Bagian tiga puluh empat

563 79 1
                                    

"Tidakkah kau sadar? Kebahagian, akan selalu diiringi dengan kesedihan. Selamat menikmati kebahagiaan mu."
-Jamais-Vu: Solitude-

____________________________________

Yoongi menghentikan langkahnya menuju mobil saat ponselnya berdering dari saku celana yang dikenakannya, ia bergerak cepat, memegang bucket bunga dan mendali Jungkook dengan satu tangan. "Halo?" Telepon tersambung, sebuah nama bermarga Kim tertera diponsel itu.

"Yoongi-ah....... Papa meninggal." Suara yang biasanya terdengar indah kini terdengar serak, jangan lupakan suara keadaan sekitar yang seolah berbicara tentang kebenaran.

"Jangan bercanda." Yoongi tertawa hambar saat mendengar pria berbahu lebar yang sedang berbicara dengan nada serak diseberang sana. "Bercanda dengan kematian sama sekali tidak lucu, Hyung."Ujarnya datar, ia tidak pernah keberatan saat Soekjin bergurau tentang hal garing apapun, tapi tidak dengan kematian.

"Apa aku terdengar seperti bercanda?" Bibir Yoongi sontak terkatup rapat, entah kenapa ia menjadi percaya dengan perkataan Seokjin. "Maaf tidak memberitahumu lebih awal, aku tidak ingin Jungkook-ie membatalkan turnamen nya."  Yoongi menunduk dalam diparkiran yang sepi itu, pria itu terdiam sesaat, sampai akhirnya terisak pelan.

"Jangan batalkan pesta kemenangannya. Jungkook-ie..." Seokjin berhenti berbicara sejenak, terdengar isakan tertahan dari sana, pria berbahu lebar itu bahkan tidak sanggup membayangkan sehancur apa adiknya itu. "Adikku sangat bahagia turnamen kali ini, Karena kau ada disana menemani nya. Biarkan pestanya selesai, tolong tahan dirimu selama beberapa jam Yoongi. Kumohon." Yoongi membisu, ia masih terisak disana, masih memikirkan tentang dirinya yang terlalu jauh dari ayahnya, ia yang membenci ayahnya, dan tentang Jungkook yang akan hancur karena kepergian ayahnya.

Bagaimana ia akan menghibur Jungkook?

Apakah ia akan menjadi waras saat melihat adiknya itu meraung menangisi ayahnya?

Apakah mata bulat Jungkook- nya akan kembali?

Bukannya ia tidak tahu, Jungkook sangat menyayangi ayah mereka, berpura-pura menolak untuk bertemu bukan berarti menyatakan jika anak itu membenci sosok lelaki sejatinya.

"Yoongi-ah, ternyata Papa sangat menyayangi Jungkook-ie. Aku ingin kau membawa Jungkook-ie kemari, biarkan semuanya berjalan seperti air." Kalimat terakhir yang disebutkan Seokjin sebelum akhirnya telepon terputus, meninggalkan Yoongi yang masih berjongkok di parkiran mobil dengan isakan pelan yang berusaha ia hentikan.

Bersyukur, ia tidak berjalan berdampingan dengan Jungkook untuk saat seperti ini.

°
°
°

"Pa- Papa......" Tubuh remaja itu meluruh kelantai sesaat setelah ia sampai dihadapan peti mati yang terpasang foto ayahnya yang sedang tersenyum. Ayahnya, superhero nya kini sudah pergi, tidak ada lagi angan-angan yang selalu ia harapkan bersama ayahnya.

Bunga-bunga putih khas pemakaman tersebar dengan rapi disana, seakan melengkapi senyum cerah ayahnya yang selalu memenangkan untuk Jeon Jungkook. "Papa.... Mianhae..... " Jungkook menunduk dalam, menatap lantai rumah duka dengan air mata yang bercucuran.

Seokjin tersenyum miris, Nyonya Kim yang duduk disampingnya kini semakin meraung kencang, menangis antara haru dan merasa kasihan. Ibunya mengenal Jungkook, wanitanya itu bahkan sangat berharap Jungkook bisa tinggal bersama mereka dan hidup layaknya keluarga. "Mama, dia adikku." Sahut Seokjin tiba-tiba, air mata pria muda itu kembali menggenang, membuat Ibunya itu bergerak untuk memeluk anak sulungnya. "Mama, bagaimana aku memberitahunya? Bagaimana aku menjelaskan semua padanya? Papa memintaku menyelesaikan semuanya." Lirih Seokjin dipelukan ibunya.

Jamais-vu : Solitude [JJK]Where stories live. Discover now