29. TROPHY

8.3K 1.7K 103
                                    

Bersama Ardi, seorang Trophy merasakan perlakuan yang berbeda dari kisah lalunya. Ardi tidak memberikannya cinta yang menggebu-gebu. Pria itu sangat tenang dan bisa tegas dalam satu waktu. Pujian yang diberikan juga bukan tipikal yang selalu menyanjung hati, terkadang pria itu mengoreksinya dengan kalimat yang langsung.

Beberapa hari ini mereka setuju untuk mencari tempat tinggal baru yang layak ditempati untuk berdua. Bukan keputusan yang mudah untuk dilakukan begitu saja. Karena seluruh keputusan harus dipikirkan secara matang.

"Apa kita nggak bisa tinggal di tempat yang lebih sederhana?"

Trophy menatap sekeliling apartemen yang sudah mereka datangi untuk ketiga kalinya. Harga apartemen itu bukan hal yang dipusingkan oleh Opy, andai dia tinggal sendiri. Berbeda dengan sekarang, karena Trophy harus memikirkan bagaimana keputusan untuk membeli atau menyewanya. Bagi dua? Menyicil? Atau bagaimana? Opy bingung sendiri.

"Kenapa? Kamu nggak suka yang seperti ini?"

"Bukan. Tapi ... aku nggak suka apartemen yang mewah tampilannya begini. Aku suka tempat tinggal yang besar dan punya halaman luas. Seperti rumah di Indonesia."

Iya. Trophy lebih suka rumah mahal yang halaman dan luas rumahnya sangat megah. Tak perlu isi yang berwarna emas atau apa pun. Opy suka rumah seperti yang orangtuanya punya. Jika bisa tak perlu ada lantai 2 karena luas rumah yang bak lapangan golf.

"Sebenarnya ... aku memang punya rencana untuk tinggal bersama di rumah." Ardi menyampaikan rencananya.

"Terus kenapa kamu malah cari apartemen lagi?"

"Kupikir kamu suka untuk tinggal di apartemen. Untuk mengawalinya kita bisa tinggal di apartemen yang lebih luas, sebelum kita sama-sama yakin untuk tinggal bersama di rumah yang sudah aku siapkan."

Trophy langsung tersenyum mendengarnya. "Aku lebih suka rumah. Rasanya udah lama aku nggak tinggal di rumah. Batalkan aja pembicaraan mengenai apartemen ini. Lagi pula harganya terlalu tinggi dibandingkan kita punya rumah sendiri."

Ardi juga ikut tersenyum dengan semangat yang Opy punya. Dia senang melihat Opy menyetujui rumah sebagai tempat mereka tinggal bersama.

"Jadi, kita bisa kunjungi rumah itu sekarang, kan? Aku pengen lihat."

Senyuman Ardi sirna. Berganti dengan kecanggungan. "Belum bisa, Opy."

"Lho, kenapa?" Opy memandang wajah Ardi tak paham.

"Rumah yang aku siapkan itu bukan di Singapura, tapi di Hawaii."

*

Baru kali ini Trophy merasa dikecewakan oleh pria di sampingnya yang sekarang bingung harus melakukan apa. Opy memilih membungkam mulutnya karena merasa dibohongi oleh harapan pria itu tadi.

"I'm so sorry, Trophy." Kata Ardi meminta maaf. "Aku nggak bermaksud bohong. Aku cuma nggak mau kamu nggak siap."

Menghela napasnya dalam. Permintaan maaf itu memberatkan Opy jika tak memaafkannya. Apalagi untuk masalah yang terbilang kecil ini.

"Jadi, kamu punya rumah di sana?" tanya Opy akhirnya.

"Iya. Sebenarnya sudah cukup lama. Sekarang rumah itu diurus asisten yang sudah kuanggap seperti adik sendiri. Namanya Tristan."

Sekali lagi Opy menghela napasnya. Dia tak suka dengan fakta bahwa partner-nya memiliki kehidupan di negara lain lebih dulu.

"Rumah itu, Hawaii bagian mana?"

"Honolulu, Hawaii."

Sialnya Opy malah semakin penasaran. Jika tidak melihatnya langsung, dia akan sangat penasaran.

"Seperti apa rumahnya?"

"Hm..." Ardi terlihat berpikir. "Dekat dengan perbukitan. Kalo kita ke teras atas, pemandangannya langsung perbukitan itu. That's so beautiful! Aku selalu suka berkeliling dengan skateboard dulu. Udaranya masih sangat sejuk, aku yakin itu. Banyak binatang yang akan datang ke rumah dan minta makanan." Pria itu tertawa dan tersenyum lebar membayangkan pemandangan yang sedang digambarkan itu.

"Kita nggak akan kekurangan pemandangan hijau. Ya, meskipun jauh dari situasi perkotaan. Tapi aku yakin kita bisa membesarkan anak kita dengan lingkungan yang bagus di sana."

Trophy membungkus wajahnya dengan kedua tangan. Ardi tidak tahu apa tujuannya Opy melakukan itu, hingga terdengar isak yang muncul bersamaan dengan bahu yang naik turun dari perempuan itu.

"Hei, Opy? Kenapa? Aku salah soal sesuatu?"

Ardi berusaha untuk tetap fokus pada jalanan. Dia tidak mau kena denda karena terlalu panik menghadapi Opy yang menangis.

"Kenapa kamu bikin aku makin penasaran dengan cerita kamu itu??? Harusnya kamu bawa dari awal aku ke sana! Aku mau tinggal di rumah dengan semua pemandangan alam dan binatang yang datang ke sana. Aku mau hidup yang nggak hiruk pikuk dekat kota!"

Lazuardi tertegun. Trophy ternyata begitu cengeng. Apa ini faktor bawaan bayi atau memang perempuan itu suka menangis?

"Jadi, kamu siap untuk tinggal di Hawaii?" tanya Ardi hati-hati.

Opy membuka telapak tangannya untuk lepas dari wajah. Menatap Ardi dengan serius seraya alis yang menyatu. "Sama kamu, kan?"

"Ya, tentu sama aku."

"Ya, udah. Nggak ada masalah. Selama sama kamu, aku oke."

Giliran Ardi yang tersipu dengan kalimat Opy yang cenderung biasa saja itu.

HE WANTS TO FIX ME / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang