Let Go

688 79 10
                                    


"Jungkook-ah...." Namjoon memasuki kamar Jungkook dengan bantal pemanas ditangannya, bersyukur ia mendapatkan bantal pemanas dan berhasil memanaskan nya. "Eoh?" Ia berjalan kearah kamar mandi yang tertutup, terdengar suara air yang menetes dari sana.

Tok... Tok... Tok...

Tidak ada jawaban, "Jungkook-ah, kau didalam?" Hening, tidak ada jawaban. Tidak ingin mendebarkan hatinya lebih lama, ia membuka pintu kamar mandi itu.

Bantal pemanas yang ada ditangannya jatuh, kakinya lantas melangkah terburu memasuki kamar mandi itu. Mematikan Shower yang mengguyur tubuh Jungkook yang meringkuk. "Jungkook-ah..." Hening, seakan menghempaskan harapan Namjoon yang menunggu jawaban dari anak itu.

Ia menarik bahu Jungkook, wajah membiru nan pucat adalah hal pertama yang ia tangkap. Dadanya berdegup kencang, bisa ia rasakan nafas Jungkook yang putus-putus. "Andwe.... Jungkook-ah bangun..... Jungkook-ah...." Tangan panjang Namjoon menepuk pipi Jungkook pelan, memohon respon.

Tapi nihil, kesadaran pemuda bermata bulat itu sudah menghilang. Namjoon menangis, mengangkat tubuh Jungkook kekasur, menyelimutinya, kemudian pergi dari rumah itu menggunakan mobil milik keluarga Jeon yang kuncinya menganggur diruang keluarga.

Petugas kesehatan bergerak cepat begitu ia memasuki unit gawat darurat mengambil alih Jungkook. Melakukan pertolongan yang menurut Namjoon akan menyelamatkan Jungkook. Terlihat kacau didalam, bahkan dokter dan suster terlihat panik.

Tidak lama kemudian petugas kesehatan keluar dari sana, membuat Namjoon refleks berdiri dengan wajah penuh harapnya.

"Maaf...."

Alis Namjoon menyatu, Uisa itu baru saja membungkuk kepadanya. "Pasien tidak berhasil diselamatkan." Setelah itu, Uisa itu pergi. Satu perawat menuntun Namjoon untuk memasuki ruang tindakan itu.

Ia melangkah memasuki ruangan itu, wajah kosongnya seakan menjelaskan jika dia benar-benar menolak ucapan Uisa itu dengan sangat keras.

Kepalanya menggeleng, air matanya yang sempat mengering kini semakin deras mengalir. "Aniya....." Ia mendekat, menyibak selimut putih yang menutupi seluruh tubuh Jungkook. "Andwe.... Jangan main-main..." Namjoon mengguncang satu bahu Jungkook pelan.

"Jungkook-ah....." Bisu, hanya kebisuan yang menjawab Namjoon. "Jungkook-ie...." Kali ini dengan panggilan favorit Jungkook, anak itu selalu suka jika ia memanggil nya 'Jungkook-ie'. Katanya menggemaskan.

Isakannya pecah, otak jeniusnya seakan telah selesai mengolah semuanya. Ia memeluk erat tubuh pucat Jungkook. "Jungkook-ah...." Lirihnya pelan. Jungkook tidak membalas perlukannya, artinya anak itu sudah benar-benar pergi dari sisinya.

Pemuda baik bermata bulat itu kini sudah pergi. Sekarang siapa yang akan ia marahi karena terlalu banyak berkerja Paruh waktu?

"Jungkook-ah!"

Namjoon melepaskan pelukannya, Seokjin dengan wajah memerah juga air mata berlinang memasuki ruangam itu masih dengan setelah putihnya. "Hyung...." Lirih Namjoon pelan, ia menggeleng.

"Kau harus ingat, ini belum waktunya Jeon Jungkook. Kita baru saja melewatinya bersama, seharusnya kau mempermainkan ku tahun depan." Ujar Seokjin sinis.

Tidak mendengar jawaban, Seokjin melangkah mendekati brankar itu. "YAKK!!! BANGUN!!!" Ia mengguncang bahu Jungkook, sama seperti yang dilakukan Namjoon sebelum nya tapi lebih kencang dan bertenaga. Rasa amarah bisa dirasakan dengan kuat dari Seokjin.

"Tidak.... Adikku...." Seokjin melemah, berjongkok disamping brankar sambil meraung kencang. Ia menutupi wajahnya, menangis sederas mungkin disana.

Jamais-vu : Solitude [JJK]Where stories live. Discover now