"Mas Abi." Gumam gadis itu yang langsung mengenali suara Abi.

"Nadira!" Suara Abi semakin dekat dengan Dira.

Dan gadis itu turun dari saung mencari darimana suara itu berasal.

Dan netranya bertemu dengan Abi yang langsung menghentikan langkahnya begitu melihat gadis itu yang berdiri 10 meter di depannya.

Bahu Abi melemas dan helaan nafas lega ia keluarkan. Laki-laki itu segera menghampiri istrinya.

Abi merengkuh wajah Dira, menatap wajah itu yang basah oleh air mata, "Mas khawatir sama kamu." Ujar Abi lirih mengecup kening Dira, lalu memeluknya dengan erat.

Dira memejamkan matanya dan ia kembali menangis, lalu ia membalas dekapan Abi tak kalah eratnya.

"Kenapa nangis, hm? Ada yang sakit? Ngomong sama Mas, mana yang sakit?" Tanya Abi sambil melepas dekapannya, meneliti tubuh istrinya tersebut dengan raut wajah khawatir.

Dira menggeleng pelan dengan nafas yang tersendat-sendat dan dada yang naik turun. "K-kak Raya,  di-dia, hiks... D-dia-- hiks..."

"Sssstt, udah-udah." Kata Abi sambil kembali mendekap Dira, mengusap kepala gadis itu dengan lembut.

"Ceritanya nanti aja. Sekarang kita pulang, udah malem." Tutur laki-laki itu yang diangguki oleh Dira.

Akhirnya kedua orang itu kembali ke ndalem, dengan Abi yang menggendong Dira di punggungnya. Tak lupa ia mengabari Bilal jika Dira sudah ketemu.





🍒🍒🍒





Abi langsung mendudukkan Dira di atas ranjang. Ia sedikit membungkuk untuk menatap wajah gadis itu yang menunduk, lalu mengangkat dagu Dira agar mendongak menatapnya.

"Mau makan apa? Nadira belum makan, kan?" Tanya Abi.

Dira tak menjawab. Matanya masih berkaca-kaca dan bibirnya masih bergetar, "Nggak mau cerita sekarang nggak papa. Sekarang makan dulu, ya?" Ujar Abi lagi.

Gadis itu menggeleng, "Nggak laper." Jawabnya dengan suara parau.

"Terus sekarang maunya apa? Mau minum?"

Dira kembali menggeleng dan malah kembali menangis, "Jangan nangis dong. Mas nggak suka liat kamu nangis gini." Kata Abi sambil mengusap pipi tembam Dira yang banjir air mata.

Gadis itu melingkarkan tangannya leher Abi, dan Abi pun menepuk-nepuk kepala serta punggung Dira, "Ya udah, nangis aja nggak papa. Tumpahin semuanya. Tapi abis itu udah nggak boleh nangis lagi." Tutur laki-laki itu yang kini duduk di sebelah Dira.

Hingga beberapa menit kemudian, tangisan Dira mulai mereda. Hanya menyisakan isakan kecil saja.

"Udah?" Tanya Abi dan Dira mengangguk layaknya anak kecil.

"Sekarang makan. Mau makan pake apa? Mas masakin."

Dira menggeleng dengan pipi yang masih menempel pada dada bidang suaminya tersebut.

Abi menghela nafas panjang sambil mengusap kepala Dira yang masih tertutup kerudung, "Ya udah, sekarang tidur aja."

Dira menurut dan merangkak naik ke ranjang. Abi membantu melepaskan hijab gadis itu dan menaikkan selimut ketika Dira sudah berbaring. Lalu ia juga ikut berbaring di samping gadisnya itu.

Abi bergerak mendekat dan merengkuh tubuh mungil Dira, meletakkan dagunya pada kepala gadis itu. Tangannya pun bergerak menepuk-nepuk punggung istrinya tersebut.

"Kak Raya marah sama aku." Celetuk Dira setelah beberapa menit mereka saling diam.

"Aku harus gimana? Kak Raya nggak mau ketemu sama aku lagi." Lanjutnya dengan suara yang kembali bergetar.

"Nggak usah cerita kalo ujung-ujungnya nangis." Cetus Abi.

Dira mendongak menatap suaminya dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Abi pun membalas tatapan gadis itu, "Mas nggak mau dengerin Dira cerita kalo Dira nangis."

Dira mengangguk dan mengatur perasaannya sendiri agar tidak kembali menangis. Akhirnya Dira menceritakan tentang pertengkarannya dengan Raya tadi siang.

Abi menghela nafas pelan dan tersenyum, "Kakak kamu cepat atau lambat pasti bisa terima. Sekarang dia cuma butuh waktu buat nenangin dirinya. Kakak kamu sayang sama kamu, dia nggak mungkin marah lama-lama sama kamu. Kamu tenang aja." Ujar Abi lembut sambil membelai surai panjang Dira.

"Kalo nggak gimana? Aku nggak mau dibenci sama Kak Raya."

"Kamu nggak salah. Kamu nggak tau apa-apa di sini. Kakak kamu orang yang baik, pintar, dia juga orang yang paham sama peraturan agama, jadi kamu tenang aja, ya?" Balas laki-laki itu.

"Mana Dira yang dulu? Yang katanya anti nangis? Yang waktu itu berantem sama santri sampe nampar pipinya? Mana coba?" Canda Abi menghibur Dira agar tidak sedih lagi sambil mencubit hidung gadis itu.

"Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut, oke?" Dira mengangguk paham.

Abi tersenyum simpul lalu mengecup kedua mata Dira yang sembab, dan yang terakhir keningnya. Abi mencium kening Dira lama dengan sayang, "Jangan sedih Nadira. Mas ngerasa gagal jadi suami kalo liat istrinya sedih."

Tenang. Itu lah perasaan Dira sekarang. Dira merasa jauh lebih tenang setelah bercerita pada Abi. Dira merasa jauh lebih tenang mendengar suara lembut Abi. Dira merasa jauh lebih tenang setelah Abi memeluknya. Dan Dira merasa jauh lebih tenang setelah Abi menciumnya.

Dira merasa beruntung memiliki suami seperti Abi. Yang selalu mengerti perasaannya, yang selalu mengkhawatirkannya, dan selalu bisa membuatnya tenang.

*****




JANGAN LUPA SPAM CERINYA 🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JANGAN LUPA SPAM CERINYA 🍒🍒🍒

Sekian, terima vote








The Hidden [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang