70. TROPHY

8.2K 1.5K 119
                                    

Mengangkat kakinya yang jenjang, Opy si mantan model runway itu menggigit kuat bibirnya yang penuh ketika Ardi menghakiminya dengan lesak gairahnya yang menantang. Opy harus jujur, tak ada yang lebih menyenangkan dari milik suaminya. Penuh syukur Opy panjatkan karena Tuhan tahu bahwa Opy yang terlihat lugu dan kalem ini suka dengan ukuran besar, panjang yang normal, dan penuh. Ya, tak perlu panjang berlebihan. Mau dikhayalkan bagaimana pun, Opy lebih suka pria yang sudah dikhitan.

Oh, apa itu artinya Opy sudah pernah melihat yang orisinil tanpa operasi?

Tentu saja! Temannya yang tak lurus, Bayu, tentu saja pernah dengan percaya dirinya memamerkan miliknya yang tak berdiri tegak meski dilihat oleh Opy dengan pengamatan tingkat tinggi. Juga kekasih Bayu yang sempat bertelanjang tubuh sehabis mandi sperma di sofa apartemen Bayu. Si pria bule yang ukurannya memang besar, tapi bagi Opy menggelikan. Opy tak bisa terangsang sama sekali dengan pria yang tak memiliki perasaan dengannya.

Kacau dengan Lazuardi yang begitu gagah, ucapan Opy yang menyatakan akan memperkosa suaminya sendiri tidak terlaksana. Di ronde kedua, setelah Ardi mengulum intinya dengan pola yang kreatif, ia sudah tak sanggup untuk menggerakan diri. Ternyata menjadi yang memimpin permainan itu tak mudah. Namun, herannya, Opy akan selalu bisa menerima suntikan dari Ardi selama apa pun pria itu merangkak dan menggedor kewanitaannya bertubi-tubi. Entah berapa dosis yang Ardi berikan hingga cairan di bawah sana terasa sangat lembab.

"Kamu panas sekali malam ini, My Opium."

Opy tersenyum dengan merekah cantik. Seksi lebih tepatnya. Opy yang seperti ini mengingatkan Ardi dengan hormon perempuan itu ketika memiliki Esa di dalam perutnya. Tak terkendali, meminta lebih, dan tak gengsi untuk bermain panas. Berapa lama mereka melakukannya malam ini? Ah, Ardi sampai tak bisa fokus melihat jam dinding. Sepertinya mereka menghabiskan waktu 45 menit sejauh ini, hampir satu jam. Gila. Bagi orang normal, ini sudah sangat melelahkan. Tapi belum ada tanda-tanda bahwa Opy bisa puas dalam waktu dekat.

Memperhatikan bagaimana ekspresi Opy, pria itu tak tahan dan menyemburkan diri di dalam. Tak peduli lagi mengenai pengaman dan segala macamnya karena Opy sudah tak takut lagi mengenai anak perempuan atau apa pun jenis kelaminnya. Mereka berciuman berulang dan panjang tanpa melepaskan diri. Perasaan menggebu untuk menetralkan kegiatan tadi memang paling nyaman dilakukan.

"Apa kamu mau sesuatu selain 'memperkosa' aku, Opium?" tanya Ardi seraya mengusap kening istrinya yang basah akan keringat. Beberapa rambut menempel di sana dan Ardi memisahkannya dari wajah Opy dengan lembut. Padahal perhatian semacam itu membuat Opy semakin tak bisa mengalihkan diri akan Ardi.

Kaki Opy terasa melingkupi pinggul suaminya, tangan perempuan itu juga melingkar erat pada bahu Ardi, mengikat sang pria dalam rengkuhannya. "Aku mau sesuatu, Ar."

Mata Ardi terlihat berbinar. "Apa itu?"

Opy mengecup bibir suaminya lebih dulu dan menggerakan lidah sebelum menjawab serupa bisikan di bibir Ardi, "Aku mau kamu lagi."

Ardi segera memberikan tatapan ngeri. Apa istrinya tak sadar bahwa Ardi sudah kepala empat?

*

Lazuardi mengeluhkan pinggangnya yang agak nyeri pagi ini. Opy tahu apa penyebabnya, tapi tidak dengan putri kecil mereka yang tak mengerti kenapa papanya menringis, mendesis, dan mengernyit sembari berusaha mencari posisi duduk yang nyaman.

"Dada," panggil anak itu.

"Ya, Princess?"

"Kenapa Dada cakit mukanya tu?" tanya si Princess yang kritisnya luar biasa. "Ale you sik, Dada?"

Ardi tersedak dengan ludahnya sendiri. Dia sengaja melirik tajam istrinya yang menahan tawa sembari menyiapkan sarapan untuk mereka. Quality time dengan Esa menjadi sedikit terhalang karena memang pinggang Ardi terasa sangat nyeri jika dibuat mengangkat atau bergerak untuk aktivitas berat. Olahraganya agak kendor memang setelah berpindah dari Hawaii. Ardi akan membayar jasa trainer setiap minggu setelah ini di rumah. Ardi ingin tetap bugar menghadapi semangat istrinya yang terkadang menyiksa.

"Don't laugh, Opium!" desis Ardi yang merasa dikerjai oleh perempuan itu.

Esa menatap mamanya yang langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan tapi pundaknya masih bergetar menahan tawa.

"Moma, why? Dada cepetinya rili sik, Moma. Dada mayah Moma laf." Kini Esa menatap wajah papanya dengan menaikkan dagu pria itu hingga mendongak, sebab Esa berdiri di kursi makannya. "Dada yu can tey me, manya yang cakit?" anak itu sangat perhatian sekali pada papanya.

"Oh, My Princess. Kamu sangat baik hati, perhatian sama Dada. Nggak seperti Moma kamu yang malah ketawain Dada karena sakit pinggang."

"Uhm? Piyang apa, Dada?" tanya anak itu tak paham.

Ardi menatap wajah putrinya, begitu juga sebaliknya. Di momen itu, Opy tertawa puas. Meski perhatian, anak sekecil Esa tak akan paham dengan sakit apa yang dirasakan oleh Ardi.

"Moma tawa napa?"

"Nggak, Sayang. Moma cuma geli aja," kata Opy berkilah.

"Eca ndak ngeyti."

Hendak menjelaskan pada putrinya, tapi ponsel Ardi berdering dengan keras.

"Dada angkat telepon dulu. Esa duduk yang benar, ya."

Anak itu menuruti ucapan papanya dan Ardi mengangkat panggilan dari Dave.

"Ya, Pi?" Sontak saja Ardi dan Opy saling menatap. Ada apa Dave sampai menghubungi Ardi pagi-pagi begini?"

"..."

"Oke, Pi. Iya, aku paham. Kami segera ke sana, Pi."

Opy bertanya-tanya ketika Ardi berjalan mendekatinya yang berada di counter dapur. "Ada apa? Papi telepon kenapa?"

Ardi menghela napasnya pelan dan menjawab dengan suara yang sangat pelan agar Musesa tak mendengarnya.

"Draka membuat drama di depan papi dan mami." Opy manatap putrinya. Ini pasti soal Esa yang Draka ketahui sebagai putrinya. Pria itu pasti diam-diam melakukan sesuatu ketika memiliki kesempatan dekat dengan Esa beberapa waktu lalu.

Sial. Aku kecolongan untuk menjauhkan Draka dari Esa. 


[Hahahahahahaha. Udah, gitu aja pesanku. Wkwk.]

HE WANTS TO FIX ME / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang