil. Alby pun sudah izin untuk cuti beberapa hari. Namun, lagi dan lagi, wajah sendu Naza tak sanggup membuat Alby berani bertanya. 

“Ya, udah. Kita pulang sekarang.”

— ° ° ° —

TURUN RANJANG : 𝓣𝓱𝓮 𝓛𝓮𝔁𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓗𝓮𝓭𝓰𝓮 𝓫𝓮𝓽𝔀𝓮𝓮𝓷 𝓤𝓼 Where stories live. Discover now