Chapter 18: The Wild Wolf

12.2K 930 22
                                    

"JADI, kau bahkan belum melakukan apapun untuk mendekati Carlos?" Matteo mengangkat sebelah alisnya. "Tak heran jika temanmu mencuri start."

Gadis yang sedikit kesal karena terus-terusan diceramahi, hanya bisa melahap makanannya dengan wajah sebal.

"Hey, Nona, kau dengar aku?" tanya Matteo. "Jika kau memang menyukainya, kenapa kau tidak mendekatinya?"

"Dengar. Dia bukan tipe laki-laki yang mudah didapatkan seperti dirimu, Paman," jawab Gadis. "Jadi, jangan mengomeliku seperti itu."

Matteo hanya bisa tersenyum kecut. "Apa maksudmu? Aku ini murahan?"

Gadis hanya bisa menahan tawanya. Tak membenarkan, tapi juga tak menyalahkan.

"Bagaimana dengan anak-anak anjingmu? Apakah mereka sudah bisa berlarian kesana kemari?" tanya Matteo.

"Dia sudah bisa berjalan, tapi kakinya belum kuat untuk berlari," jawab Gadis. "Kau tega sekali tidak pernah datang menemuinya."

"Oh, apa ini? Kau memintaku ke rumahmu?" Matteo menyeringai.

"Bukan begitu maksudku," sanggah Gadis, panik, dengan mulut yang masih penuh.

Matteo tertawa. "Aku akan datang melihat mereka ketika aku tidak sibuk."

"Kau berbicara seakan-akan kau adalah orang paling sibuk di San Fransisco ini," ujar Gadis.

"Memang begitulah adanya," kata Matteo. "Omong-omong, boleh aku menanyakan sesuatu?"

Gadis mengangguk.

"Kenapa kau bisa mengambil salah satu rumah di perumahan itu? Bukankah perumahan itu diperuntukkan untuk lansia?" tanya Matteo.

Gadis terdiam sejenak, berpikir. "Aku sengaja mengambil rumah disana karena mantan pacarku."

Matteo mengernyitkan dahinya. "Mantan pacarmu? Kau berpacaran dengan seorang kakek atau apa?"

"Tidak," Gadis memutar kedua bola matanya. "Dia adalah cucu dari Nyonya Watson, tetangga kita yang juga tinggal di perumahan itu. Kupikir, akan lebih bagus jika aku tinggal disana karena aku memang menyukai ketenangan."

Matteo mengangguk mengerti, sembari mengunyah makanannya.

"Bagaimana denganmu? Kenapa kau bisa tinggal di perumahan itu, Paman?" Gadis bertanya balik. "Ah, tapi kau memang sudah tua."

"Apa katamu?" Matteo menyipitkan matanya. "Aku memilih untuk tinggal disana bukan karena siapapun, apalagi mantan pacar. Aku tinggal disana karena aku menyukai ketenangan. Itu saja."

Gadis mengangguk mengerti.

"Lalu," Matteo berdehem. "Apa yang membuat kalian putus?"

Gadis terdiam sejenak, berpikir. "Dia terlalu kekanakan. Kupikir, dia lebih cocok jadi temanku daripada pacarku. Kami masih berteman baik sampai sekarang."

"Apa maksudmu kekanakan?"

"Dia pria yang labil. Bisa berubah pikiran hanya dalam hitungan menit, tak pernah bersyukur dengan apa yang dia miliki, dan selalu seenaknya kepadaku," kata Gadis, mengangkat bahunya. "Jika kau tau lagu Better Man yang dinyanyikan oleh Taylor Swift, maka dia adalah wujud asli dari sosok pria itu."

"Itu salahmu karena membukakan pintu untuk pria yang sudah jelas memberikan bendera merah," ujar Matteo. "Kau tak bisa menyalahkannya sepenuhnya. Sebagai tuan rumah, kau pun salah karena asal membukakan pintu untuk seorang tamu."

"Itulah definisi dari cinta itu buta," balas Gadis. "Setidaknya, aku dan dia sudah berakhir."

"Kau harus mencari seseorang yang lebih tua daripada dirimu agar kau tak terjebak dengan pria yang kekanakan," ucap Matteo. "Maksudku, kau saja sudah kekanakan."

"Usia tidak menentukan sifat kekanakan dari seseorang," kata Gadis. "Apalagi untuk para pria. Mereka selalu lebih kekanakan daripada para wanita mereka."

Matteo terkekeh kecil. "Jangan menyamakan semua pria seperti itu."

"Bagaimana denganmu?" tanya Gadis. "Kapan kau terakhir kali berpacaran?"

Matteo terdiam sejenak, cukup lama. "Menurutmu, apa definisi dari berpacaran?"

"Dua orang yang saling mencintai dan membiarkan satu sama lain untuk mengetahui perasaan mereka," jawab Gadis.

"Berarti, terakhir kali aku berpacaran adalah 10 tahun yang lalu," kata Matteo.

Gadis mengangkat sebelah alisnya. "Kau yakin? Padahal, kau tampak seperti seekor serigala buas di mataku."

"Tidak berpacaran selama 10 tahun bukan berarti aku tak pernah dekat dengan wanita dalam 10 tahun itu," ucap Matteo.

"Yah, aku sudah tau mengenai itu," Gadis menyengir. "Tak mungkin ada pria yang sanggup tanpa wanita."

"Matt? Oh, Tuhan, ini memang kau."

Matteo dan Gadis menoleh ke arah sumber suara yang baru saja tiba di antara mereka. Gadis memandangi wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wanita itu sangat cantik, dengan dress berwarna violet yang melekat pada tubuhnya. Tubuhnya tampak seperti biola dan wajahnya memakai riasan natural yang menambah ketertarikan fisiknya.

"Maaf?" Matteo mengernyitkan dahinya.

"Kau tak mengingatku? Ayolah, kita bertemu di pesta ulang tahun Aldric, beberapa bulan yang lalu," ucap wanita itu. "Stephanie McCartan. Kau mengingatku?"

Matteo terdiam, cukup lama. Dia mengingat wanita ini. Stephanie adalah wanita yang dia temui di pesta ulang tahun Aldric dan setelah pesta berakhir, Matteo dan Stephanie menghabiskan sepanjang malam bersama, di rumahnya.

"Aku meninggalkan nomor teleponku, tapi kau tak pernah menghubungiku," kata Stephanie. "Ternyata kau sudah memiliki pacar?"

"Stephanie, aku senang bertemu lagi denganmu, tapi tak bisakah kau membaca keadaannya sekarang?" tanya Matteo. "Kau mengganggu kami."

Stephanie terkekeh kecil, lalu berbisik. "Apakah kau sudah bercinta dengannya? Apakah dia lebih hebat daripada diriku?"

"Apa yang kau bicarakan? Pergilah sebelum aku memanggil keamanan untuk mengusirmu. Kau sudah menggangguku dan membuatku tak nyaman."

"Ayolah, jangan marah," Stephanie merogoh sesuatu dari tasnya, lalu menyodorkannya ke arah Matteo. "Aku memiliki tiket premium untuk ke hotel cinta. Kalian bisa memakainya."

"Stephanie, kumohon," Matteo mencoba untuk tetap tenang. "Tak bisakah kau hentikan obrolan bodoh ini?"

"Kenapa sekarang kau jadi lelaki baik seperti ini? Padahal kau seperti seekor serigala ketika pertama kali bertemu denganku," ujar Stephanie. "Hey, girl, bagaimana menurutmu? Kenapa dia jauh lebih tenang sekarang?"

Matteo menoleh ke arah Gadis. Pria itu hanya bisa mematung di tempatnya, tak tau harus bagaimana. Dia dapat melihat dengan jelas, kedua mata Gadis tampak berkaca-kaca dan wajahnya menahan kekesalan.

"Gadis."

Gadis segera bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar dari restoran dengan langkah yang cepat. Matteo pun berlari mengejarnya, sesekali memanggil nama wanita itu, meminta Gadis untuk berhenti dan menunggunya.

"Gadis," panggil Matteo, meraih tangan Gadis, membuat wanita itu menghentikan langkahnya. Mereka sudah ada di depan restoran, meski di luar dingin sekali. Wanita itu pun bersikeras untuk melepaskan pegangan Matteo, tapi Matteo menahannya.

"Aku ingin pulang."

"Maafkan aku karena Stephanie membuatmu merasa tak nyaman."

Gadis hanya bisa diam sejenak, masih menahan air matanya agar tak tumpah.

"Sudahlah, lepaskan."

"Setidaknya, biarkan aku mengantarkanmu pulang," ucap Matteo.

"Aku bisa pulang sendiri," Gadis menepis tangan Matteo dengan kasar. "Leluconku ternyata benar. Kau adalah serigala buas."

GadiskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang