Chapter 37: Please Let Me Go

10.3K 794 9
                                    

MATTEO tak pernah ingin membicarakan apa yang terjadi pada pagi itu dengan Gadis. Keduanya mencoba untuk bersikap normal, meskipun Matteo masih bisa merasakan hubungan mereka yang mendadak jadi dingin sejak kedatangan Rose pagi itu.

Matteo juga bisa merasakan betapa perasaan Gadis gundah dan wanita itu berusaha untuk menutupinya. Sayang sekali, Matteo bahkan lebih mengenal Gadis daripada wanita itu mengenal dirinya sendiri sehingga Matteo bisa membaca gerak-gerik Gadis dengan jelas.

Matteo merasa kasihan kepada Gadis. Wanita yang seberharga Gadis dengan teganya diperlakukan seperti itu oleh Rose, ibu Matteo sendiri. Padahal, sebelumnya, Rose dan Gadis berbicara beberapa kaki lewat telepon dan mereka sangat akur, bahkan sangat cocok untuk mengobrol.

Matteo tak bisa membayangkan apa yang Gadis rasakan. Meskipun Gadis tau, Matteo takkan meninggalkannya, tapi Matteo yakin, kejadian pagi itu masih mengganjal di hatinya, mengacaukan perasaannya, dan membuat isi kepalanya berantakan.

"Hey, Matt."

Matteo yang tengah menunggu kopinya dibuat di sebuah kedai kopi, lantas menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang wanita yang menjadi salah satu alasan kacaunya perasaannya akhir-akhir ini.

"Hey," sapa Matteo, datar.

"Kau dingin sekali," komentar Abigail, terkekeh mentah. "Apa yang terjadi?"

Matteo hanya diam, tak ingin menjawab apa-apa. Jangankan Abigail, saat ini, dia merasa bahwa dia sedang tak ingin membicarakan hal yang tak penting.

Usai meraih kopinya dan membayar minumannya, Matteo pun segera berjalan keluar dari kedai kopi ini menuju parkiran.

"Hey, Matt, tunggu sebentar," kata Abigail, menahan lengan Matteo, membuat pria itu spontan berhenti. "Aku… ibumu memberitahumu mengenai masalahmu dan dirinya tempo hari. Maafkan aku."

Matteo masih terdiam.

"Aku tak mungkin tega menghancurkan hubunganmu dengan Gadis. Aku pun bisa menebak betapa kacau perasaannya sekarang," kata Abigail. "Untuk itu, biarkan aku ikut denganmu dan meminta maaf langsung kepada Gadis."

"Tidak, terima kasih."

"Kumohon, Matt," kata Abigail lagi. "Biarkan aku membantu kalian."

Matteo terdiam sejenak. "Baiklah, aku percaya padamu. Namun, jangan berani untuk memperkeruh suasana."

Matteo dan Abigail pun memasuki mobil Matteo, lalu berjalan menuju rumah Matteo dan Gadis.

"Kau tau, ketika ibumu menceritakan apa yang terjadi kemarin, aku merasa sangat bersalah kepada Gadis," kata Abigail. "Ditolak oleh pria yang kita cintai mungkin sakit, tapi aku tak bisa membayangkan sesakit apa yang dia rasakan, ditolak oleh ibu dari pacarnya sendiri."

"Aku tak mengerti dengan ibuku," kata Matteo. "Sharon sudah pergi dua tahun yang lalu. Aku tak mengerti kenapa dendam itu masih bersarang di hatinya. Lagipula, Gadis tak ada hubungannya dengan semua itu."

Abigail terdiam sejenak. "Tapi, apa yang akan kau lakukan jika ibumu tetap tak menyukai Gadis?"

"Meninggalkan negeri ini," ujar Matteo memarkirkan mobil ini di garasi rumah. "Kau pikir aku akan mengikuti pola pikir ibuku yang salah?"

Abigail terkekeh. "Secinta itu kau kepada Gadis sehingga kau bisa berencana untuk membuat keputusan sesembrono itu?"

"Aku takkan mengikuti pola pikir ibuku yang salah," kata Matteo, melepaskan sabuk pengamannya. "Turun."

Alih-alih turun dari mobil ini, Abigail justru mendekatkan tubuhnya ke Matteo, sehingga dirinya kini berada di atas pangkuan pria itu. Matteo membeku untuk beberapa saat, terlalu kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Sepersekian detik, wanita itu mendekatkan wajahnya ke wajah Matteo.

GadiskuNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ