Chapter 15: Rina's Decision

11.5K 1K 15
                                    

"SIALAN," Matteo bergumam kesal, bangkit dari tempat tidurnya dengan rambut yang kusut. Pria itu pun berjalan menuju kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya.

Matteo paling benci jika harus terbangun di tengah malam karena harus buang air kecil seperti ini. Baginya, segala sesuatu yang mengganggu tidurnya itu menyebalkan. Meskipun dia adalah tipe orang yang mudah untuk tertidur kembali, tetap saja dia sangat kesal jika tidurnya diganggu. Apalagi, hari ini adalah hari Minggu.

Usai dari kamar mandi, Matteo menoleh ke arah arloji yang menempel di dinding kamarnya, tampak dalam remang-remang karena hanya ada cahaya kuning dari lampu tidurnya di kamar ini. "Sudah pukul enam pagi?"

Matteo menghela napasnya berat, duduk di tepian tempat tidur. Dapat Matteo lihat dari sini, Bubba sedang tertidur di ranjang miliknya sendiri.

Matteo pun bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari kamar. Jika sudah sepagi ini, rasanya sayang sekali jika dia harus tidur lagi. Jarang sekali dia bisa bangun sepagi ini untuk merasakan udara luar di pagi hari. Dia biasanya hanya bangun pagi pada hari kerja, itupun baru keluar dari rumah pada pukul tujuh pagi.

Matteo dapat melihat Rina yang masih tertidur di ruang tengah. Wanita itu masih dengan posisi awalnya, membelakangi Matteo.

Matteo pun berjalan menuju pintu depan, hendak keluar dan mungkin hanya sekedar duduk di tangga depan pintu rumahnya, atau berdiri sebentar untuk menikmati udara luar, lalu masuk kembali.

Langit tampak abu-abu. Tak gelap, tapi juga belum terang. Bintang-bintang dan rembulan masih tampak, meskipun samar-samar. Matteo dapat melihat awan yang menandakan kecerahan pagi ini.

Matteo tertegun ketika melihat Gadis yang tengah duduk di tangga depan pintu rumahnya pula, menopang dagunya, menatap lurus ke depan. Wanita itu mengenakan piyama berwarna hitam, dengan rambut yang dijepit ke belakang.

Tak lama kemudian, Gadis menjatuhkan pandangannya ke samping, tak sengaja melihat Matteo yang masih memandanginya dengan tatapan intens. Meskipun sedikit terperanjat, Gadis pun mencoba untuk tampak tenang dan tak mengatakan apapun, lalu bangkit dari duduknya, hendak masuk ke dalam rumah.

"Hey," panggil Matteo, menghentikan langkah Gadis. "Mari bicara."

Gadis yang sudah memegang gagang pintu rumahnya, lantas menoleh ke arah Matteo dengan wajah datar.

Matteo berjalan ke arah Gadis. "Dengarkan aku, sebentar saja."

Gadis pun membalikkan badannya sehingga kini dia tengah berhadapan dengan Matteo, menunggu pria itu melanjutkan ucapannya.

"Maafkan aku dan semua yang sudah kulakukan yang membuatmu marah," ujar Matteo. "Aku hanya ingin memperbaiki hubunganmu dengan Rina. Tapi, mungkin, caraku salah."

Gadis terdiam sejenak. "Aku tak menyukai orang asing yang mencoba mencampuri urusanku."

Matteo menghela napasnya. "Ya, mungkin kau takkan memaafkanku begitu saja. Setidaknya, aku ingin kau tau bahwa aku tak bermaksud untuk membuatmu marah."

"Tapi, kau melakukannya, bukan?" kata Gadis. "Kau berhasil melakukan sesuatu yang membuatku marah, bukan?"

"Akuー"

"Bukankah dari dulu kau memang selalu berlaku seenaknya kepadaku? Setelah menciumku, lalu sekarang, kau mencampuri urusan keluargaku?" potong Gadis.

Matteo mengernyitkan dahinya. "Apa?"

"Selama aku di sini, kau yang kerap kali menyusahkanku," tambah Gadis.

Matteo mencoba menahan emosinya meskipun wanita yang di hadapannya ini semakin lama semakin menyebalkan. Padahal, dia sudah berusaha menurunkan egonya untuk meminta maaf seperti ini. Matteo memang salah, tapi jawaban dari Gadis terlewat dingin dan ketus sehingga membuatnya ikut kesal.

"Apa maksudmu?" Matteo menyipitkan matanya, memandangi wanita di hadapannya dengan tajam. "Kau pikir, kau tak pernah menyusahkanku? Lagipula, siapa yang datang ke rumahku duluan?"

"Anjingmu menghamili anjingku."

"Lalu, siapa yang datang ke rumahku karena pemadaman listrik? Jika kau tak datang malam itu, maka kau tak perlu menjadikan ciuman itu sebagai perisaimu sekarang," ucap Matteo. "Kau selalu membahas kesalahan yang sudah lewat. Tidakkah kau sadar bahwa itu hal yang paling menyebalkan dari dirimu?"

Gadis terdiam.

"Jika kau adalah wanita lain, aku takkan mau membantumu seperti ini. Tapi, faktanya, aku rela menyisihkan waktuku untuk drama keluarga yang tak penting seperti ini," kata Matteo. "Setelah semua drama ini, kau tak melihat sisi baik dari yang sudah kulakukan sama sekali?"

"Apa? Kenapa malah kau yang marah?" Gadis terkekeh sinis. "Kau yang salah, tapi kenapa kau yang marah?"

"Hentikan, kalian berdua."

Matteo dan Gadis menoleh ke arah sumber suara. Wanita dengan piyama berwarna biru itu berjalan menuju Matteo dan Gadis yang tengah berdebat.

"Berdebat di pagi hari seperti ini, bagaimana jika tetangga terganggu dengan betapa berisiknya kalian?" Rina memandangi Matteo dan Gadis secara bergantian. "Kau, Tuan Adams, seharusnya kau bisa bersifat lebih dewasa dan menghindari perdebatan seperti ini."

Matteo melipat kedua tangannya di depan dada, menyandarkan tubuhnya ke tembok rumah Gadis, hanya bisa pasrah mendengarkan omelan dari Rina. Dua wanita ini sama saja bawelnya.

"Lalu, kau," Rina menjatuhkan pandangannya ke arah Gadis. "Berhenti menyalahkan Matteo. Dia hanya ingin membantuku."

"Membantu untuk apa? Tak ada yang perlu dibantu dan tak ada yang perlu diperbaiki di sini," balas Gadis.

Matteo hanya bisa diam mendengarkan, meskipun wajahnya sudah jelas menampakkan kekesalan. Wanita yang bahkan belum menginjak usia kepala dua ini memang benar-benar keras kepala. Jika saja Gadis adalah wanita lain, mungkin Matteo sudah meninggalkannya sedaritadi. Dia benci sekali jika harus kesal dan bersabar hanya karena wanita.

Rina menarik Gadis ke pelukannya, memeluk wanita itu dengan tangan yang mengelus puncak kepala Gadis.

"Maafin Mama," kata Rina. "Maaf karena gak pernah dengerin apa yang kamu mau. Maaf karena udah seenaknya. Matteo bener, kamu pasti bakalan jadi dokter yang baik suatu saat nanti."

Gadis mematung di posisinya. Meskipun Matteo tak mengerti apa yang Rina katakan dalam bahasa Indonesia, tapi Matteo dapat melihat mata Gadis yang berkaca-kaca dengan jelas. Sepersekian detik, wanita itu membalas pelukan Rina.

"Lupain perjodohan itu. Kejar impian kamu," tambah Rina. "Setelah lulus, menikahlah dengan orang yang kamu cintai."

GadiskuNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ