Abi berbalik dan langsung mengambil tuspin itu. "Terima kasih."

Raya mengangguk. "Sama-sama."

"Kenapa kamu lari-lari seperti tadi? Kalo ada santri yang bertubrukan dengan kamu gimana? Lain kali jangan lari-lari." Tegur Abi.

"Iya maaf, Gus. Saya tadi buru-buru ke dapur santri buat ambil kompresan."

Kening Abi berkerut bingung. "Buat apa?" Tanyanya.

"Dira demam--"

"Nadira demam?" Tanya Abi memotong ucapan Raya.

Raya sedikit terjingkit dan mengangguk kaku.

"Kamu sekarang ada kelas kuliah?" Tanya Abi.

"Ada."

"Y-ya sudah. Lebih baik kamu siap-siap buat kuliah, masalah Dira, nanti saya bisa minta tolong sama teman sekamarnya buat rawat dia." Kata Abi tegas.

Dan Raya pun menuruti perkataan Abi yang seolah tak ingin di bantah.







****








Dan di sinilah Dira sekarang. Di dalam kamar Abi dengan kening yang terdapat handuk kecil basah.

Setelah tau istrinya sakit, Abi segera menemui Dira yang sudah tak sadarkan diri atau lebih tepatnya pingsan di kamar asramanya sendirian, karena teman-teman sekamarnya sudah memulai aktifitas masing-masing.

Dan Abi pun langsung menggendong Dira, membawanya keluar asrama menuju ndalem. Tak ada yang melihat aksinya itu, karena sebagian santri sudah berada di madrasah, dan sebagian lagi berada di aula untuk mengikuti kajian.

Abi panik bukan main melihat wajah istrinya yang nampak sangat pucat dan tubuh yang panas, bahkan sudah tak sadarkan diri.

Laki-laki itu duduk di pinggiran ranjang samping Dira berbaring dengan mata yang masih tertutup. Tangannya tergerak untuk mengusap surai lembut milik gadis itu.

Abi kembali membasahi handuk kecil yang menempel di kening Dira menggunakan air hangat yang ada di baskom, lalu menempelkannya kembali pada kening Dira setelah memerasnya.

Tak lama, kelopak mata Dira bergerak dan terbuka perlahan. Abi tang melihat itu pun langsung menyentuh pipi Dira.

"Nadira." Panggilannya lirih.

Dira melirik Abi sekilas lalu melirik isi kamar Abi yang sangat rapi dengan aroma khas dari laki-laki itu.

"Hey, gimana keadaan kamu? Ada yang sakit, hm?" Tanya Abi lembut.

Dira tidak menjawab dan malah beralih memunggungi Abi. Tak lama, Abi dapat melihat bahu Dira yang bergetar serta mendengar suara isak tangis yang ditahan.

"Dira." Abi menyentuh lengan atas gadis itu dan mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajah Dira.

"Kamu nangis?" Tanyanya saat melihat air mata yang menetes dari mata istrinya tersebut.

Ini adalah kali pertamanya Dira mengeluarkan air mata setelah beberapa lama. Dan ini juga kali pertamanya Abi melihat air mata istrinya itu.

"Jangan nangis, Dira." Ujar Abi lembut sambil mengusap air mata gadis itu.

"Maafin saya." Ucapnya lirih di dekat telinga Dira.

"Kalo kamu mau marah, marah sama saya aja, jangan ke Papah-Mamah kamu. Mereka nggak salah. Mereka hanya ingin anak mereka sembuh dan mereka hanya ingin menuruti permintaan Kakek kita."

"Makan dulu, ya? Terus minum obat. Umma udah bikin nasi goreng buat kamu." Ujar Abi.

Abi menghela nafas berat dan menatap istrinya tersebut dengan sendu, karena lagi-lagi tak mendapatkan respon, lalu ia mencoba tersenyum.

Ia menyentuh mengecup kening Dira lembut dan meletakkan telapak tangannya di sana. "Syafakillah, Nadira. Semoga Allah mengangkat penyakit kamu, dan diangkat dosa-dosanya yang lalu. Wallahi, saya nggak suka liat kamu kaya gini."

Saat itu juga tangis Dira pecah. Ia memeluk lututnya sendiri dalam posisi ia yang masih berbaring miring. Gadis itu meluapkan rasa sakit dan sesak yang menggerogoti hatinya.

Abi yang melihat itu juga merasa hatinya terasa disayat-sayat. Ia tidak suka dan tidak tega melihat istrinya menangis seperti ini.

"Jangan nangis. Jangan nangis." Bisik Abi pelan sambil mengusap rambut Dira lembut.

"Lebih baik kamu marah-marah ke saya, Dira. Daripada saya harus liat kamu menangis seperti ini. Saya nggak suka liatnya."

"Ayo ngomong sama saya, ayo marah sama saya. Jangan nangis."

"Apa kamu nggak suka jadi istri saya, Dira?" Tanya Abi lirih. Ia takut jawaban Dira tidak akan sesuai dengan keinginan hatinya yang ingin membangun rumah tangga bersama.

Dira menggeleng samar. "Siapa yang nggak mau nikah sama Gus Abi? Semua santri di sini mau ada di posisi itu. Termasuk Kakak saya." Akhirnya Dira bersuara.

"Saya nggak marah sama orang tua saya, saya nggak marah sama Gus Abi dan keluarga, saya cuma bingung. Kenapa waktu itu bukan Kak Raya aja yang nikah sama Gus Abi? Kenapa harus saya?"

"Jadi kamu menyesal sudah jadi istri saya?"

Dira kembali menggeleng. "Saya nggak nyesel. Saya cuma bingung aja. Semuanya terlalu mendadak bagi saya. Kaya yang Gus Abi tau, Kakak saya suka sama Gus Abi. Saya takut Kak Raya marah sama satau bahkan benci sama saya. Saya nggak mau itu terjadi." Gadis itu berbicara dengan posisi yang masih memunggungi Abi. Ia masih tak berani menatap mata Abi.

Ini yang menjadi beban pikiran Dira. Ini yang Dira pikirkan sehari kemarin hingga sakit seperti ini. Dira tidak ingin menyalahkan siapapun di sini. Tidak menyalahkan orang tuanya, tidak juga menyalahkan keluarga Abi.

Dira tau maksud orang tuanya dan keluarga Abi itu baik. Malik dan Danita yang ingin anaknya sembuh, serta keluarga Abi yang ingin menyambung persaudaraan dengan sebuah pernikahan sesuai keinginan Kakek mereka.

Tapi kenapa harus Dira? Kenapa bukan Raya saja yang waktu itu keadaannya sehat dan umurnya legal untuk menikah, ditambah Raya memiliki perasaan untuk Abi. Dira masih tidak mengerti.

"Karena yang bersangkutan di sini itu kamu, bukan Raya."



*****




Gus Abizar Mukhtar Al-Hariz hanya punya saya seorang, titik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gus Abizar Mukhtar Al-Hariz hanya punya saya seorang, titik.

JANGAN LUPA SPAM NEXT!!

Sekian, terima vote

BYE!!







The Hidden [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now